Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Gila. Karton, Bro...."
Pengunjung Galeri Nasional Jakarta itu kaget begitu sadar bahwa materi dasar karya berbentuk meriam tersebut dari kertas karton. Mesin perang itu betul-betul seperti asli terbuat dari besi atau baja. Tingginya dua meteran, panjangnya delapan meter. Rodanya enam buah setinggi pinggang orang dewasa. Moncong artilerinya mendongak menantang langit-langit.
Karya Yudi Sulistya berjudul Pahlawan tanpa Tanda Jasa yang ditampilkan di Jakarta Biennale #14.2011 itu seperti dipinjam dari garnisun atau sebuah museum perang. Bahkan ada pengunjung yang sampai ingin menaikinya.
Keterampilan Yudi menciptakan mesin-mesin tempur dari bahan kertas membuat Tempo memilihnya sebagai perupa inspirasional tahun ini. Sepanjang 2011, ia banyak menampilkan karya menohok. Karya Just a Toy di Art Jog, Juli tahun lalu, misalnya. Sebuah mobil perang gurun lengkap dengan senapan-senapannya digantung miring. "Alat tempur yang super-berat" itu melayang. Lalu ada patung sepeda motor gede yang dipamerkan di Atrium Plaza Sampoerna Strategic, awal Desember tahun lalu.
Pria kelahiran 22 Oktober 39 tahun silam itu terlihat melakukan inovasi-inovasi serius. Pada 2009, di Biennale Jogja, Yudi menghadirkan rongsokan pecahan pesawat terbang. Karya ini betul-betul menakjubkan. Kita seperti melihat bagian potongan helikopter atau pesawat tempur yang jatuh berantakan karena tertembak musuh. Kapsul pesawat itu karatan, kusam, dan pecah. Mesin-mesin dan kabelnya terburai. Padahal materi utamanya kertas. Lalu, pada 2010, Yudi menciptakan Memory World War I , sebuah kendaraan penyerbu mirip kereta dari zaman Perang Dunia I (dipamerkan di Melbourne Gallery MIFA, April 2011).
Saat ditemui di studionya di Jalan Prapanca Gedongkiwo di tepi Kali Winongo, Yogyakarta, Yudi tampak menyimpan obsesi membuat berbagai macam model tank, panser, dan artileri lain dari kertas. Ia pun buka rahasia soal proses penciptaannya. Selain memakai kertas, Yudi memanfaatkan materi seperti karet, pipa, tutup botol, dan kabel bekas. Material itu biasanya diperolehnya dari pengepul barang rongsok tak jauh dari tempat tinggalnya. Dia menggunakan pipa untuk kerangka, sasis, dan moncong meriam. Berikutnya, lembaran kertas karton dipotong sesuai dengan pola dan ditempelkan untuk bagian luar "mesin perang". Sementara itu, untuk bannya, Yudi memanfaatkan karet.
"Dulu pernah buat sepenuhnya dari kertas, tapi patah saat pengiriman," tuturnya. Karya Yudi sangat detail. Bahkan elemen seperti mur dan baut pun ia perhatikan. Untuk membuat detail sekrup, Yudi menggunakan tutup botol air minum mineral atau tutup lem. Ujung penutup botol lem yang berbentuk lancip ia jadikan peluru.
Demi membuat warna tampak seperti aslinya, Yudi mempunyai trik sendiri. Setelah semua komponen terpasang, ia melumuri karyanya dengan foksi agar awet dan kuat. Berikutnya, pengecatan dengan penyemprotan dari kompresor sebanyak dua kali. Yang pertama untuk memblok warna dan yang kedua supaya warna lebih detail. "Itu untuk membuat citraan karat pada karya," ujarnya. Untuk membuat setiap karya, ia membutuhkan waktu dua bulan dengan bantuan dua seniman lainnya.
Yudi sempat mengenyam pendidikan desain komunikasi visual di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1994, tapi tak lulus. Ia hanya tiga tahun berstatus mahasiswa. Tema perang terinspirasi cerita bapaknya. Sang bapak, yang bekerja sebagai tukang ukur penjahit di Pasar Sentul, Yogyakarta, saat Yudi kecil selalu mendongeng kisah perang sebelum Yudi tidur.
Cerita ini terus membekas dalam benaknya. Hingga suatu ketika Yudi mengunjungi museum Yogyakarta. Dia tersentuh oleh truk perang buatan Rusia pasca-perang kemerdekaan teronggok di samping kantin museum. Debu dan tahi burung menutupi kendaraan itu. Pemandangan itu terus mengganggu pikirannya. Hingga akhirnya Yudi memutuskan membuat karya dengan obyek kendaraan perang. Obyek mesin perang, menurut dia, tak akan habis dieksplorasi, baik dari jenis, model, maupun negara produsennya.
Dengan membuat karya berupa bekas mesin perang, Yudi juga ingin menyampaikan pesan tentang nasib para veteran perang. "Para veteran sering diabaikan," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo