GEMPA bumi di beberapa wilayah Jawa Barat awal bulan ini tak
begitu mengejutkan. Tapi mengherankan bahwa kerusakan dan korban
yang ditimbulkannya begitu besar dibanding getarannya yang hanya
6,4 skala Richter. Bahkan di beberapa tempat, disebutkan sampai
90% bangunan yang ada hancur.
Dan ternyata dari sekian ribu rumah yang runtuh atau rusak berat
akibat gempa itu sebagian besar terdiri dari bangunan lama atau
bangunan baru tanpa konstruksi tulang beton. Ini misalnya
terlihat jelas pada runtuhan bangunan di sepanjang jalan antara
Garut (kota) dan Singaparna. Bahkan di sini terlihat pula,
bangunan yang ambruk sama sekali terbuat dari batako.
Sebaliknya, meskipun satu bangunan bertingkat tapi bila
berkonstruksi beton, tak mengalami kerusakan.
Menyaksikan sisa-sisa bangunan itulah Dr. David Hutchison,
seorang ahli bangunan berkbangsaan Selandia Baru yang
diperbantukan pada Dinas Penyelidikan Masalah Bangunan (DPMB)
di Bandung, berkesimpulan kerusakan karena gempa terjadi karena
konstruksi bangunan yang tidak semestinya. Di beberapa tempat
misalnya ia melihat sisa adukan tembok tidak pada perbandingan
selayaknya, bahkan kadang-kadang tanpa semen. Begitu pula,
rangka diletakkan begitu saja di atas dinding tembok tanpa
jangkar. Adukan perekat antara satu bata dengan bata lainnya
sangat lemah hingga mudah terlepas. "Ini bukan saja pada
rumah-rumah penduduk," kata David, "tapi juga kantor-kantor dan
bangunan SD Inpres yang ikut roboh. "
Menilai daerah gempa di Ja-Bar itu termasuk pada jalur gempa,
ahli bangunan itu menilai di daerah ini bangunan dari tembok
tidak cocok. (lihat juga box). Hal ini agaknya sesuai dengan
anjuran Presiden Soeharto pekan lalu, yang menghendaki agar
bangunan itu diganti dengan bangunan yang banyak menggunakan
bahan kayu dan bilik-bilik bambu. Ini tentu karena dinilai
bahan-bahan bangunan itu akan tahan terhadap gempa. Lagi pula,
tambah Sesdalopbang Solichin GP, pemakaian kayu dan bambu akan
mendorong penduduk untuk meningkatkan usaha penghijauan.
Kosala Kasali
Kampanye memakai bahan bangunan anti gempa ini pernah dilakukan
di Bali tak lama setelah pulau itu digoncang gempa pertengahan
1976. Dipelopori Building Information Centre (BIC) kepada
penduduk Bali waktu itu diingatkan bahwa bangunan dari kayu yang
tahan gempa justru telah digunakan nenek moyang di zaman dulu.
Malahan telah disebut-sebut di dalam pustaka lontar Hasta Kosala
Kosali Hasta Bumi. Dalam pustaka itu sekaligus diterakan bahan
ramuan rumah, ukuran rumah dan pekarangan, ukuran bahan bangunan
dan perincian lainnya. Melanggar ketentuan ukuran itu, sanksinya
sudah menunggu: akan hancur bila gempa datang.
Ternyata kampanye itu cukup berhasil. Penduduk yang tadinya
berlomba mempercantik rumah dengan bangunan-bangunan tembok,
mulai membangun rumah mereka dengan bahan tahan gempa. Bahkan
rumah jabatan Gubernur Bali juga dibangun dengan cara serupa
itu.
Di Jawa Barat agaknya kampanye serupa itu segera dimulai. Namun
pertama-tama yang penting adalah menyadarkan penduduk yang ada
di jalur gempa itu bahwa bencana sewaktu-waktu akan menyerang
mereka. Sebab sampai sekarang masih banyak penduduk yang belum
menyadari hal itu. "Kami tak menyadari Tasikmalaya berada pada
jalur gempa," tutur Sekwilda Tasikmalaya, Adang Rusman SH.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini