Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mayoritas pengidap HIV masih berusia produktif.
Hasil riset di Semarang pada tahun lalu menemukan 25 ibu positif mengidap HIV.
Peran organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan dalam mendampingi pengidap HIV.
JAKARTA – Planning Officer Indonesia AIDS Coalition (IAC)—organisasi nonpemerintah di bidang advokasi pengidap HIV—Zahwa Maula, mengatakan peran organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan dalam mendampingi pengidap HIV (human immunodeficiency virus). Namun organisasi masyarakat sipil tetap mesti mendapat sokongan dana dari pemerintah dalam mengadvokasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyebutkan selama ini organisasi masyarakat sipil yang berfokus mengadvokasi pengidap HIV mendapat sokongan dana internasional. Namun dukungan dana ini perlahan mulai berkurang karena Indonesia dianggap sebagai negara maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Donor internasional itu tidak selamanya bertahan di Indonesia. Jadi, organisasi masyarakat sipil harus punya kemandirian untuk pendanaan, salah satunya dengan mengakses dana pemerintah,” kata Zahwa, Selasa, 25 Juli 2023.
Ia berharap organisasi masyarakat sipil yang berfokus mengadvokasi pengidap HIV diberi kemudahan dalam mengakses program pemerintah tipe III. Program tipe III adalah kegiatan swakelola yang anggarannya berasal dari pemerintah dan pelaksanaan program lewat organisasi masyarakat.
Supervisi Program Pencegahan HIV untuk Pekerja Seks Perempuan di Pekanbaru, Maret 2023. Dok. IAC
Koordinator Program Gaya Dewata Bali—organisasi nonpemerintah yang berfokus mengadvokasi pengidap HIV—Madekarya mengatakan selama ini lembaganya mengandalkan sokongan dana internasional dalam mengadvokasi pengidap HIV. Namun, mulai tahun ini, Gaya Dewata Bali mendapat bantuan dana swakelola dari Pemerintah Provinsi Bali sebesar Rp 68 juta.
Dana tersebut akan digunakan untuk kegiatan pelatihan hak-hak kesehatan reproduksi terhadap petugas pelayanan kesehatan. Kegiatan ini akan dilakukan dua kali dalam satu tahun. “Output-nya adalah menurunkan stigma dan diskriminasi bagi penderita HIV,” kata dia.
Madekarya melanjutkan, selama ini lembaganya banyak mengedukasi masyarakat di Bali serta mendata pengidap HIV. Teranyar, mereka mendata 90 orang yang terkonfirmasi positif mengidap HIV dari 3.000 orang yang diperiksa.
Selama ini jumlah pengidap HIV di Indonesia cukup tinggi. Merujuk pada data Kementerian Kesehatan tahun lalu, pengidap HIV menyebar di semua provinsi di Indonesia. Enam provinsi dengan angka pengidap HIV tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Bali. Mayoritas pengidap HIV ini berusia 25-49 tahun, yang mencapai 67,9 persen dari total warga yang terkonfirmasi positif.
Direktur Pelaksana Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Semarang, M. Afifun Naim, mengakui sebaran pengidap HIV sampai di Kota Semarang. Ia menyebutkan hasil riset lembaganya pada tahun lalu menemukan 25 ibu positif HIV. Mereka rata-rata berusia produktif, yaitu 20-40 tahun. Latar belakang juga beragam, dari pekerja seks hingga ibu rumah tangga.
Riset lembaganya dalam enam bulan terakhir menemukan 140 orang terdiagnosis positif mengidap HIV di Kota Semarang. Angka itu berasal dari pemeriksaan terhadap 2.300 orang. “Pada Juli ini saja, sudah ada 19 kasus baru,” ujarnya.
Ia mengatakan lembaganya berfokus mengadvokasi pengidap HIV di antaranya dengan mengandalkan sokongan dana dari pemerintah. Adapun PKBI Semarang mendapat bantuan pemerintah daerah sebesar Rp 35 juta pada tahun ini. Dana tersebut akan digunakan untuk mendampingi ibu hamil yang terdiagnosis mengidap HIV. Upaya pendampingan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko penularan terhadap bayi.
“Pemerintah memang sudah ada (advokasi), tapi sebatas tes. Pendampingan psikososial enggak ada,” kata Afifun.
Tenaga Ahli Utama Deputi II Kantor Staf Presiden, Brian Sri Prahastuti, mengatakan pemerintah sesungguhnya terus berusaha menekan laju penularan HIV. “Strategi pemerintah dengan melakukan kemitraan, termasuk dengan organisasi masyarakat,” kata Brian.
Ia mendorong masyarakat agar tak menstigma negatif pengidap HIV dan tenaga kesehatan tidak diskriminatif terhadap mereka. “Kami mendengar banyak yang drop off saat menjalani pengobatan HIV,” kata dia.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo