Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR Intan Fauzi meminta pemerintah melakukan pemantauan serta mitigasi wabah secara dini setelah terdeteksinya Covid-19 varian Delta plus (B.1.617.2.1 atau AY.1) di Indonesia. Ia juga berharap pemerintah memperkuat Whole Genome Sequencing (WGS) atau upaya mengetahui penyebaran mutasi Sars-Cov-2 di Indonesia agar memiliki basis dalam pengambilan kebijakan kesehatan penanganan pandemi COVID-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Manfaat WGS sebagai data keseluruhan sangat penting untuk penanganan pandemi, apalagi dengan penambahan kasus positif per hari dan angka kematian yang tinggi, juga pengadaan jenis vaksin yang digunakan," kata Intan dalam keterangannya, Rabu 28 Juli 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, para peneliti di lembaga penelitian Indonesia setara dengan para peneliti di luar negeri mampu melakukan WGS dan juga membuat vaksin.
"Namun keunggulan SDM Indonesia itu perlu dukungan anggaran dan sarana prasarana. Saat ini lembaga penelitian terutama yang berada di berbagai universitas harus melakukan swadana untuk peralatan dan beban biaya operasional para peneliti," ujarnya.
Intan mencontohkan mahasiswa asal Indonesia di Oxford University bernama Indra Rudiansyah dapat ikut berperan di balik peluncuran vaksin Astra Zeneca.
"Tentu jika pemerintah mau memberi sarana prasarana dan anggaran seperti di luar negeri, maka para peneliti Indonesia akan berprestasi dan berkontribusi mengatasi wabah pandemi dengan hasil WGS termasuk percepatan Vaksin Merah Putih," ujarnya.
Politisi PAN itu menilai biaya untuk melakukan uji WGH di Indonesia sangat mahal karena tingginya harga mesin dan alat Reagan WGS yang masih impor.
Menurut dia produsen dan distributor sangat terbatas, sehingga memperlambat penelitian sehingga perlu ada kebijakan relaksasi pajak dan kemudahan pengadaan peralatan penelitian di masa pandemi.
Sebelumnya, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Subandrio menyatakan telah menemukan Varian Delta Plus di Indonesia, tepatnya di Jambi dan Mamuju dalam tiga pekan lalu. Varian Delta Plus ini disebut-sebut lebih berbahaya. Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr Soumya Swaminathan mengatakan varian hasil mutasi ini menjadi lebih kebal terhadap obat-obatan.
Virus Delta Plus ini memiliki gejala, seperti batuk, diare, demam, sakit kepala, ruam kulit, perubahan warna jari tangan dan kaki, nyeri dada, sesak napas. tidak hanya itu sakit perut, mual dan kehilangan nafsu makan pun akan dirasakan seseorang yang terinfeksi dari virus ini.
Dalam pengobatan varian Delta Plus di kabarkan kebal terhadap obat berkombinasi antibodi monoklonal untuk COVID-19 yang disahkan di India. Pengobatan tersebut mencakup Casirivimab dan Imdevimab.
MEGA SAFITRI
Baca: Waspada Covid-19 Varian Delta Plus, Ini Bedanya dengan Delta