BOLEH jadi ini bisa mengajari anak-anak berspekulasi. Sebuah buku berjudul Dunia Fauna mengiming-imingi pembelinya dengan hadiah wisata ke Disneyland Tokyo atau ikut wisata laut di Hong Kong. Lalu anak-anak SD merengek minta dibelikan buku yang memang mengasyikkan mereka itu. Pekan lalu adalah waktu terakhir, bagi pembeli untuk mengirim kembali kupon buku yang bernomor tersebut ke penerbitnya, PT Tigaraksa. Perusahaan itu, sampai batas waktu tadi, berharap bisa menjual 100 ribu buku yang sedikitnya bernilai Rp 1,25 milyar itu. Ini memang cara baru menjual buku. Bukan hanya soal ada hadiahnya itu, tapi juga bagaimana cara buku itu dibeli. Dunia Fauna hanya memuat kotak-kotak kecil bernomor, dengan artikel pendek tentang binatang di setiap sisi kotak. Setiap kotak didampingi penjelasan tentang jenis-jenis binatang yang berbeda. Pembeli diharuskan mengisi tiap-tiap kotak tadi dengan gambar binatang yang sesuai dengan keterangannya. Untuk itu penerbit telah mencetak sejumlah sticker gambar tempel -- binatang yang dimaksudkan (lengkap dengan " nomor dan keterangan pendek dalam bahasa Inggris). Bila sudah lengkap, dapat dikirim kembali ke penerbit. Dan kalau pengisiannya tepat, pengirimnya akan diikutsertakan dalam undian untuk mendapatkan hadiah itu. Seto Mulyadi, yang oleh anak-anak lebih dikenal sebagai Kak Seto, ikut membubuhkan tanda tangan di buku itu. Ia memuji penerbitnya, "Jeli dalam melihat momen budaya sticker dan hadiah yang disukai anak-anak." Sedang dengan cara penyajian seperti itu disebutnya bahwa Dunia Fauna membuat anak-anak asyik, bersemangat tertantang, aktif berkomunikasi serta mendapatkan informasi tanpa didikte. Tapi apakah tidak membawa pengaruh yang negatif juga? Kritik lalu memang muncul lewat surat pembaca koran-koran. Tidak murahnya buku itu telah merisaukan banyak orangtua. Memang buku itu dijual murah, Rp 500. Tapi kalau harus melengkapinya dengan 240 gambar tempel yang masing-masing seharga Rp 50, setidaknya perlu tambahan uang paling sedikit Rp 12 ribu rupiah. Dan jumlah ini biasanya bertambah, sebab pembelian gambar tempel tidak bisa memilih gambar mana yang belum dimilikinya. Setiap empat gambar tempel terbungkus dalam satu sampul tertutup. Setiap sampul itulah yang bisa dibeli dengan risiko akan mendapatkan gambar yang sama dengan yang telah dipunyai. Dengan sistem penjualan seperti itu, setiap anak harus membeli puluhan atau ratusan gambar tempel lebih banyak dari yang diperlukan bila ingin bukunya lengkap terisi. Ada juga cara yang lebih murah yang biasa dipakai anak-anak. Yakni dengan tukar-menukar gambar. Tapi ada juga cara termudah yang ditawarkan Tigaraksa: pesan saja gambar mana yang diinginkan. Hanya, dengan cara ini penerbit memasang tarif lebih mahal -- Rp 100 setiap gambar tempel. Segala cara dilakukan para penggemar Dunia Fauna yang hampir kebanyakan anak-anak SD itu untuk melengkapi stikernya. Dan selain lewat toko buku Dunia Fauna ini disebarkannya lewat sekolah, bahkan ada yang diberikan secara gratis. Sehingga sebenarnya hanya gambar tempellah yang dijual penerbit. Terhadap kritik-kritik seperti itu Willie Koen -- Direktur Utama Tigaraksa-hanya mengatakan, "Kami tidak bisa, dong melayani semua kritik." Soal harga dikatakannya tak memberati pembeli. Anak-anak, katanya, bisa mencicilnya sedikit demi sedikit sesuai dengan uang saku masing-masing. Tentang cara penjualan buku Dunia Fauna disebutnya sebagai gagasan orisinil seorang otodidak Italia, Panini. Ia, 25 tahun silam, melihat orang suka menempel sticker di mana-mana. Lalu ia berpikir apakah tidak sebaiknya penempelan itu disistematiskan lewat buku, yang sekaligus memberikan informasi. Dunia binatanglah yang dipilih yang kemudian dituangkan dalam buku The World of Survival yang sekarang diterjemahkan ke bahasa Indonesia itu. Piet Bolly, Kepala SD St. Ignatius Jakarta, menganggap positif terbitnya buku itu. Selain memperluas wawasan anak-anak tentang binatang, menurut Bolly, Dunia Fauna juga mengaktifkan komunikasi antar muridnya pada saat tukar-menukar gambar tempel yang diperlukan. Pihaknya lalu berinisiatif mengkoordinasikan pembelian buku itu lewat sekolah, dan sudah berhasil menyalurkan sekitar 500 buku. "Sekarang tampak murid kelas bawah tidak canggung bermain dengan kakak kelasnya," kata Bolly. Anak-anak memang begitu gandrung pada Dunia Fauna. Wahyu Prasetyo, 10, murid kelas V, misalnya. Ia sudah menyelesaikan satu buku, mengisi setengah buku lainnya dan menjual 58 gambar tempel yang tak terpakai pada temannya. Tapi Wahyu, yang biasa dipanggil Tyok itu, mengaku membeli Dunia Fauna tidak bertujuan untuk mendapatkan hadiah. "Teman-teman di sekolah semua beli buku ini. Mereka saling tukar sticker, masa Tyok diam sendiri," ujarnya. Untuk itu ibunya tak merasa perlu memberi uang khusus, cukup jatah bulanan Rp 10 ribu, uang jajan Rp 150 sehari dan tambahan beberapa lagi kalau perlu. Sementara itu, Budi Nugroho, 6, murid kelas I SD Yapenka Cipete-Jakarta, asyik pula menempel gambar-gambar miliknya hanya dengan melihat nomor di belakangnya. Psikolog Sarlito Wirawan menganggap buku itu baik. "Mampu merangsang gairah anak-anak untuk berusaha, ingin tahu, dan berlomba," ujarnya. Soal hadiah, baik untuk melecut anak agar mau mempelajari nama dan bentuk binatang. Kalau sudah begitu, bukan lagi hadiah yang menjadi sasaran utamanya, tetapi upaya untuk melengkapi. Sarlito juga yakin bahwa wabah album film fauna ini tidak akan berlangsung lama. Setelah tidak menjadi 'mode', akan surut lagi. Mungkin benar bukan hadiah, melainkan gambar binatang dan cara menempelkannya yang menyebabkan anak-anak keasyikan. Ada memang dampak negatifnya seperti yang dituturkan Ny. Riani lewat Sinar Harapan, yang menyebabkan anak mencuri uang ibunya. Dan banyak orangtua yang merasa kebobolan koceknya untuk membiayai hobi baru anak-anaknya itu. Namun, sejumlah orangtua, yang dengan sadar melibatkan dirinya ke dalam kegemaran baru anak-anaknya itu, ada juga yang membantu memanfaatkan gambar-gambar binatang itu untuk merangsang pengetahuan si anak. Zaim Uchrowi Laporan Happy S dan Moebanoe M (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini