Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Loyalitas orde baru

Eks ketua pengadilan agama, h.m. chamim, dituduh bupati kebumen, dadijono, tak loyal pada orde baru. chamim mengugat, tapi dikalahkan mahkamah agung. chamim akan menuntut, meski dadijono bukan bupati lagi.(nas)

26 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNGGUH gawat dituduh tidak loyal pada Orde Baru. Apalagi kalau yang menuduh bupati, orang pertama di kabupaten. Itulah yang dialami bekas Ketua Pengadilan Agama Kebumen, H. M. Chamim. "Tuduhan yang amat menyakitkan, dan bisa menghabisi karier," ujar ayah lima orang anak itu. Demi memulihkan nama baik, Chamim, 41, memperkarakan Drs. Dadijono Judiprayitno, bupati Kebumen kala itu - yang menuduhnya. Tak tanggung-tanggung, ia menuntut ganti rugi Rp 205 juta. Tak disangka, vonis akhir Oktober 1983, itu menghukum bupati. Memang, tak sebanyak tuntutan, cuma Rp 2 juta. "Tapi saya telah membuktikan bahwa bupati tidak kebal hukum," kata Chamim. Bupati naik banding. "Saya kini kalah, tapi belum tentu nanti," komentar Dadijono. Dan benar, Pengadilan Tinggi Jawa Tengah kemudian menolak seluruh gugatan Chamim. Dalam keputusan tanggal 27 Juni 1984, hakim tinggi antara lain menyatakan bahwa tuduhan tidak loyal adalah sama dengan tidak berdedikasi. Padahal, ihwal menentukan dedikasi itu merupakan kewenangan bupati selaku penguasa tunggal. "Saya tidak sependapat dengan keputusan Pengadilan Tinggi itu," kata Chamim. Ia berpendapat materi tuduhan Bupati padanya tidak teknis hukum, tapi amat politis. Karenanya, ia bertekad melawan kesewenangan Bupati. "Sudah telanjur basah, sekalian saja," ujarnya. Tak puas dengan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, Chamim naik kasasi. Putusan Mahkamah Agung inilah yang diterimanya bulan Maret silam. Isinya: menolak seluruh gugatan Chamim, alias memenangkan Bupati. Bahkan, Chamim diwajibkan membayar biaya perkara Rp 20 ribu. Apakah ini berarti Mahkamah Agung mengesahkan Chamim memang tak loyal berani menyimpulkan seperti itu," kata Hakim Agung Olden Bidara, yang menangani perkara itu di MA. Ia, katanya, tidak mempersoalkan masalah pembuktian. Mahkamah Agung hanya menilik segi hukumnya. Dan setelah diperiksa oleh MA, "Pengadilan Tinggi di Semarang tidak salah menerapkan hukum." Tuduhan tidak loyal pada Orde Baru itu bermula dari surat Bupati Dadijono. Surat itu berupa nota dinas bertanggal 25 Juni 1981 yang ditujukan pada Menteri Agama Alamsyah Ratupewiranegara atasan Chamim paling tinggi waktu itu. Kecuali menuduh tidak loyal pada Orde Baru, Bupati juga menilai Chamim, sebagai Ketua Pengadilan Agama, tidak menguasai hukum Islam. Maka, ". . . untuk memenangkan Orde Baru dalam Pemilu 1982, mohon agar Bapak Menteri Agama berkenan memindahkan Chamim . . .", tulis Bupati dalam nota dinas itu. Dalam bagian akhir nota itu, Dadijono mengusulkan agar Chamim diganti dengan Ahmad Ridowi yang kabarnya masih famili sang bupati sendiri. Nota dinas itu, menurut Chamim dalam gugatannya di Pengadilan Negeri Kebumen, telah membuat kesengsaraan pada diri dan keluarganya. Juga menghambat kariernya sebagai pegawai negeri. Sebab, setelah nota itu dikirimkan Bupati, Menteri Agama menurunkan Chamim dari jabatan ketua menjadi wakil ketua pengadilan agama. Pihak Departemen Agama membantah bahwa penurunan jabatan Chamim dari ketua menjadi wakil ketua pengadilan agama itu karena nota dinas tadi. "Hanya kebetulan ada kasus dengan Bupati," ujar Direktur Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, H. Muchtar Zarkasyi. Yang benar, katanya, penurunan itu memang merupakan kebijaksanaan Departemen. Soalnya, Chamim baru golongan II C. Padahal, jabatan ketua bergolongan IV A, minimal III C. "Masih ada orang yang golongannya di atas Chamim, sehingga tidak enak kalau Chamim yang jadi ketua." Hingga kini Chamim memang berkedudukan selaku wakil ketua. Meski Mahkamah Agung menolak kasasinya, Chamim tidak kecewa. "Saya sudah puas, sebab Dadijono tidak lagi jadi bupati," katanya pada TEMPO pekan lalu. Dadijono memang tak lagi jadi bupati. Ia, yang sebelumnya dosen di Universitas Soedirman, Purwokerto, kini kembali mengajar di sana. Tapi bukan karena berperkara dengan Chamim itu ia terjungkir. "Saya memang mengundurkan diri agar tak terpilih dua kali," kata Dadijono. Karena bukan lagi bupati, Dadijono pun enggan berkomentar tentang putusan MA yang mengalahkan Chamim. "Chamim menggugat saya sebagai bupati, bukan saya pribadi," katanya. Tapi Chamim masih akan mempersoalkan: siapakah yang berwenang menentukan loyal tidaknya pada Orde Baru. Untuk itu, ia masih menanti pengaduan pidana yang diajukannya, yakni memfitnah, yang diharapkannya segera masuk pengadilan. Agaknya kasus Chamim masih bakal ramai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus