ARUS pencari kerja di Indonesia sudah lama bak antrean mudik menjelang Lebaran: berderet panjang -- lengah sedikit orang lain langsung menyalip. Maka, mereka yang sudah bekerja tidak berani menuntut banyak, sekalipun hak mereka diinjak, karena yang akan didapat bukan pemenuhan hak melainkan depakan ke luar pabrik. Soalnya, di muka gerbang perusahaan sudah antre calon pengganti. Data Biro Pusat Statistik menunjukkan dari total 19.700.000 orang yang menggantungkan nasib sebagai buruh rendahan hampir 2.000.000 orang tak berpendidikan sama sekali. Sekitar 10.000.000 orang hanya sampai tingkat tulis baca -- 60% punya ijazah sekolah dasar, dan sisanya putus sekolah. Dari total tenaga kerja yang rawan kedudukannya itu (karena mereka tak punya keterampilan khusus) tercatat 258.000 orang berusia 10-14 tahun, dan lebih dari separuhnya wanita. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pada kelompok umur 10-14 tahun untuk semua bidang pekerjaan 10,07%. Jumlah anak yang belum bekerja masih banyak lagi. Orang-orang seperti inilah yang terpaksa menerima upah kecil. Lihatlah Tisna (bukan nama asli), misalnya, buruh pabrik aki di daerah Bogor. Walau upah yang diterimanya Rp 1.000 per hari, jauh di bawah upah minimum di daerah Jabotabek yang Rp 2.100, pemuda berijazah SMP ini sudah dua tahun berkutat di sana. Parlan (nama palsu) sudah hampir dua tahun bekerja di pabrik sepatu di Cibinong dengan upah hanyua Rp 1.250 per hari. Tisna dan Tisna-Tisna lain mau tak mau terpaksa menerima upah yang disediakan karena, sekali mereka melepaskan pekerjaan, belum tentu pekerjaan lain dengan upah lebih pantas akan diterima. Sementara itu, mereka yang sebaya dengan Tisna makin membengkak tiap tahun meninggalkan desa menuju kota -- terutama ke Jakarta. Menurut Suharji Sikin, makelar tenaga kerja dari Desa Karang Jengkol, Kecamatan Kutasari, Purbalingga, tiap tahunnya minimal 200 tenaga kerja dibawanya ke Jakarta. Jumlah itu ludes diserap pasar dalam sekejap. Tenaga yang dibawa Suharji umumnya wanita untuk buruh pabrik atau pramuwisma. Mencari calon buruh ini sama sekali tidak sulit. Malah, kata Suharji, peminat dari desa-desa di sekitar Desa Karang Jengkol banyak yang mendatanginya untuk minta dicarikan kerja. Suharji mengaku mendapat imbalan Rp 25.000 dari tiap calon buruh yang diserahkan. Banyaknya tenaga kerja di Indonesia, menurut M.S. Hidayat, ahli sumber daya manusia dari Universitas Padjadjaran, Bandung, membuat beberapa hak buruh terabaikan. Masalah upah minimum, misalnya, sangat sulit diterapkan. Tahun 1950 sampai 1960, Taiwan, yang kini dikenal sebagai macan ekonomi baru, juga pernah mengalami kelebihan tenaga kerja seperti kita sekarang sehingga Pemerintah belum berani menetapkan upah minimum. Gaji standar itu baru diberlakukan ketika ekonomi mereka sudah berimbang pada 1970-an. "Karena itu, perusahaan-perusahaan kecil di Indonesia jangan membayar upah minimumnya dulu. Kalau upah naik, mereka membuat perencanaan jangka panjang dengan tidak memakai tenaga kerja. Itu berarti pengangguran akan makin banyak," kata Hidayat. Untuk daerah yang mendahulukan penyelesaian tenaga kerja, tak apa upah minimumnya rendah. Tapi di daerah yang tenaga kerjanya sudah baik, upah harus diperbaiki. Perusahaan yang targetnya besar, kata Hidayat, harus langsung membayar upah minimum. Sri Wahyuni dan Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini