Dua ribu wanita buruh pabrik disekap, tanpa perlindungan hak. Mereka jadi lesbian. Seorang lari, mengadukan nasib pada Wapres. LASTRI (bukan nama sebenarnya), 22 tahun, sudah tiga tahun menjadi buruh pabrik tekstil di daerah Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Upahnya ciut, dan kebebasannya dipangkas. Ia tertekan tapi tak punya pilihan. Perusahaan itu melarang buruh -- sekitar 2.000 perempuan -- tinggal di luar asrama yang terletak di lingkungan pabrik. Tak jelas alasannya. Tak boleh keluar asrama lewat pukul 19.00 pada hari biasa, dan pukul 22.00 pada hari Sabtu. Kalau dilanggar, jadi perkara. Satu-satunya pintu masuk selebar dua meter di gedung bertembok setinggi 2,5 meter itu ("Bayangkan kalau ada kebakaran, mengerikan sekali," kata Lastri bergidik) bakal dikunci. Esoknya hukuman menunggu: mencabuti rumput liar di halaman atau menyapu dan mengepel aula. "Pokoknya, hukuman itu ditujukan untuk mempermalukan kami," kata Lastri kepada Sandra Hamid dari TEMPO. Belum lagi ulah satpam. Hampir setiap hari ada "korban". Sambil pura-pura tanya ini-itu, tangan sang satpam menjamah, meremas, bahkan memeluk. Para wanita itu tak berani melawan. Satpam adalah "penguasa". Mau lapor, tapi pada siapa? Pindah? "Kerja di pabrik, di mana-mana sama saja," kata Sulin (nama palsu), 26 tahun, buruh pabrik garmen di Tangerang. Lebih dari tiga tahun ia keluar masuk pabrik. "Selama jadi buruh, nggak ada gunanya bicara keadilan," ujarnya mengeluh. Buruh yang didera kewajiban tak berpeluang memperjuangkan hak-haknya. "Penguasa" terlalu ketat mengawasi. Sani (nama rekaan), misalnya, didamprat mandor hanya gara-gara menyisir rambut, beberapa menit sebelum jam istirahat. "Heran, kok dimarahin, padahal cuma nyisir aja," ujar remaja tamatan SD itu, tersipu-sipu. Sukesih (lagi-lagi nama rekaan), buruh operator mesin di pabrik benang di Cimanggis, Bogor, baru-baru ini ketiduran. Ia terpaksa mangkir kerja sehari. Akibatnya? Mula-mula ia harus menyapu lantai dari pukul 23.00 sampai 07.00. Kemudian mesti berdiri merenungi tembok -- tak boleh makan dan bicara -- sejak pukul 23.00 hingga 06.30. Dilarang masuk lingkungan pabrik, mesti menunggu di luar pos keamanan dari pukul 00.15 hingga 07.00. Dihajar dingin, basah-kuyup kehujanan selama hampir satu bulan. Kemudian diperintah menghadap kepala personalia untuk menerima damprat. Setelah itu, diusir, untuk menemui kepala bagian. Akhirnya ditendang kembali ke kepala personalia. Begitulah seterusnya Sukesih jadi bola pingpong. Ia sudah coba minta bantuan ke Ketua Unit Kerja SPSI, tapi jawaban SPSI menciutkan nyalinya. Buntutnya, pada 23 Januari, ia dilarang menginjak halaman pabrik, di-PHK-kan tanpa surat pemecatan. Ia pun lalu mengadukan nasibnya kepada Wapres Sudharmono. "Saya nggak percaya sama SPSI. Mereka orang perusahaan, nggak membela kami," ujar Lastri terang-terangan. Padahal, banyak hal mesti dibela. Selain soal ketidakadilan, juga soal upah. Tak semua pabrik membayar upah buruh sesuai dengan ketentuan Departemen Tenaga Kerja. Seorang buruh pabrik sepatu di Cikupa, Tangerang, misalnya, bekerja dari pukul 07.30 sampai 15.30, hanya menerima Rp 1.100 sehari. Untuk wilayah Tangerang dan sekitarnya, upah minimum sehari Rp 1.600. Bagi Sulin, upah itu masih ditambah uang makan Rp 350. Namun, jika banyak order, buruh sering dipaksa kerja lembur. Ini biasanya berlaku bagi buruh yang masuk pukul 13.30. Dengan upah lembur Rp 350 sejam, mereka dituntut kerja sampai -- kadang-kadang -- subuh (pukul 05.00). Padahal, pukul 07.00 keesokannya mesti masuk seperti biasa. Kalau menolak, potong gaji. Pabrik juga mengharuskan buruh masuk pada hari Minggu dan hari libur nasional. Nasib Lastri setali tiga uang. Sudah tiga tahun kerja, tapi upahnya tetap hanya Rp 1.600. Ditambah karcis makan seharga Rp 250 sehari yang boleh ditukar uang. Untuk makan sehari-hari, setidaknya ia mesti mengeluarkan Rp 1.000 dari kocek sendiri. "Sedihnya," kata gadis tamatan SMEA Yogya itu, "ada teman yang puasa, supaya bisa nabung. Kalau Tuhan tahu, kan malu. Kok puasa karena nggak ada uang." Untung, Lastri tergolong cuek. Kalau kepala sudah judek, misalnya, meski tak mampu beli apa-apa, ia senang jalan-jalan ke Blok M. Atau berseloroh meledek teman-temannya, "Jangan ngabisin badan di pabrik. Memangnya dapat gaji lebih kalau rajin?" Kehidupan semacam itu, bagi Sulin, terasa berat. Janda satu anak asal Jawa Timur yang dikawinkan orangtuanya pada umur 14 tahun itu tinggal di rumah kontrakan ukuran 3 x 4 meter. Persis di belakang pabrik. Rumah di lingkungan kumuh itu disewanya Rp 12.500 sebulan. Setiap hari Sulin bangun pukul 04.00. Begitu terjaga, langsung masak, memompa air, mencuci, dan mengurusi anaknya berangkat sekolah. Pukul 06.00, ia berjalan kaki ke pabrik. Kalau lembur -- sering disuruh -- baru pulang pukul 21.00. Dalam keadaan letih, ia terpaksa menelan nasi yang dimasaknya 16 jam sebelumnya. Untung, tetangganya baik hati, mau menjaga anaknya. Belajar mengaji, bikin PR, bahkan sampai tertidur pun, anak itu di rumah tetanga. Nestapa buruh yang tinggal di luar pabrik sebetulnya tidak lebih elok. Hanya, mereka masih punya sedikit "kebebasan". Untuk sementara, mata dan batin terlepas dari kungkungan "kekuasaan" pabrik. Di asrama Lastri, untuk mendapat jatah air minum -- dua termos plastik tiap kamar -- juga mesti antre, empat kali sehari. Karena antrean selalu panjang, ia dan teman sekamarnya sembunyi-sembunyi patungan membeli pemanas listrik. Nestapa buruh yang di-"sekap" itu jadi sempurna dengan munculnya kasus lesbian. "Jiwa kami tertekan, capek ... di sini tidak ada pemandangan. Mau pergi, nggak punya uang. Adanya perempuan, jadi ya ... saling melampiaskan nafsu," tutur Lastri, sambil menghela napas. Salimah (maaf, nama palsu juga), 14 tahun, dan kawan-kawannya pernah 11 bulan disekap di pabrik konfeksi di Bandengan Utara, Jakarta Utara. Pekerjaannya menjahit BH, mulai pukul 07.00 sampai 22.00, dengan upah Rp 25.000 sebulan. Tak kurang dari 62 anak di bawah umur disatukan di ruang seluas 6 x 8 meter, tanpa alas tidur. Mereka tak boleh ngobrol, tak boleh mengantuk selama bekerja. "Mandornya galak banget," Salimah mengisahkan. Makan siang dan malam berupa seperempat piring nasi, sayur, dan sepotong tempe. Tapi, yang keterlaluan, majikan melarang tukang masaknya membubuhi garam ke dalam masakan. Alasannya, garam bikin kaki bengkak, akibatnya tak kuat menggenjot mesin jahit. Yang mengenaskan, sejak ada yang kabur, mereka dilarang keluar. Baru melongok ke jalanan, sudah dibentak. Pintu dijaga dua mandor perempuan. Bekerja 12 jam setiap hari, termasuk hari Minggu. Ketika Salimah pulang kampung di hari Lebaran, ia ditangisi kedua orangtuanya di Sukabumi, Jawa Barat. Anak sulung yang hanya lulus SD ini tubuhnya gering dan pucat. "Amit-amit, saya nggak mau balik ke sana lagi," ujar Salimah, yang kini jadi pembantu rumah tangga. Di pabrik pengepakan kertas PT Maju Jaya Mas Sejati, Penjaringan, Jakarta Utara, sebelas anak (usia rata-rata 13 tahun) disekap. Mereka diisolir dalam satu ruang berukuran 3 x 4 meter di dalam pabrik. Dari pukul 08.00 sampai 21.00 harus mengelemi kertas-kertas kardus. Gedung itu dikelilingi tembok setinggi empat meter dengan kawat berduri di atasnya. Ketika mereka datang ke pabrik 2,5 tahun silam, majikan menyita semua hak milik mereka, uang Rp 400 sampai anting-anting. Makanannya setiap hari hanya nasi, sayur, dan ikan asin. Jika ada yang sakit, majikan membawanya ke dokter. Tapi kalau sakitnya lebih dari dua hari, ditempelengi sampai pipinya bengkak. Untunglah, seorang ibu melapor kehilangan anak kepada Kopral Satu (TNI) Sutrio, petugas Kodim Jakarta Barat. Akhir Mei lalu, Sutrio mendatangi rumah yang dicurigai itu, bersama pelapor. Di pintu mereka dihadang centeng. Terjadi adu ngotot. Akhirnya mereka berhasil menerabas. Sampai di dalam, pelapor yang bernama Ny. Tarsilah itu berteriak-teriak memanggil anaknya. Yang dipanggil, Warsinah, 14 tahun, menyahut, "Mboke, aku isih nang kene" (Bu, saya masih di sini). Sutrio dan Tarsilah bergegas menuju pintu, mendobrak kuncinya. Begitu pintu terbuka, muncul wajah-wajah pucat. Warsinah menyeruduk sesenggukan begitu melihat ibunya. Yang lain ikut menjerit-jerit, Bapak ABRI, kulo nunut, mboten betah teng mriki" (Bapak ABRI, saya ikut, tidak betah di sini), tangis mereka. Malam itu juga, kesebelas anak itu diungsikan ke rumah Sutrio. Dan si majikan, Muljadi Sutijo, kini mendekam di Polres Jakarta Utara. Buruh di bawah umur banyak dipekerjakan di kawasan Tangerang. Sulin pernah membela seorang buruh cilik ketika masih bekerja di pabrik biskuit. Si anak, cerita Sulin, dihukum membersihkan WC, gara-gara mangkir sehari. Si anak menangis. Sulin, yang sudah dibekali pengetahuan tentang hak-hak buruh oleh LSM Sisibikum di Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI), langsung protes pada bos. Berhasil. Anak itu bebas. Tapi karena vokal, Sulin acap disorot. Apalagi waktu ketahuan sedang menggalang pembentukan SPSI. Ia kontan dipaksa menandatangani PHK. Tapi karena sudah tahu hak-haknya, Sulin menolak. Akibatnya, ia diamankan sehari di Koramil. Di situ ia dibujuk dan diinterogasi macam-macam. Dituding ikut pendidikan gelap. "Gedung YTKI bertingkat 14, mana mungkin gelap," ujarnya lantang. Tapi akhirnya, karena sudah letih, ia terpaksa menandatangani juga persetujuan PHK. Pesangonnya sekitar Rp 180.000. "Ngapain mikirin Sulin, dia sudah enak dapat pesangon," kata si bos. Buruh tak peduli, mereka tetap mogok, menuntut Sulin kembali. Sudah banyak buruh seperti Sulin didorong ikut pendidikan buruh oleh LSM atau LBH. Agar berani memperjuangkan hak-haknya. Karena itu, Lastri rajin ikut "penataran" di LBH Jakarta. Di Yogya, ada Yayasan Annisa Swasti, yang memberikan kursus gratis (menjahit, mengetik, dan bahasa Inggris) kepada para pelayan toko sepanjang Jalan Malioboro dan Jalan Solo. "Kursus itu cuma inter point. Misi utamanya, membangun kesadaran hak-hak buruh," kata seorang petugas lapangan, Sariroh, kepada wartawati TEMPO Sri Wahyuni. Perjuangan mereka bukan tanpa risiko. Seperti terjadi pada 20 buruh PT Ever Shinetex Garment yang delapan hari ditahan polisi tanpa surat pemberitahuan. Mereka dituduh mendalangi aksi pemogokan awal Mei. Menuntut perbaikan tunjangan transportasi, tunjangan makan siang, tunjangan kesehatan, libur hari raya, dan lain-lain. Mereka baru dibebaskan setelah LSM campur tangan. Tapi toh statusnya tetap terkatung-katung. Sri Pudyastuti R. dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini