Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hoaks tentang politik di media sosial mulai masif diproduksi sejak tahun lalu.
Akun buzzer kerap menyerang dan menjelek-jelekan kandidat calon presiden potensial.
KPU tidak menyiapkan regulasi yang memadai untuk mengantisipasi ujaran kebencian dan disinformasi di media sosial.
JAKARTA – Koalisi Demokratisasi dan Moderasi Ruang Digital Indonesia (Damai) menemukan produksi ujaran kebencian dan kabar bohong atau hoaks tentang politik di media sosial semakin meningkat menjelang Pemilu 2024. Produksi kabar bohong dan ujaran kebencian tersebut di antaranya dilakukan oleh akun media sosial, yang awalnya menyebarkan konten pornografi, lalu bersalin rupa menjadi buzzer politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Koalisi Damai, Herry Sufehmi, mengatakan hoaks tentang politik tersebut mulai masif diproduksi sejak tahun lalu. Angkanya terus meningkat hingga pertengahan 2023. "Tahun ini sudah tersebar secara masif dan diperkirakan terus meningkat hingga tahun depan," kata Herry, yang juga pendiri Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo), Kamis, 22 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesuai dengan kajian Mafindo, kata Herry, jumlah hoaks tentang politik mencapai 233 temuan pada trimester pertama 2023. Angka ini naik berlipat-lipat dibanding pada periode yang sama tahun lalu, yang hanya 22 temuan.
Temuan teranyar, pelaku produksi hoaks politik dan ujaran kebencian tersebut adalah akun-akun media sosial yang awalnya hanya menyebar konten pornografi. Mereka sengaja menyebar konten pornografi lebih dulu untuk menarik pengikut atau follower sebanyak-banyaknya. Selanjutnya, akun tersebut berubah menjadi pendengung, lalu menyebarkan hoaks tentang politik.
"Kami menemukan mereka ada jaringannya yang membuat akun porno. Ini dijadikan bisnis untuk membuat buzzer politik," ujar Herry.
Ia menyebutkan akun pendengung tersebut menyerang dan menjelek-jelekkan kandidat calon presiden potensial. Mereka kerap menggulirkan isu politik identitas berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pada masa-masa penggalangan dukungan, produksi hoaks mereka rata-rata yang berisi serangan terhadap kandidat calon presiden potensial mencapai 45,7 persen. Selain kandidat calon presiden, penyelenggara pemilu kerap mendapat serangan berita bohong.
Warga melakukan aksi penolakan terhadap hoaks jelang Pemilu di kawasan Bundaran HI, Jakarta. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Menurut Herry, semua pihak mesti berfokus mengatasi persoalan ini. Sebab, produksi hoaks politik yang makin masif menjelang Pemilu 2024 berpotensi mengadu domba masyarakat. Lalu serangan terhadap penyelenggara pemilu dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pelaksanaan dan hasil pemilu. "Perlu kolaborasi bersama untuk melawan hoaks pemilu ini," kata dia.
Ketua Presidium Koalisi Damai, Wijayanto, menguatkan penjelasan Herry. Ia mengatakan produksi ujaran kebencian dan hoaks pemilu ini mulai membelah masyarakat. "Penyedia platform digital dan pemerintah juga sudah mengakui situasi sudah seperti ini," kata Wijayano dalam acara diskusi bertajuk "Melawan Ujaran Kebencian dan Disinformasi Jelang Pemilihan Umum 2024 di Indonesia" di Jakarta, Kamis, 22 Juni 2023.
Diskusi tersebut melibatkan 12 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Damai serta penyelenggara pemilu, pemerintah, dan platform media sosial. Lembaga yang tergabung dalam Koalisi Damai adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI); Center for Digital Society (CDS)-Universitas Gadjah Mada; Center for Strategic and International Studies (CSIS); ECPAT Indonesia ICT Watch; Jaringan Gusdurian; Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES); Mafindo, Southeast Asia Network for Freedom of Expression (SAFENet); Yayasan TIFA; serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Wijayanto memperkirakan produksi ujaran kebencian dan hoaks pada pemilu kali lebih tinggi dibanding pada Pemilu 2019 karena tidak ada calon inkumben. Elektabilitas setiap calon presiden yang tidak berbeda jauh akan membuat kompetisi semakin tajam. Para pendengung setiap calon presiden akan berusaha mengerek elektabilitas jagoannya sekaligus menyerang lawan politik dengan ujaran kebencian dan kabar bohong.
Ia mengajak semua pihak untuk mengatasi persoalan ini. "Jangan sampai media sosial menjadi tempat provokasi yang memantik polarisasi," kata dia.
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan disinformasi memang merupakan salah satu tantangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Ia mencontohkan pemilu terdahulu, yang di dalamnya emosi masyarakat tersulut oleh berbagai disinformasi di media sosial.
Khoirunnisa melihat Komisi Pemilihan Umum tidak menyiapkan regulasi yang memadai untuk mengantisipasi ujaran kebencian dan disinformasi di media sosial tersebut. Saat ini KPU tengah menyiapkan draf peraturan KPU tentang kampanye, yang di dalamnya mengatur penggunaan media sosial. Dalam draf itu, peserta pemilu dibolehkan mempunyai maksimal 20 akun media sosial. Aturan ini berbeda dengan Pemilu 2019, yang hanya mengizinkan peserta pemilu memiliki maksimal 10 akun media sosial.
Ia melihat ada yang kurang tepat dari ketentuan tersebut. Sebab, masalah utama bukan pada jumlah akun resmi, melainkan pada konten yang disebarkan akun media sosial tersebut.
Khoirunnisa juga menyoalkan transparansi dana. “Misalnya, berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh peserta pemilu untuk membayar buzzer? Hal itu belum tercantum dalam laporan dana kampanye," kata Khoirunnisa.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja. Tempo/Tony Hartawan
Ketua Badan Pengawas Pemilu, Rahmat Bagja, mengatakan lembaganya menemukan adanya peningkatan ujaran kebencian dan kabar bohong saat ini. Ujaran kebencian itu berbau rasial. Bawaslu mendapati ujaran kebencian berbau rasial itu paling banyak menyinggung ras atau suku bangsa Arab.
Ia menyebutkan Bawaslu sudah mengidentifikasi sejumlah akun yang menjadi penyebar ujaran kebencian. Tapi Bawaslu tidak dapat menindaknya karena belum memasuki masa kampanye. Karena itu, Bawaslu menyerahkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika agar menindaknya dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Atas permintaan Bawaslu, kata dia, Kementerian Komunikasi akan membekukan akun media sosial penyebar ujaran kebencian dan hoaks tentang politik tersebut. "Datanya sudah kami serahkan ke Kominfo dan sudah ratusan yang di-takedown pada tahun lalu," kata Rahmat Bagja.
Ia melanjutkan, pada masa kampanye pemilu nanti, Bawaslu akan melacak Internet protocol (IP) akun media sosial penyebar ujaran kebencian dan hoaks tersebut. "Setelah kami temukan siapa pengguna akun penyebar hoaks itu, kami akan pidanakan," kata dia.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo