Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Upaya berburu restu pak harto

Ikatan cendekiawan itu belum juga berdiri. yang muncul adalah keretakan. mengapa?

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APALAH artinya sebuah nama, kata orang bijak. Tapi dalam budaya politik di Indonesia, rupanya, nama itu penting sekali. Maka, pemberian nama untuk sebuah organisasi cendekiawan yang masih berbentuk embrio terpaksa melalui proses yang alot. Bahkan sampai menggunakan voting. Kesibukan ini terjadi di Hotel Kartika Chandra, Kamis malam pekan lalu. Adalah Mayor Jenderal (Purn.) Moehono, 78 tahun, Sekretaris Militer Presiden pada awal Orde Baru, yang memimpin langsung acara untuk memilih nama organisasi cendekiawan yang dalam beberapa pekan ini sudah menjadi berita di berbagai media itu. Dalam pertemuan itu, Moehono, yang sehari-hari dikenal sebagai Rektor Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Jakarta, menanyakan kepada sekitar 20 hadirin: nama apa yang mereka anggap cocok untuk organisasi itu. Hadirin adalah orang-orang yang memegang posisi di 17 perguruan tinggi swasta di Jakarta, tapi mereka hadir di sana sebagai pribadi. Di antaranya adalah Prof. K.T. Sirait (Rektor Universitas Kristen Indonesia), Prof. Sri Soemantri (Universitas 17 Agustus), dan Prof. Dardji Darmodihardjo (guru besar Unkris). Bekas Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, tokoh paling menonjol di tengah hiruk-pikuk pembentukan organisasi ini, tak hadir. Ia hanya mengirimkan utusan. Sebagai jawaban untuk Moehono, muncul sejumlah nama, seperti Paguyuban Cendekiawan Pembangunan (PCB), Ikatan Cendekiawan Indonesia (ICI) -- nama yang pernah dilontarkan oleh Menteri Pertahanan Keamanan Jenderal (Purn.) Edi Sudradjat -- dan Ikatan Cendekiawan Kebangsaan Indonesia (ICKI), yang berasal dari usulan Alamsjah Ratu Perwiranegara. Ada pula yang mengusulkan Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila (PCPP). Rupanya, hadirin tak bisa mufakat untuk memilih sebuah nama. Maka, Moehono menganggap perlu dilakukan voting, sesuai dengan asas demokrasi. Ternyata, hasil voting itu menunjukkan, ICKI tak mendapat pasaran, cuma mengumpulkan nol suara. ICI, nama yang dilansir Edi Sudradjat -- terkadang diejek orang karena mirip nama pabrik cat -- juga tak mendapat dukungan, hanya meraih dua suara. Nama yang lain pun bernasib sama. Pemenangnya PCPP, dengan tujuh suara. Setelah melihat hasil pemungutan suara itu, yang ternyata mengunggulkan PCPP, Moehono segera menskors sidang. Tampaknya, lobi pun terjadi. Yang jelas, seperti dituturkan Moehono kepada TEMPO, ketika pertemuan dibuka kembali, semua yang memilih nama di luar PCPP mencabut suaranya. Dengan demikian, tercapailah musyawarah mufakat: organisasi itu dinamakan PCPP. Inilah nama calon bayi yang menurut rencana akan segera dilahirkan awal bulan ini. Moehono akan mendaftarkan organisasi itu ke Departemen Dalam Negeri. Tapi mengapa Alamsjah tak hadir? Mengapa pula nama yang dilansirnya, ICKI, yang sudah sempat begitu terkenal melalui media massa, tak disukai hadirin? Tak pelak lagi, sudah terjadi "sesuatu" antara Alamsjah di satu pihak dan Moehono serta kawan-kawan di pihak lain. Sumber-sumber di sekitar Moehono mengkonfirmasikan, "sesuatu" itu jelas ada. "Alamsjah sudah kami tinggal," kata sebuah sumber. Menurut sumber itu, sejumlah anggota panitia perumus dongkol kepada Alamsjah, yang mereka tuduh suka jalan sendiri. Panitia perumus dibentuk pada saat berlangsungnya seminar tentang kebangsaan di Unkris, 29 April lalu. Di seminar ini, Alamsjah tampil sebagai pembicara, dan pada saat itulah ia melontarkan perlunya dibentuk organisasi cendekiawan kebangsaan alias ICKI. Panitia perumus akan merealisasikan gagasan tersebut dengan membuat konsep anggaran dasar dan anggaran tumah tangga, termasuk merumuskan nama organisasi itu. Ternyata Alamsjah sudah melemparkan nama ICKI ke permukaan tanpa melewati panitia perumus. Karena itu, kemudian tim perumus cenderung mebiarkan Alamsjah berjalan sendiri. Apalagi kehadiran Alamsjah di sini, seperti kata Moehono, lebih dianggap sebagai narasumber saja. Alamsjah tak bisa ditemui untuk mengkonfirmasikan soal ini. Tapi, kepada kolega dekatnya - seperti dikatakan kolega itu kepada TEMPO -- Alamsjah mengatakan, semua tudingan tadi muncul karena ambisi Moehono yang ingin tampil dominan di PCPP. "Ya, silakan saja," kata Alamsjah kepada sang kolega. Nyatanya, karena menganggap ikut membidani embrio PCPP, Alamsjah tak tinggal diam. Misalnya, ia sudah mengirim surat permohonan untuk bertemu dengan Presiden Soeharto, sampai empat kali. Tapi rupanya, permohonan itu belum juga terkabul. Sebuah sumber menyebutkan, Jumat pekan lalu Alamsjah bermain golf di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur. Pada saat yang sama, Pak Harto juga bermain golf di sana. Namun, Alamsjah dan Pak Harto tak sempat mengadakan pembicaraan apa-apa. Padahal, dalam kondisi mulai ditinggalkan teman-temannya seperti sekarang, Alamsjah tentu akan kembali berkibar bila mendapat restu untuk membentuk organisasi cendekiawan itu dari Presiden. Namun, sebagai orang yang sudah kenyang dengan asam garam politik, Alamsjah tampaknya belum akan diam. Selain masih terus berusaha menghubungi Pak Harto, menurut sumber yang dekat dengan bekas Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat itu, kini Alamsjah sedang mempersiapkan manuver lain untuk mengganjal langkah Moehono dan kawan-kawan, yang agaknya dianggap sudah mulai mbalelo. Usaha yang sama -- mengusahakan dukungan Presiden atas organisasi ini -- dilakukan oleh Moehono dan kawan-kawan. Kamis pekan lalu, misalnya, Moehono sempat menemui Menteri Moerdiono selama satu jam di Sekretariat Negara. Konon, Moehono minta bantuan Moerdiono menyampaikan berbagai ihwal organisasi cendekiawan mereka itu kepada Presiden. Tapi bagaimana hasilnya belum jelas. Sementara itu, dalam kelompok Moehono beredar bisik-bisik bahwa Pak Harto sudah memberi "lampu hijau". Menurut bisik-bisik itu, nama PCPP itu sebenarnya berasal dari sejumlah orang. Konon, sebelum melemparkan usulan nama PCPP dalam pertemuan di Hotel Kartika Chandra tadi, diam-diam Moehono sudah mengajukannya ke Pak Harto. Nama yang ia sampaikan kepada Presiden -- via Moerdiono -- tiga pekan lalu adalah Ikatan Cendekiawan Pembangunan. Lalu, alkisah, Pak Harto memberikan disposisi, merestui nama itu. Hanya, konon, Pak Harto menambahkan "Pancasila" di belakang nama itu, maka jadinya Ikatan Cendekiawan Pembangunan Pancasila. Lalu, nama itu dibawa pula oleh Moehono kepada bekas Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Surono. Yang disebut terakhir itu menyarankan kata "Ikatan" diganti "Persatuan", lalu menjadi PCPP. Benarkah bisik-bisik itu? Menteri Negara Sekretaris Negara Moerdiono membantahnya. "Sejauh yang saya tahu, usulan seperti itu tidak pernah ada dari atau kepada Pak Harto. Pak Harto tak akan mencampuri sampai tanggal kelahiran organisasi itu. Jadi, kapan lahirnya bukan urusan Presiden," katanya. Melihat kondisi seperti ini, tak aneh kalau kelahiran organisasi ini pun tertunda terus. Malah, menurut sumber TEMPO, Moehono dan kelompoknya, maupun Alamsjah, belum berhasil menggaet seorang figur untuk dijadikan ketua umum ICKI maupun PCPP. Padahal, Alamsjah sudah sempat melempar kriteria sang ketua: seorang menteri dan bertitel doktor. Dengan kriteria itu, sejumlah nama konon sudah dihubungi, tapi enggan menerima. Belakangan, mereka mengontak Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN Haryono Suyono, tapi juga tak mendapat sambutan yang memadai. Gagasan mendirikan PCPP sendiri sebenarnya bermula dari Unkris, yang berkampus di Pondok Gede, Jakarta. Beberapa dosen di Unkris, seperti Marcus Maly (kini wakil rektor III) dan Madiri Thamrin Sianipar (dosen Fakultas Administrasi Unkris), memandang perlu dibuat wadah baru cendekiawan yang berwawasan kebangsaan. Ini perlu, menurut Sianipar, setelah melihat adanya kecenderungan ikatan cendekiawan lain bersifat sektarian, primordial, dan melakukan politik praktis. Yang dituding, siapa lagi kalau bukan ICMI. "Terus terang kami di PCPP tak berobsesi pada kekuasaan," kata Marcus Maly, Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) periode 1982-1985. Pemikiran dosen-dosen muda yang didukung sepenuhnya oleh Rektor Unkris ini, seperti ditulis dalam "Pokok-Pokok Pikiran tentang Pembentukan Wadah Cendekiawan Kebangsaan", kemudian ditampung oleh Prof. Sambas Wirakusumah -- kakak kandung Edi Sudradjat -- dalam makalahnya yang berjudul "Paguyuban Cendekia 2000". Makalah itu disampaikan dalam seminar di Unkris akhir April lalu. Di seminar itu pulalah berbicara Alamsjah. Tampaknya, sedang muncul kebutuhan pada organisasi semacam ini, di saat ICMI sedang berkibar dan tangannya menjangkau di mana-mana. Katakanlah sebagai penyeimbang terhadap ICMI yang selalu dituding senang bermain politik itu. Karena itu, dalam rancangan anggaran dasar PCPP, secara tegas dicantumkam bahwa organisasi ini tak berpolitik praktis. PCPP juga menyatakan diri independen dan tak terikat pada kepentingan kelompok atau golongan (pasal 7). Bagaimana kalau pribadi-pribadi anggota PCPP yang bermain politik? "Yang mau berpolitik praktis nanti, ya, harus minta izin dulu dari organisasi," kata Moehono. Jadi, mereka jelas membedakan diri dari ICMI, yang membebaskan anggotanya secara pribadi-pribadi bermain politik. "Pokoknya, kami ini nanti membantu politik pemerintah," katanya. Adanya kebutuhan tadi bisa pula dilihat pada peresmian berdirinya Forum Komunikasi Alumni GMNI, di Semarang, dua pekan lalu. GMNI, organisasi mahasiswa yang pernah berafiliasi ke PNI, kini rupanya merasa perlu menghimpun alumninya, seperti yang sudah lama dilakukan alumni HMI dengan KAHMI. Pada kesempatan ini, Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Siswono Yudohusodo dan Menteri Hankam Edi Sudradjat tampil sebagai pembicara dalam seminar yang diberi judul "Semangat Kebangsaan dan Pelestarian Bhineka Tunggal Ika". Malah, beberapa tahun lalu, dalam sebuah acara eksponen Angkatan 66 di Jakarta, sudah tercetus ide membentuk Ikatan Cendekiawan Nusantara (ICNU). Gagasan ini, antara lain, diprakarsai Eki Syahrudin. Belakangan tak terdengar lanjutan gagasan ini. Ada yang bilang, itu karena ICNU kurang mendapat sambutan dari "atas". Setelah itu, sayup-sayup terdengar pula upaya untuk membentuk Ikatan Cendekiawan Nasional Indonesia (ICNI), yang diprakarsai oleh Menteri Siswono Yudohusodo. Upaya ini malah telah berencana membentuk sebuah yayasan yang didukung oleh para pejabat atau bekas pejabat tinggi. Sudah sempat ada upaya mencalonkan bekas Menteri Koordinator Kesra yang kini Ketua KONI, Surono, sebagai pemimpin kelompok ini. Konon, Surono menampik, maka upaya ini pun belum kesampaian. Berbagai upaya ini sebenarnya bukan tak memiliki pendukung yang punya "bobot". Selain Menteri Siswono, Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja juga terhitung orang yang menyetujui ide terbentuknya ikatan yang tanpa label agama itu. Sejumlah bekas perwira tinggi ABRI, konon, bersikap serupa. Menteri Edi Sudradjat, misalnya, malah berharap ikatan semacam PCPP bisa menjadi perekat terhadap sejumlah ikatan cendekiawan yang sudah ada, seperti ICMI, PIKI, ISKA, dan FCHI. "Karena wawasan kebangsaan sangat mengindahkan kondisi yang majemuk," kata Edi Sudradjat kepada TEMPO. Karena itulah Edi pagi-pagi sudah mendukung berdirinya ICKI maupun PCPP. Dari Mabes ABRI memang tak terdengar sambutan hangat. Kepala Staf Sosial Politik ABRI R. Hartono, misalnya, tak melihat ICMI sebagai sektarian yang membahayakan bangsa. Dalam pandangan jenderal bintang tiga itu, orang yang beriman tentulah juga orang yang mencintai bangsanya. Yang jelas, upaya mendirikan ikatan cendekiawan model Alamsjah atau Moehono ini tampak berjalan tertatih-tatih. Sangat berbeda dengan suasana saat ICMI dibentuk di Malang, tahun 1990, yang semarak itu. Perbedaan ini muncul tentulah karena dukungan kuat yang diberikan Pak Harto kepada ICMI. Agus Basri, Ivan Haris, Diah Purnomowati, dan Linda Djalil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus