Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Api Di Beringharjo

Pasar beringharjo, yogya, terbakar. 2000 m2 terpuruk menjadi abu. kerugian ditaksir rp 1 milyar. pasar yang menjadi pusat kegiatan ekonomi keraton yogya, ini sudah berumur 230 tahun. (nas)

26 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR pagi di Yogya, ketika Mbok Tarji'i menjerit histeris. "Kobongan . . . kobongan . . ., (kebakaran)" teriak penjual sayuran itu, Sabtu dinihari, pekan lalu. Orang-orang segera merangsek masuk ke dalam pasar Beringharjo, Yogya. Jabang api terlihat menggeliat di bagian dalam pasar sebelah timur. Daerah yang sehari-hari biasa ditempati pedagang ayam, tembakau, dan berbagai barang bekas. Lima orang Satpam bergegas menyambar pemadam api Yamato. Semprotan zat kimia itu sia-sia. Kobaran api sudah tak bisa lagi dikendalikan. Rangka-rangka kayu kios sudah merekah dan jilatan api telah mencapai genting. Pukul setengah dua pagi - satu jam sesudah kebakaran diketahui - mobil pemadam kebakaran tiba, tak banyak yang bisa mereka lakukan. Juga ketika kemudian 10 unit mobil yang sama datang menyusul. Empat hidran - pipa sumber air - di muka pasar macet. Kesulitan itu makin komplet, ketika mobil-mobil bercat merah itu mencoba menerobos maju mendekati sumber mala petaka. Lorong pasar yang terletak di ujung Jalan Malioboro itu terlalu sempit, hanya dua meter. Kiri kanannya sarat timbunan barang jualan. Jam tua di depan pasar menunjuk pukul lima pagi, api mulai mengecil dan padam. Setelah lima jam terpanggang, 2.000 m2 bangunan pasar - dari 22.000 m2 - terpuruk menjadi abu. Sementara itu, dua peleton aparat keamanan berjaga-jaga di sekeliling lokasi kebakaran. Ketatnya penjagaan itu mengagetkan pemilik kios yang mulai berdatangan. Mereka kebanyakan baru tahu justru pada saat mereka siap untuk berdagang. Begitu terkesiapnya para pedagang itu, hingga seorang di antaranya, Zaenal, pingsan begitu melihat kiosnya terbakar. Sempat siuman sebentar, pedagang tembakau asal Temanggung itu segera diangkut pulang. Begitu sampai di rumah, Zaenal semaput kembali. Kali ini untuk selamanya. Ia meninggal. "Mungkin ia terkejut melihat kiosnya ludes," ujar Munajat, teman Zaenal. Sehari sebelum musibah itu, Zaenal baru saja memenuhi kiosnya yang berukuran 2 x 3 meter dengan tembakau Wonosobo senilai Rp 40 juta. Tentu saja hanya abu yang ditemui Zaenal ketika api sudah padam. Meski belum ada taksiran resmi, sebuah sumber TEMPO memperkirakan kerugian akibat kebakaran itu Rp 1 milyar. Perhitungan itu didasarkan atas laporan dari 275 pedagang yang kiosnya dilalap api dan dari 100 pedagang emperan yang biasa mangkal di Beringharjo. Musibah ini memprihatinkan wali kota Yogyakarta, Sugiarto. "Banyak pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dari pasar ini," ujarnya. Sejak diresmikan 7 Oktober 1756 oleh Hamengkubuwono I, pasar Beringharjo merupakan pusat kegiatan ekonomi Keraton Yogya. Bangunan yang dibuat oleh arsitek Belanda Sitzen Lauren, pada mulanya, sangat sederbana. Los-losnya terbuka dan hanya terdiri dari tiang dan atap saja. Meski begitu, "Pembukaannya meriah. Pakai tayuban segala," ujar K.P.H. Soedarisman Poerwokoesoemo, bekas wali kota Yogya, mengenang masa lalunya. Sebelum didirikan pasar, lokasi tempat berdagang itu dulunya merupakan hutan Beringan. Tahun 1951, pengelolaan pasar diserahkan kepada pemerintah daerah. Seingat Soedarisman, 73, dulunya pasar ini sangat bersih dan tertata apik. Kini, saat kawasan Malioboro dibenahi pasar Beringharjo hampir tak tersentuh. Pasar ini lebih mengesankan sebagai tempat yang kumuh. Lorong-lorong yang sempit, dagangan yang berserakan dan kotor. Meski masa jaya sudah lewat, Beringharjo merupakan salah satu landmark Kota Yogya. Pasar ini didirikan pada masa Hamengku Buwono I. Berumur hampir 230 tahun, ia memang bagian dari Keraton Yogya. "Raja waktu itu membangun berbagai pusat, seperti, pusat pemerintahan di Kepatihan, rekreasi di Taman Sari, dan ekonomi di Bringhardjo," kata Soedarisman. Sebuah pasar yang bersejarah panjang, dan baru pertama kali ini mengalami naas. A.Luqman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus