Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wandojo Siswanto tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. Layar televisi di rumahnya, di Kompleks BTN Bantarjati, Bogor, Jawa Barat, menyiarkan penangkapan Anggoro Widjojo, Kamis dua pekan lalu. Sambil menuding gambar wajah bos PT Masaro Radiokom itu, dia berkata kepada istrinya, Dinny Suryani, "Pasti ada hal baru yang akan terungkap."
Wandojo berharap betul Anggoro tertangkap agar silang sengkarut kasus korupsi dalam proyek pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Kementerian Kehutanan 2006-2007 senilai Rp 180 miliar segera terurai. Mantan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Kementerian Kehutanan ini terus mempersoalkan mengapa dia satu-satunya pejabat Kementerian yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ia telah menjalani hukuman tiga tahun penjara karena menerima suap sekitar Rp 120 juta dari Anggoro. "Saya sedang menjalani masa asimilasi sampai Juli nanti," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Anggoro dicokok petugas Imigrasi Pemerintah Cina di pintu perbatasan Hong Kong-Shenzhen, Cina, pada 29 Januari lalu. Ia buron KPK sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 19 Juni 2009, setahun setelah hengkang ke luar negeri. Anggoro disangka menyuap anggota Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat melalui ketuanya, Yusuf Erwin Faishal.
Wandojo mengetahui secara rinci proses pengadaan pesawat komunikasi petugas kehutanan di sepuluh provinsi itu. Ia menjelaskan, pada Februari 2007, Kementerian Kehutanan disodori usul agar melanjutkan proyek yang telah dihentikan pada 2004 itu. Surat rekomendasi untuk Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban ditandatangani dua wakil ketua Komisi Kehutanan Dewan, yakni Fachri Andi Leluasa dan Hilman Indra. Fachri dari Partai Golkar, sedangkan Hilman politikus Partai Bulan Bintang-partai asal Menteri Kaban.
Menurut Wandojo, Kaban langsung menindaklanjuti rekomendasi itu dengan mengeluarkan disposisi kepada Wandojo: "Lanjutkan." Berdasarkan hasil kajian Wandojo sebagai kuasa pengguna anggaran, pengadaan harus melalui penunjukan langsung. "Pemerintah terikat perjanjian pinjaman dengan Amerika Serikat," tuturnya.
Indonesia-Amerika terikat perjanjian pinjaman lunak pada 1996 untuk reboisasi hutan. Berdasarkan kesepakatan warisÂan Orde Baru itu, radio komunikasi harus bermerek Motorola asal Amerika. Persoalannya, penyalur resmi Motorola di Indonesia hanya PT Masaro.
Wandojo lantas berkonsultasi dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Boen Muchtar Purnama sebelum bersama-sama menghadap Kaban. Menurut dia, pejabat pengguna anggaran itu merespons dengan menerbitkan surat persetujuan penunjukan Masaro sebagai rekanan.
Kaban membenarkan cerita Wandojo itu. Tapi ia mengaku telah meminta pertimbangan Kementerian Keuangan sebelum menunjuk Masaro. Dalam permintaan pertimbangan, Kaban menanyakan apakah anggaran program rehabilitasi lahan itu bisa dialihkan atau dilanjutkan. "Jawabnya tetap dilanjutkan," katanya.
Menurut Wandojo, justru di situlah peran Kaban dalam rasuah proyek radio komunikasi. Itu sebabnya ia tak legawa dituduh KPK menyalahgunakan wewenang sehingga negara dirugikan. "Saya kuasa pengguna anggaran bertanggung jawab kepada pengguna anggaran."
Bekas anggota staf ahli Menteri Kehutanan ini mengakui menerima suap dari Anggoro pada 2007. Ia menyatakan pada saat itu hendak mengembalikan duit tersebut. "Tapi Anggoro mengatakan semua sudah 'diselesaikan'," kata Wandojo. Itu sebabnya dia tak terima disebut sebagai satu-satunya pejabat Kementerian penerima suap dari Anggoro.
Dalam persidangan terdakwa Presiden Direktur Masaro Putranefo Alexander Prayogo, tiga tahun silam, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Boen Purnama membenarkan menerima fulus US$ 20 ribu. Ia juga mengaku telah memberi tahu Kaban perihal "uang terima kasih" itu. "Kata Pak Menteri: ya, terima saja, anggap rezeki," ujarnya dalam kesaksiannya untuk Putranefo, yang belakangan dipidana enam tahun penjara.
Kaban pun mengakui ada uang mengalir ke Kementerian. Tapi ia membantah ikut kecipratan. "Biasa terjadi kalau ada yang mengklaim," katanya.
Uang sogokan Masaro juga mengucur ke Senayan sebesar Rp 125 juta dan Sin$ 220 ribu. Para penerimanya masuk bui. Mereka adalah pimpinan Komisi Kehutanan waktu itu, yaitu politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Yusuf Faishal, Fachri Andi Leluasa, dan Hilman Indra. Anggota Komisi dari Golkar, Azwar Chesputra, juga telah menjalani masa hukuman.
Empat sekawan ini terbukti pula menerima suap dalam alih fungsi lahan PelabuhÂan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Yusuf pun divonis 4 tahun 6 bulan penjara, sedangkan tiga koleganya 4 tahun kurungan.
Sarjan Tahir dan M. Al Amin Nur Nasution, masing-masing anggota Komisi Kehutanan dari Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan, juga dipidana penjara dalam kasus alih fungsi. Bedanya, Sarjan dihukum 4 tahun 6 bulan, sementara Al Amin 8 tahun. Tahun lalu, enam terpidana itu tuntas menjalani hukuman.
Masih ada sejumlah anggota Komisi Kehutanan yang namanya muncul dalam persidangan sebagai penerima uang Masaro. Mereka adalah Suswono (Partai Keadilan Sejahtera), Mukhtaruddin (Golkar), serta Sujud Siradjudin (Partai Amanat Nasional). Ketiganya mengakui menerima uang Masaro dari Yusuf dan Hilman.
Suswono, yang kini Menteri Pertanian, menuturkan telah menerima uang haram Rp 1,2 miliar lebih selama berkiprah di DPR pada 2006-2007. "Uang sudah diserahkan ke KPK sebagai gratifikasi," katanya, Sabtu dua pekan lalu. Mukhtaruddin menyatakan bersedia mengembalikan uang Sin$ 20 ribu dan Sin$ 10 ribu ketika diperiksa KPK pada 2009. Adapun Sujud mengakui menerima Rp 20 juta.
Anggoro berkeras membantah pernah menggelontorkan uang ke Kementerian Kehutanan dan Senayan. Pengacaranya, Thomson Situmeang, mengatakan para saksi dan terdakwa di pengadilan hanya menyatakan uang itu dari Anggoro. Namun, "Tak ada pemberian uang langsung dari Anggoro," katanya Rabu pekan lalu.
KPK tak peduli terhadap bantahan Anggoro. "Kami berfokus ke pemberian," kata Ketua KPK Abraham Samad, Kamis dua pekan lalu. Sedangkan menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, penelusuran kasus ini sangat bergantung pada keterangan Anggoro selama pemeriksaan.
Rusman Paraqbueq, Muhammad Rizki, Reza Aditya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo