TIDAK tampak tanda-tanda PII (Pelajar Islam Indonesia) telah membubarkan diri. Papan namanya masih tegak terpancang di depan kantornya di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Beberapa orang aktivis tampak lalu lalang sibuk bekerja. "Kami masih aktif, kok seperti biasa," kata Cholidin Yakobs, Ketua Umum PB-PII, kepada TEMPO, Senin malam pekan ini. Beberapa jam sebelumnya, ia malah diterima Moch. Barir, Direktur Pembinaan Masyarakat Depdagri, guna membicarakan soal eksistensi organisasinya. Berdiri sejak 1947, kini PII mempunyai cabang di 1.080 daerah-tingkat kabupaten dan kota madya di 26 provinsi. Dengan jumlah anggota 4,5 juta, telah banyak perjalanan panjang yang dilaluinya. Kini Undang-Undang Nomor 8/1985 mencegat eksistensinya. Ia harus menyesuaikan diri dengan UU tersebut serta menerima asas Pancasila. Untuk itu, Cholidin merasa perlu datang berkonsultasi, memenuhi undangan Depdagri tertanggal 23 Juli. Ia datang setelah Mendagri Soepardjo Rustam di depan sidang komisi II DPR RI menganggap PII dan GPM (Gerakan Pemuda Marhaenis) telah membubarkan diri. Kedua organisasi pemuda itu dinilai telah melewati batas waktu untuk menyesuaikan diri dengan UU Nomor 8/1985 dan tidak mendaftarkan diri ke Depdagri sebagaimana digariskan, 17 Juni lalu. Nasib PII pun di ujung tanduk. Namun, Cholidin masih garang. "Jika PII bubar, itu harus diputuskan lewat muktamar atau semacam musyawarah luar biasa," katanya. Itu hak para anggota yang diatur dalam konstitusi organisasi. Menurut Cholidin, semua warga PII di daerah menginginkan organisasinya tetap ada. "Kalaupun PII sampai bubar, hendaknya ada wadah lain yang tetap berasaskan Islam," kata Jamaluddin Tami, Sekretaris Umum PWPII Aceh. Demikian juga pendapat Zubair, Ketua PW-PII Jawa Tengah. Ia tidak kebcratan PII dibubarkan, asalkan ada wadah baru yang semacam PII, dan mampu membawa anggotanya untuk mandiri. Nasib Gerakan Pemuda Marhaenis lain lagi. Di bawah kepemimpinan Rachmawati Soekarno sebagai penjabat, organisasi yang sempat terbelah ini agaknya sedang tidur. "Pada dasarnya, sejak 1982 GPM sudah tak diakui lagi," kata Rachmawati. Maksudnya, sejak para pengurusnya mengubah asas Marhaenisme menjadi Pancasila, dan mengubah nama organisasi menjadi Pemuda Demokrat. Perubahan itu tak diterima di banyak daerah dan kemudian Rachma ditunjuk sebagai penjabat sementara pimpinan GPM. "Tapi kami tak diakui pemerintah Maka, sementara ini kami tidur dulu," kat. Rachma. Soal pendaftaran ormas, katanya, pihaknya tak pernah dihubungi. Toh, kenyataannya DPC GPM Surabaya telah mendaftarkan diri ke Direktorat Sospol setempat. Ini ditempuh, konon, berdasarkan kebijaksanaan pusat. "Mbak Rachma menyerahkan sepenuhnya kepada daerah masing-masing," kata Soepomo, Ketua GPM Cabang Surabaya. Baginya, asas GPM tetap Marhaenisme, Sosio Nasional Demokrasi, dan Ketuhanan YME. "Asas ini tidak bertentangan dengan Pancasila," katanya. Bagi Pieter Manik, Ketua GPM Sum-Ut jika GPM tak berasas Marhaenisme, berarti ajaran Bung Karno tak diemban lagi. "Kalau begitu, lebih baik dibubarkan saja. Ngapain berasaskan Pancasila, tapi dalam pelaksanaannya tidak konsekuen," katanya. Terlepas dari semua itu, yang jelas hingga Sabtu lalu sudah terdaftar 780 organisasi yang menyesuaikan diri dengan UU Nomor 8/1985. Anehnya, ada beberapa organisasi yang baru mendaftarkan diri pada bulan Juli. Ditanya tentang ini, Mendagri Soepardjo Rustam pekan lalu enggan menjawab. Tapi dalam hal organisasi PII dan GPM yang dianggap membubarkan diri, "Semua ini sudah ada aturannya," katanya. "Biarlah mereka menyelesaikan dirinya sendiri." Sedangkan Menpora Abdul Gafur menganggap ini hanya masalah administratif. "Mereka 'kan sudah melewati batas waktu dua tahun, ya, gugur," katanya. Agus Basri, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini