Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tiga yang Unik

HONF, Yudi Sulistya, dan Eddi Prabandono melakukan pendekatan baru dalam seni rupa. Karya mereka mengejutkan secara visual dan materinya menantang.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vincentius Christiawan atau akrab disapa Venzha adalah seorang desainer interior di Yogyakarta yang sangat maniak tentang UFO. Ia suka mempelajari informasi apa saja tentang kemungkinan adanya extraterrestrial. Namun Venzha tidak berkeinginan membuat paguyuban kebatinan atau kelompok pseudo-sains yang memburu atau mendewakan alien. Ia mendirikan komunitas seni dan sains yang namanya keren: HONF (House of Natural Fiber).

Pada 1999, Venzha mengajak tiga temannya dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta mendirikan HONF. Mereka adalah Irene Agrivina (Ira), seorang computer graphic dan fashion designer; Tommy Surya, seorang webmaster dan VJ yang juga piawai dalam interactive system; dan Istasius Praditya, seorang graphic designer dan vokalis sebuah grup grind noise electro dengan nama Electrocore.

HONF adalah sebuah komunitas kreatif yang mencoba menggabungkan ide baru dalam satu kata kunci: art, technology, science, society. Dalam berkesenian, HONF menerapkan tiga prinsip, yakni berkeyakinan tidak pernah mempercayai eksklusivitas di kesenian, bertolak dari prinsip-prinsip science, serta everything is art dan everybody is an artist.

HONF meraih prestasi besar pada 2011. Program mereka yang bertema "Intelligent Bacteria" menang di festival media baru, Transmediale Award, di Berlin, Jerman. Tahun lalu komunitas ini juga menunjukkan konsistensinya dengan membuat karya instalasi Holy Shit. Ini sebuah karya yang berusaha menyajikan suara dari akuarium-akuarium berisi lobster.

Menurut Venzha, HONF mulai menggabungkan bidang biologi dan seni pada 2004. Bermula dari kerja sama dengan seorang dokter dan seorang profesor dari Universitas Gadjah Mada, HONF membuat karya yang berjudul akademik: Analysis of Bacterial Constituents of the Active Benign Chronic Suppurative Otitis Media with Ribosomal Intergenic Spacer Analysis-Polymerase Chain Reaction Approach. Karya itu berawal dari penelitian penyakit congek yang menyerang sebuah desa di bagian selatan Yogyakarta. Karya tersebut baru bisa dipresentasikan pada 2006. "Butuh dua tahun penelitian," kata dia.

Pada tahun yang sama, HONF juga bekerja sama dengan sebuah rumah sakit di Indonesia menghasilkan karya berupa eksplorasi suara di ruang intensive care unit dan di ruang operasi. Dalam berkarya, trial by error pun menjadi hal yang lumrah bagi HONF. "Tidak ada penelitian yang kemudian dilalui tanpa sebuah kesalahan dan kegagalan," kata Venzha.

Menurut dia, banyak sekali persiapan yang harus dilakukan untuk merancang karya dengan medium teknologi penelitian. Biaya juga menjadi faktor yang penting. Karena itu, HONF menerapkan solusi berupa sebuah platform "open source" dengan mengedepankan penelitian serta inovasi yang murah dan bisa dilakukan oleh banyak orang dengan mudah. Adapun lama sebuah penelitian biasanya berkisar 3 bulan-2 tahun.

HONF juga memproduksi dua festival internasional setiap tahun, yaitu YIVF dan CELLSBUTTON. Melalui festival yang diadakan sejak 2005, HONF selalu mengajak dan mendatangi berbagai institusi yang bergerak secara langsung di bidang teknologi, seperti laboratorium dan universitas, atau lembaga yang terkait dengan sains.

Dalam CELLSBUTTON pada 2011, HONF mengundang banyak praktisi, seniman, pengajar, peneliti, ilmuwan, dan aktivis dari berbagai penjuru datang ke Yogya. Mereka semua bertandang ke sarang HONF, sebuah ruangan dan garasi rumah di Jalan Wora-Wari Baciro, Yogyakarta, yang sesungguhnya milik eyang Ira dan "disewa" HONF. Juga sebuah rumah toko berlantai dua di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, yang digunakan untuk laboratorium HONFablab (Fabrication Laboratory).

l l l

Pendekatan baru HONF dalam berkarya dan pencapaiannya pada 2011 membuat mereka kami pilih sebagai tokoh seni rupa pilihan Tempo 2011.Tokoh lain adalah Eddi Prabandono dan Yudi Sulistya. Sementara titik tolak HONF berkarya terbilang rumit, Eddi dan Yudi memanfaatkan media sederhana tapi menghasilkan efek yang mengejutkan.

Eddi, misalkan, membuat patung dari tanah liat. Salah satu karyanya yang memukau adalah Luz Series. Perupa lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bermukim di Jepang itu menggunakan 20 ton tanah liat untuk membuat patung yang modelnya diambil dari wajah sang anak, Luz. Menurut Eddi, karyanya ini sebagai ekspresi kekhawatiran dan harapan orang tua kepada anaknya, dari masalah polusi hingga masa depan sang anak.

Eddi telah beberapa kali membuat patung Luz. Karyanya tahun lalu itu merupakan seri patung kelima dan terbesar yang ia bikin. Patung keramik itu digarapnya selama dua pekan langsung di lokasi tersebut, bukan di studio. Langkah ini tentulah sangat menantang serta menuntut kerja keras dan kerajinan sang seniman.

Sementara itu, Yudi secara menarik mampu menyajikan instalasi berupa meriam-meriam dan tank-tank dari kertas. Karyanya sangat rapi dan terperinci, sehingga orang yang melihatnya akan mengira bahwa karya yang sebenarnya dari kertas itu betul-betul terbuat dari baja karena warna dan bentuknya sangat mirip.

Bahkan seorang bocah yang mengunjungi pameran Jakarta Biennale hampir saja memanjat tank ciptaan Yudi, bila tidak dilarang panitia. Karya Yudi adalah karya "monumental", karena gigantis dalam skala dan seakan-akan permanen, tapi sesungguhnya bukan lantaran bahan kertas tetaplah ringkih. Pendekatan Yudi terhadap bahan kertas ini membuatnya bisa disebut memberi inovasi terhadap seni kertas. Yudi tentu bukan seniman pertama di Indonesia yang mengeksplorasi medium kertas. Banyak pematung senior yang membuat karyanya dari bahan kertas. Namun, lewat proyek-proyek mesin militernya, Yudi terasa membuat loncatan eksperimentasi seni kertas yang mengagumkan.

Ketiga seniman ini, walhasil, kami anggap telah menawarkan pendekatan baru dalam seni rupa, atau paling tidak menyegarkan. Langkah itu membuat karya mereka tampil menonjol di antara berbagai karya seni rupa lain yang kini muncul dan banyak yang hanya ikut-ikutan tren.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus