Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan masih berusaha menggali informasi ihwal pemimpin pasukan yang memerintahkan polisi penembak gas air mata memasuki Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, serta soal penembakan gas air mata. TGIPF menduga ada perwira dengan pangkat lebih tinggi dari dua perwira polisi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota TGIPF, Rhenald Kasali, mengatakan tim gabungan baru menerima temuan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengenai dua perwira polisi yang memerintahkan penembakan gas air mata di dalam Stadion Kanjuruhan. Kedua perwira itu sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya adalah Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur Ajun Komisaris Hasdarman dan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi. “Menurut temuan Kompolnas, baru (ditemukan pemberi perintah) satu level di atasnya. Itu yang baru saya dengar. Sedangkan menurut ketentuan adalah dua level di atasnya,” kata Rhenald di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Senin, 10 Oktober 2022.
Kamis pekan lalu, Polri menetapkan Hasdarman dan Bambang Sidik sebagai tersangka bersama empat orang lainnya. Keempatnya adalah Kepala Bagian Operasional Polres Malang, Komisaris Wahyu Setyo; Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB), Akhmad Hadian Lukita; Ketua Panitia Pelaksana Arema FC, Abdul Haris; dan security officer Suko Sutrisno. Peran mereka berbeda-beda di lapangan.
Hasdarman dan Bambang berperan sebagai pemberi perintah kepada polisi untuk menembakkan gas air mata. Di lapangan, ada pasukan yang membawa gas air mata, yaitu pasukan huru-hara Brimob dan personel Samapta Bhayangkara (Sabhara) Polres Malang.
Kepolisian mengklaim hanya 11 personel yang menembakkan gas air mata di dalam stadion. Mereka melepaskan 11 kali tembakan gas air mata ke tiga penjuru, yaitu tujuh kali ke tribun selatan, satu kali ke tribun utara, dan tiga kali ke lapangan. Tembakan gas air mata seusai pertandingan Arema FC versus Persebaya pada 1 Oktober lalu itu mengakibatkan 130 orang meninggal.
Komisioner Kompolnas, Albertus Wahyurudhanto, mengatakan lembaganya belum mengetahui siapa pemberi perintah penembakan gas air mata pada level atas. “Kami sudah meminta Inspektorat Khusus serta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri mendalaminya,” kata Albertus, kemarin.
Ia mengatakan Kompolnas memperoleh informasi bahwa polisi bersenjata gas air mata itu masuk ke Stadion Kanjuruhan beberapa menit sebelum pertandingan berakhir. Tapi, untuk memastikan, Kompolnas meminta TGIPF mendalaminya, di antaranya dengan mengecek rekaman kamera pengawas atau CCTV di stadion.
Menurut Albertus, Kompolnas meminta kepolisian mendalami informasi tersebut karena penanggung jawab tertinggi pengendalian keamanan di lapangan adalah Kepala Polres Malang Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat, yang dicopot dari jabatannya akibat tragedi Kanjuruhan.
Namun, kata Albertus, Ferli berada di luar stadion saat penembakan gas air mata. Ia ikut mendampingi pengamanan pemain dan ofisial Persebaya yang meninggalkan stadion seusai pertandingan. “Memang kendali seluruhnya ada di Kapolres, tapi ada kendali di tiap bagian,” kata Albertus.
Adapun tim investigasi koalisi masyarakat sipil menemukan fakta bahwa kepolisian sudah memobilisasi pasukan bersenjata gas air mata saat pertengahan babak kedua. Padahal saat itu tidak ada potensi gangguan keamanan di dalam stadion. “Sebelum tindakan penembakan gas air mata, tidak ada upaya aparat untuk menggunakan kekuatan lain, seperti yang berdampak pencegahan, perintah lisan, atau suara peringatan, hingga kendali tangan kosong lunak,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, M. Isnur.
Anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan, Rhenald Kasali (tengah), setelah menggelar pertemuan dengan Asosiasi Pemain Profesional Indonesia dan Kompolnas di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, 10 Oktober 2022. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Rhenald Kasali mengatakan TGIPF akan menelusuri semua fakta tersebut. Guru besar ilmu manajemen Universitas Indonesia ini mengatakan TGIPF akan menelusuri rencana pengamanan yang menyebabkan pasukan huru-hara masuk ke stadion sebelum pertandingan usai. Padahal panitia pelaksana pertandingan sudah memberi tahu kepolisian ihwal larangan membawa senjata gas air mata ke dalam stadion.
“Bukan karena larangan FIFA, melainkan karena berkaca pada kejadian pada 2018 di Surabaya pernah digunakan gas air mata, dan itu menyakiti korban. Jadi, diminta sebaiknya tidak digunakan,” ujarnya.
Karena itu, Rhenald curiga tak ada sosialisasi aturan FIFA—federasi sepak bola dunia—yang melarang penggunaan gas air mata di stadion. Aturan FIFA Stadium Safety and Security Regulations tidak hanya melarang penggunaan gas air mata, tapi juga melarang pasukan berseragam berada di dalam stadion. “Artinya, selama bertahun-tahun dibiarkan padahal sudah ada ketentuannya,” kata Rhenald.
Menggunakan Gas Air Mata Kedaluwarsa
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengakui polisi menembakkan gas air mata kedaluwarsa di Stadion Kanjuruhan. Tapi ia menepis bahwa gas air mata kedaluwarsa itu berbahaya.
“Kalau sudah expired justru kadar zat kimianya berkurang. Kemudian kemampuannya juga akan menurun,” kata Dedi, kemarin.
Dedi juga mengklaim korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan bukan akibat gas air mata, melainkan kekurangan oksigen setelah berdesak-desakan di pintu keluar stadion. Ia mengklaim penjelasannya tersebut merujuk pada pendapat para ahli.
“Mengutip pendapat Prof Made Gegel, guru besar dari Universitas Udayana yang juga ahli di bidang toksiologi atau racun, dan Prof Massayu Elita bahwa gas air mata dalam skala tinggi pun tidak mematikan,” ujar Dedi.
Saat insiden, Dedi mengatakan polisi menggunakan tiga jenis gas air mata, yaitu berwarna hijau, biru, dan merah. Gas air mata merah yang paling berbahaya, yang berfungsi mengurai massa.
Penjelasan Dedi ini berbeda dengan temuan awal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisioner Komnas HAM, M. Choirul Anam, mengatakan penyebab utama kematian penonton justru karena tembakan gas air mata. “Jadi, gas air mata inilah yang menjadi penyebab utama kematian sejumlah korban,” kata Anam.
Polisi menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter seusai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. REUTERS TV melalui REUTERS
Dalang Pengubah Jadwal Pertandingan
Rhenald mengatakan saat ini TGIPF tengah mengejar dalang di balik pelaksanaan jadwal pertandingan Arema versus Persebaya yang digelar pada malam hari. Padahal panitia pelaksana dan kepolisian awalnya sudah meminta agar laga derbi itu digelar pada sore hari.
TGIPF, kata Rhenald, mengendus adanya pihak tertentu yang mengatur jadwal pertandingan tetap pada malam hari. “Kemungkinan besar di situ ada pihak tertentu yang punya kekuatan untuk mengatur itu tetap pada malam hari,” katanya.
Menurut Rhenald, TGIPF sudah mengetahui identitasnya. Tapi ia belum dapat membeberkannya karena akan lebih dulu diklarifikasi ke berbagai pihak, seperti PT LIB dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Ia juga menduga ada kepentingan iklan perusahaan tertentu di balik pelaksanaan pertandingan pada malam hari. Sebab, iklan perusahaan tersebut hanya bisa tayang di stasiun televisi setelah pukul 10 malam.
Di samping itu, Rhenald menyoalkan sikap kepolisian yang akhirnya mengizinkan pertandingan Arema versus Persebaya tetap digelar pada malam hari. Ia memastikan TGIPF akan mengusut tuntas semua kejanggalan dalam tragedi Kanjuruhan tersebut.
DEWI NURITA | ARYA PRASETYA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo