Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BATAM – Penolakan warga 16 kampung tua di Pulau Rempang dan Galang atas rencana pembangunan Rempang Eco-City berlanjut ke jalur hukum. “Kami akan mengajukan upaya banding administratif atas keputusan atau tindakan pejabat pemerintahan terkait persoalan di Rempang,” kata anggota tim hukum Solidaritas Nasional untuk Rempang, Ahmad Fauzi, pada Ahad, 1 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Solidaritas Nasional untuk Rempang digagas oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Pekanbaru, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), LBH Mawar Saron Batam, PBH Peradi Batam, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), serta Trend Asia. Sejak pertengahan September lalu, mereka membuka posko pengaduan bantuan hukum di Rempang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga Rempang kini terancam diusir paksa oleh pemerintah melalui Badan Pengusahaan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) yang berniat menyulap pulau seluas 17 ribu hektare itu menjadi kawasan wisata dan industri terintegrasi bertajuk Rempang Eco-City. Proyek strategis nasional ini akan dikembangkan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG), bagian dari Grup Artha Graha milik pengusaha Tomy Winata. Kawasan ini, di antaranya, disiapkan menjadi lahan pembangunan pusat industri kaca dan panel surya yang akan dibiayai investor asal Cina, Xinyi International Investment Limited. Pemerintah mengklaim proyek ini akan menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
Fauzi mengatakan, tim pendamping hukum dan warga Rempang telah melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo dan jajarannya pada 25 September lalu. Namun pemerintah tak kunjung merespons. Sehingga, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pihak yang keberatan dapat melakukan langkah hukum pidana, perdata, maupun administrasi.
Upaya banding administratif itu, kata dia, bakal menjadi langkah terakhir sebelum memutuskan untuk menempuh gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Pekan ini akan kami ajukan banding administratif kepada pihak yang sama,” ujarnya.
Polisi menembakkan gas air mata saat membubarkan unjuk rasa warga Pulau Rempang di kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Batam, Kepulauan Riau, 11 September 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Fauzi menjelaskan, dalam somasi yang dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo hingga Kepala BP Batam, tim pendamping hukum dan warga Rempang menilai pihak-pihak tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum, termasuk dalam penandatanganan perjanjian kerja sama dengan calon pengembang dan investor Rempang Eco-City. Perjanjian kerja sama itu dinilai telah mengabaikan hak-hak tradisional warga di 16 kampung tua yang tersebar di Pulau Rempang dan Galang. "Perjanjian-perjanjian itu melanggar asas keterbukaan, partisipasi publik, kepastian hukum, dan akuntabilitas," kata Fauzi.
Selain itu, pemerintah dianggap menabrak regulasi dalam penerbitan sertifikat Hak Penggunaan Lahan (HPL) oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada BP Batam. Penerbitan HPL tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria.
Berbagai perbuatan melawan hukum tersebut, kata Fauzi, telah menjadi dasar dilakukannya pengukuran tata batas dan pemasangan patok lahan secara paksa oleh BP Batam yang memicu kerusuhan pada 7 September lalu. "Proses pengukuran paksa di 16 kampung tua juga disertai dengan kekerasan dan intimidasi," ujar Fauzi. Karena itu, kata dia, upaya banding administratif juga dilakukan terhadap tindakan represif aparat gabungan Polri, TNI, dan Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Batam.
Baca juga:
Para Penyokong Proyek Rempang
Tak Luput Rempang dari Tomy
Basa-basi Mengaburkan Represi
Kajian Tak Gusur Warga Rempang Diingkari
Menurut Fauzi, apabila pemerintah tak juga menanggapi upaya banding administratif itu, tim hukum memiliki waktu 14 hari untuk menindaklanjutinya dengan langkah hukum berikutnya berupa pengajuan sengketa tata usaha negara di PTUN. “Untuk gugatan ke PTUN, berkas juga sudah lengkap dan tinggal eksekusi saja,” kata dia.
Upaya hukum tak hanya dilayangkan oleh tim Solidaritas Nasional untuk Rempang. Himpunan Masyarakat Adat Pulau Rempang-Galang (Himad Purelang) melalui kuasa hukumnya, Alfons Loemau, juga menggugat pemerintah dan sejumlah pihak secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas dugaan perbuatan melawan hukum. Dilayangkan pada 25 September lalu, gugatan itu didasari keberatan warga Pulau Rempang dan Galang terhadap upaya penggusuran yang merugikan mereka.
Namun, hingga kemarin, Alfons belum merespons pertanyaan Tempo mengenai perkembangan permohonan gugatan tersebut. Sebelumnya, dalam gugatannya, Himad Purelang menggugat Kepala BP Batam yang juga Wali Kota Batam, PT MEG, Presiden RI, serta Menteri Agraria dan Tata Ruang. Adapun Xinyi Group dan sejumlah notaris menjadi pihak yang turut tergugat. Pokok gugatan mereka adalah mempersoalkan legalitas rencana pengembangan Pulau Rempang. Sejumlah perjanjian dengan calon investor, misalnya, dinilai cacat hukum karena dibuat ketika BP Batam belum mengantongi hak pengelolaan lahan atas Pulau Rempang.
Kepala BP Batam Muhammad Rudi (tengah) menemui masyarakat yang melakukan unjuk rasa di kantor BP Batam, 11 September 2023. Dok. BP Batam
Berkukuh Menggusur Kendati Legalitas Kabur
Lewat keterangan pers pada 24 September lalu, Kepala BP Batam yang juga Wali Kota Batam, Muhammad Rudi, mengumumkan bahwa dia urung menjadikan 28 September sebagai batas waktu terakhir proses relokasi warga Rempang. Dia berdalih proses relokasi warga di empat kampung tua di Rempang, yang menjadi lokasi pengembangan tahap I Rempang Eco-City, bakal dilanjutkan dengan pendekatan humanis dan persuasif. “Saya tak mau ada paksaan terhadap warga saya di Rempang,” kata Rudi.
Dalam keterangan selanjutnya, BP Batam juga mengklaim telah mengantongi persetujuan relokasi dari 317 keluarga per 27 September lalu. Meski tak menyebutkan secara spesifik keluarga yang disebut telah mendaftar tersebut, Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, menyatakan bahwa angka tersebut merupakan akumulasi dari jumlah warga dari empat kampung tua yang menjadi kawasan tahap I Rempang Eco-City. “Bisa dilihat pada siaran pers kami bahwa warga telah banyak yang mendukung pembangunan,” kata Ariastuty.
Empat kampung untuk rencana lokasi pengembangan tahap I yang dimaksudkan meliputi Kampung Sembulang Pasir Merah, Sembulang Hulu, Pasir Panjang, dan Blonkeng. Tiga kampung pertama disiapkan untuk menjadi lokasi industri kaca dan panel surya terintegrasi yang akan dibangun oleh investor asal Cina. Sedangkan di Kampung Blonkeng akan dibangun Tower Rempang Eco-City.
Warga 16 kampung tua Rempang yang berkumpul di Kampung Sembulang Pasir Merah menyatakan menolak relokasi dan rencana pengosongan, 28 September 2023. Istimewa
Muhamad Yusril Mahendra, anggota tim hukum Solidaritas Nasional untuk Rempang, mempertanyakan klaim BP Batam ihwal jumlah warga Rempang yang bersedia direlokasi. Dia mengatakan, beberapa warga di Pasir Panjang memang telah menyatakan bersedia. “Tapi mereka yang mau ikut relokasi adalah pegawai negeri sipil dan warga pendatang,” kata Yusril.
Menurut Yusril, setidaknya hingga 1 Oktober 2023, sebanyak 100 keluarga di Pasir Panjang telah mendaftar ke posko bantuan hukum yang didirikan Solidaritas Nasional untuk Rempang. Sedangkan total keluarga di Pasir Panjang selama ini hanya 139 keluarga. "Jadi, kalau diklaim ada 317 keluarga bersedia direlokasi itu jumlahnya dari mana?” kata dia.
Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Even Jerry Sembiring, juga mempertanyakan pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang sebelumnya mengklaim pengembangan Rempang Eco-City telah dilengkapi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Menurut Even, Bahlil telah menyebarkan kabar bohong. Sejauh ini, kata dia, warga Rempang tidak pernah mengetahui tentang amdal yang dimaksudkan. “Awalnya dia bilang ada, tapi ternyata tidak. Bagaimana bisa menilai dampak tanpa ada amdal,” kata Even. “Jadi, aneh saja sosialisasi sering, persiapan relokasi sudah dilakukan, tapi amdal baru disusun.”
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia belum menjawab pesan pertanyaan yang dikirim Tempo ke nomor telepon selulernya. Hingga semalam, pesan tersebut hanya berstatus terkirim tanpa dibaca oleh Bahlil.
Nelayan mengecek perahu motornya saat tidak melaut di perkampungan nelayan Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 17 September 2023. ANTARA/Teguh Prihatna
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, mengatakan, temuan lembaganya telah jelas menunjukkan bahwa BP Batam tidak memiliki sertifikat pengelolaan HPL di Pulau Rempang karena lahan yang dimohonkan belum berstatus clear and clean. Menurut dia, BP Batam hanya mengantongi Surat Keputusan Menteri ATR/BPN terkait dengan pemberian HPL pada 31 Maret yang akan habis masa berlakunya pada 30 September 2023. SK itulah yang menjadi dasar penerbitan sertifikat HPL. “Tetapi SK gugur karena habis masa berlakunya. Artinya, sertifikat HPL tidak akan diterbitkan,” kata Johanes.
Johanes memastikan Ombudsman akan terus mengawal konflik Rempang. Pasalnya, dia hakulyakin BP Batam akan melanjutkan upaya pengosongan lahan kendati belum dilengkapi legalitas. “Kami akan memonitor untuk bagaimana BP Batam mengambil langkah persuasif dan adil bagi warga yang terkena dampak,” ujarnya.
Sampai laporan ini diturunkan, Ariastuty Sirait belum menjawab pertanyaan terbaru yang dikirim Tempo ke nomor selulernya. Sebelumnya, Kamis lalu, dia mengklaim bahwa kewenangan Otorita Batam—kini BP Batam—sebagai pengelola Pulau Rempang dan Galang telah diatur berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992. “Saat ini adalah prosesnya,” kata Ariastuty saat itu.
Sementara itu, di tengah simpang siurnya legalitas proyek Rempang Eco-City, warga Pulau Rempang masih dirundung waswas kendati batas waktu relokasi pada 28 September lalu dibatalkan. Suryati, warga Kampung Sembulang Pasir Merah, menceritakan bahwa aktivitas warga kampungnya belum kembali normal. Para pria yang biasanya berladang hingga pukul 4 sore sekarang memilih pulang lebih cepat dari ladang mereka. “Karena ini belum ada kepastian dicabut atau tidak proyeknya. Kami khawatir kalau terjadi penggusuran tiba-tiba,” kata Suryati.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo