Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penolakan terhadap permohonan PKS tersebut menujukkan bahwa MK menghindar dari upaya menyelesaikan permasalahan konstitusional mengenai ambang batas pencalonan presiden.
Dua hakim konstitusi menyampaikan alasan berbeda tentang presidential threshold 20 persen.
JAKARTA – Partai Keadilan Sejahtera akan memperjuangkan revisi Undang-Undang Pemilu setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan mereka mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, kemarin. “Kami akan memperjuangkan ini melalui revisi Undang-Undang Pemilu terkait dengan angka presidential threshold 20 persen,” kata kuasa hukum PKS, Zainudin Paru, Kamis, 29 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan rencana revisi Undang-Undang Pemilu tetap merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi. MK menolak judicial review Pasal 222 Undang-Undang Pemilu mengenai presidential threshold sebesar 20 persen. Sebab, mengubah atau menghapus ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yaitu legislatif dan eksekutif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan atas uji materi Pasal 222 UU Pemilu tersebut, kemarin. Pemohon uji materi ini adalah Dewan Pimpinan Pusat PKS yang diwakili Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Sekretaris Jenderal Aboe Bakar Al Habsyi, serta Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Segaf Al Jufri.
Dalam permohonannya, PKS meminta ambang batas pencalonan presiden diturunkan menjadi 7-9 persen, atau lebih proporsional, rasional, dan implementatif sehingga tidak merugikan hak konstitusional partainya.
Meski Mahkamah Konstitusi menolak uji materi tersebut, dua hakim konstitusi menyampaikan alasan berbeda atau concurring opinion, yaitu Suhartoyo dan Saldi Isra. Suhartoyo berpendapat bahwa penerapan persentase ambang batas pencalonan presiden tidak tepat dilakukan. Sedangkan Saldi Isra menilai semua partai politik mempunyai hak yang sama untuk mengusung pasangan calon presiden sehingga ambang batas tak diperlukan.
Kuasa Hukum PKS, Zainudin Paru. Dok Tempo/Dian Triyuli Handoko
Menurut Zainudin Paru, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tetap patut dicermati meski menyatakan menolak permohonan pemohon. Sebab, dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi mengapresiasi dalil pemohon dalam menentukan ambang batas pencalonan presiden menggunakan pengkajian ilmiah yang rasional, proporsional, dan implementatif melalui penghitungan indeks effective numbers of parliamentary parties (ENPP).
“Ini harus menjadi catatan bagi pembentuk undang-undang dalam menentukan angka presidential threshold ke depannya dalam revisi UU Pemilu,” kata juru bicara DPP PKS Bidang Hukum ini.
Ia melanjutkan, PKS memahami putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Mahkamah Konstitusi, kata dia, tidak berani mengabulkan permohonan PKS karena akan terjadi perubahan atau melawan kekuatan yang besar. “Ada juga keengganan MK memberikan kesempatan kepada kami untuk menyampaikan pembuktian sehingga langsung buru-buru diputuskan pasca-sidang pemeriksaan pendahuluan,” ujarnya.
Zainudin menyebutkan antusiasme masyarakat cukup tinggi terhadap permohonan PKS tersebut. Hal itu terlihat dari penjelasan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan terdapat 67 kelompok masyarakat yang mengajukan diri sebagai pihak terkait. Namun mereka tidak diberi kesempatan dan ruang yang luas untuk menjelaskan serta membuktikan gagasannya.
Sebelum gugatan PKS ini, sudah ada belasan permohonan judicial review serupa yang juga ditolak Mahkamah Konstitusi. Misalnya, permohonan uji materi sejumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah, Partai Bulan Bintang, dan sejumlah tokoh nasional. Alasan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan mereka adalah para pemohon dinilai tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing. Berbeda dengan posisi PKS yang justru diakui memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review UU Pemilu.
Sekretaris Jenderal PKS, Aboe Bakar Al Habsyi, kecewa atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. “Artinya, secara politik, perubahan presidential threshold 20 persen hanya dapat dilakukan di parlemen. Ini tentunya akan menjadi tantangan sendiri ke depan,” kata dia. “Kami harus terima realitas politik bahwa 2024 hanya beberapa orang terbatas yang bisa maju ke pemilihan presiden.”
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan PKS tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah menghindar dari upaya menyelesaikan permasalahan konstitusional mengenai ambang batas pencalonan presiden. Padahal PKS dan siapa pun berhak mempertanyakan bentuk konstitusional ambang batas pencalonan presiden ini.
“Kalau dikembalikan lagi ke pembentuk undang-undang, ini yang menjadi pertanyaan. Padahal undang-undang itu sendiri yang dianggap merupakan pelanggaran konstitusi,” kata Feri.
Ia berpendapat bahwa siapa pun tetap berhak mengajukan judicial review pasal tentang ambang batas pencalonan presiden walaupun Mahkamah Konstitusi sudah berkali-kali menolaknya. Upaya lainnya, kata Feri, pihak berkepentingan perlu melobi DPR dan pemerintah agar mengubah aturan presidential threshold sebesar 20 persen tersebut.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo