Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mendesak Presiden Indonesia Joko Widodo alias Jokowi membuka Keputusan Presiden mengenai penganugerahan gelar Jenderal Kehormatan terhadap Prabowo Subianto, beserta alasan di balik pemberian pangkat kehormatan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana, menyebut, informasi mengenai penganugerahan gelar Jenderal Kehormatan itu bukan informasi yang rahasia dan memang harus dibuka untuk publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Keppres itu kan sebetulnya keputusan kepala negara yang mestinya terbuka untuk publik. Engga perlu ditutup-tutupi. Berani ngelantik secara terbuka tapi keputusannya tidak bisa diakses kan lucu dan aneh," ujar Arif dalam keterangannya kepada Tempo di Kantor KontraS pada Senin, 4 Maret 2024.
Jokowi memberi tanda kehormatan kepada Prabowo di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu, 28 Februari 2024. Pengangkatan sesuai Keppres Nomor 13/TNI/Tahun 2024 tanggal 21 Februari 2024 tentang Penganugerahan Pangkat Secara Istimewa berupa Jenderal TNI Kehormatan.
Arif menyebut, YLBHI bersama Koalisi Masyarakat Sipil tengah mengkaji berbagai upaya hukum yang bisa dilakukan untuk membatalkan gelar Jenderal Kehormatan Prabowo. Namun, kata dia, saat ini pihaknya menggunakan pendekatan administratif terlebih dahulu yaitu menyampaikan keberatan secara tertulis kepada presiden pada keputusan itu.
"Ini (penganugerahan jenderal kehormatan) bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan penguasa," ucap Arif.
Hingga kini, Keppres Nomor 13/TNI/Tahun 2024 itu memang belum bisa diakses oleh publik. Namun, Arif memastikan ada atau tidaknya Keppres itu, upaya hukum yang akan dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil tetap bisa berlanjut.