Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pasal-pasal dalam UU Pemilu yang mungkin diubah mengenai jumlah kursi anggota DPR dan jumlah dapil.
UU Pemilu hanya mengakomodasi keberadaan 34 provinsi, di luar tiga DOB di Papua.
Kemendagri mengklaim sudah mempunyai draf awal Rancangan Perpu Pemilu.
JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengingatkan adanya konsekuensi perubahan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu ketika pemerintah menginginkan tiga provinsi baru di Papua ikut Pemilu 2024. Pasal-pasal yang mungkin diubah mengenai jumlah kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan jumlah daerah pemilihan (dapil).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner KPU Idham Holik mengatakan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Papua memang berimplikasi pada perubahan UU Pemilu, baik lewat revisi maupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menjelaskan, jika pemerintah dan DPR memilih opsi perpu, kewenangan ada di pemerintah. KPU akan mengikuti perubahan regulasi tersebut nantinya.
Akhir Juni lalu, DPR mengesahkan UU pembentukan Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah. Ketiga provinsi ini merupakan pemekaran wilayah Papua. Saat ini, DPR juga tengah membahas Rancangan UU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, yang merupakan pemekaran wilayah Papua Barat.
Dengan terbentuknya tiga daerah otonomi baru tersebut, saat ini terdapat 37 provinsi di Indonesia. Masalahnya, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak secara otomatis mengakomodasi keberadaan tiga provinsi baru tersebut. Jumlah kursi anggota DPR dan jumlah dapil yang diatur dalam UU Pemilu secara jelas menyebutkan hanya untuk 34 provinsi, di luar tiga provinsi baru tersebut. Selanjutnya, DPR dan pemerintah menyetujui perubahan UU Pemilu lewat perpu.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari (kiri) dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (ketiga dari kiri) mengikuti rapat dengar pendapat mengenai persiapan Pemilu 2024 dan persiapan Pemilu di Papua, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 31 Agustus 2022. ANTARA/Muhammad Adimaja
Idham mengatakan keberadaan tiga provinsi baru itu pasti akan mengubah jumlah kursi anggota DPR. Dalam Pasal 186 UU Pemilu disebutkan bahwa jumlah kursi anggota DPR sebanyak 575. Kursi ini terbagi secara proporsional ke setiap dapil di 34 provinsi. Lalu Pasal 187 ayat 2 UU Pemilu mengatur jumlah kursi anggota DPR di setiap dapil sebanyak 3-10.
“Pembentukan DOB di Papua ini juga akan mengubah empat lampiran UU Pemilu,” kata Idham.
Keempat lampiran itu memuat jumlah anggota KPU dan Badan Pengawas Pemilu serta jumlah dapil dan jumlah kursi anggota DPR dan DPRD. Semua lampiran tersebut merujuk pada 34 provinsi di Indonesia, di luar DOB di Papua.
Idham menjelaskan, perubahan lampiran itu secara otomatis harus diikuti pembentukan KPU dan Bawaslu di tiga provinsi baru tersebut. Ini menjadi masalah karena tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Saat ini KPU tengah melakukan verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu.
KPU juga menjadwalkan penyerahan dukungan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah pada 6 Desember mendatang. Sesuai dengan UU Pemilu, anggota DPD di setiap provinsi sebanyak empat orang.
Konsekuensi berikutnya, kata Idham, KPU mesti segera menata dapil di tiga provinsi baru tersebut serta memutakhirkan data pemilih. Keberadaan tiga DOB itu juga secara otomatis akan mempengaruhi kebutuhan anggaran Pemilu 2024, yang dipastikan membengkak. Sebelumnya, DPR menyetujui anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp 76,6 triliun. Angka ini belum mengakomodasi terbentuknya DOB di Papua.
"Karena akan ada pemilu di DOB, perlu kebutuhan sarana dan prasarana, baik untuk kantor KPU maupun Bawaslu," ujar Idham.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, menargetkan Perpu Pemilu tersebut akan diterbitkan paling lambat pada Oktober mendatang. "Prinsipnya, draf awal (Rancangan Perpu Pemilu) sudah siap," kata Bahtiar.
Meski begitu, kata Bahtiar, Kemendagri akan tetap merumuskan Rancangan Perpu Pemilu tersebut lebih dulu, kemudian mendengarkan masukan KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kemendagri juga akan menyampaikannya ke Komisi II DPR.
Menurut Bahtiar, proses pembuatan Rancangan Perpu Pemilu cukup sederhana karena pemerintah hanya menambahkan lampiran soal pemekaran tiga DOB di Papua. Apalagi UU pembentukan ketiga provinsi memuat aturan yang mengharuskan ketiga wilayah tersebut mengikuti Pemilu 2024 dan pemilihan kepala daerah serentak pada 2024.
"Kalau pembentukan Papua Barat Daya jadi undang-undang, perintahnya juga diikutsertakan dalam Pemilu dan pilkada serentak 2024," kata Bahtiar.
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib (kiri) dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari saat audiensi terkait dengan pemilu dan pilkada serentak 2024, di Kantor KPU, 2 Agustus 2022. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera, berpendapat bahwa perubahan UU Pemilu lebih baik melalui revisi undang-undang dibanding melalui perpu. Namun, kata dia, proses revisi membutuhkan waktu lama. "PKS sejak awal ingin ada revisi, tapi kendalanya waktu," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Mardani menjelaskan, Perpu Pemilu mesti segera diterbitkan karena undang-undang pembentukan tiga provinsi baru di Papua mengharuskan ketiga provinsi mengikuti Pemilu 2024.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan pemerintah dan DPR sejak awal sudah memahami konsekuensi lanjutan dari terbentuknya tiga DOB di Papua tersebut, yaitu perubahan UU Pemilu. "Semestinya sejak awal disiapkan Rancangan UU tentang Perubahan UU Pemilu," kata Titi, kemarin.
Ia menilai opsi perubahan UU Pemilu lewat perpu memperlihatkan adanya distorsi dan simplifikasi fungsi dan prosedur legislasi yang seharusnya diperankan pembentuk undang-undang. Dia menyebutkan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 memang membolehkan presiden menetapkan perpu dengan alasan kegentingan yang memaksa. Masalahnya, kata dia, dalam konteks Pemilu 2024, kegentingan memaksa ini terjadi akibat pemerintah dan DPR menyetujui pembentukan tiga provinsi baru tanpa menyiapkan perubahan UU Pemilu sejak dini.
"Menyerahkan kepada presiden untuk sesuatu yang semestinya jadi tanggung jawab dan kewenangan bersama antara DPR dan pemerintah menunjukkan adanya kepentingan pragmatis yang kuat dan preseden kurang baik dalam pembentukan legislasi," ujar Titi.
Menurut dia, ruang transparansi dan partisipasi publik dalam pembentukan perpu relatif lebih sempit dibanding proses revisi undang-undang. Meski begitu, kata Titi, pemerintah semestinya tetap memperhatikan aspirasi dan pelibatan pemangku kepentingan di Papua dalam pembuatan Perpu Pemilu agar tidak menuai penolakan dan tidak kontraproduktif dengan penyelenggaraan Pemilu 2024.
IMAM HAMDI | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo