TUNTUTAN mereka akhirnya dikabulkan. Akhir November lalu 30
senirupawan muda Cina diizinkan memamerkan 170 lukisan dan
patung termasuk beberapa lukisan wanita telanjang -- di Gedung
Peio Hai, Beijing. Kelompok yang menyebut dirinya
'Bintang-bintang' (BB) dan mengaku amatir ini agaknya memang
gigih, dan mendapat dukungan masyarakat Beijing.
'BB' menarik perhatian dalam perayaan Hari Nasional Cina, 1
Oktober lalu. Mereka beserta beberapa ratus simpatisan berpawai
di Jl. Changan, jalan utama BeiJing, menuntut hak memamerkan
karya mereka. Sebab pameran yang mereka selenggarakan di tempat
terbuka dan tanpa izin beberapa hari sebelumnya, ditutup polisi.
"Bagi Cina, karya-karya itu sangat avant garde," tulis surat
kabar Soutb China Morning Post. Maklum: dari daratan itu selama
ini hanya kita kenal dua jenis senirupa: yang tradisional dan
yang disebut 'seni realisme sosialis'.
Tak berarti senirupa Barat -- seperti yang disuguhkan kelompok
'BB' -- tak pernah ada, memang. Tahun 1906, di Nanking, sebuah
sekolah menengah membuka jurusan seni dan mengajarkan senirupa
Barat. Tapi baru 1925 teknik senirupa Barat diajarkan -- setelah
sejumlah pelukis belajar ke Prancis. Yang ternama, Hsu Pei-hung,
mengembangkan teknik cat minyak. Senilukis tradisi Cina sampai
waktu itu belum mengenal cat minyak. Mereka menggunakan cat air
atau tinta Cina.
Tapi baru 1946 senirupa Barat benarbenar masuk Cina. Akademi
Senirupa Nasional di Hangchow boleh dikata sangat terpengaruh
gerakan senirupa modern. Bahkan salah seorang murid akademi itu,
Chao Wu-chi (lahir di Beijing, 1920) yang kemudian tinggal di
Paris dan dikenal dengan nama Zao Wou-ki kini termasuk salah
seorang abstrak-ekspresionis yang diakui dunia.
Itu semua terjadi karena, bagaimanapun, "modernisasi" juga
sempat menyinggung Cina. Munculnya golongan yang menghendaki
pemerintahan republik, yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Ch'ing
di tahun 1911, membuka kemungkinan-kemungkinan baru -- walaupun
kemungkinan itu tak sempat berkembang kukuh.
Masa itu, sampai berdirinya Republik Rakyat Cina 1 Oktober 1949,
bukanlah masa tenteram. Perang dan pendudukan Jepang, kemudian
perang saudara yang melahirkan dua Cina: RRC dan Taiwan -- tak
memberi kesempatan banyak bagi seniman untuk berkembang.
Apalagi setelah revolusi berhasil mendirikan RRC itu. Meski seni
tradisi yang berusia sekitar dua ribu tahun itu tentu saja tak
mudah lenyap -- tetap hidup sebagai hobi -- toh yang muncul
'realisme sosialis' yang lebih mempropagandakan ideologi
daripada bicara tentang seni sendiri.
Kesempatan mengembangkan beraneka gaya kemudian memang terbuka
1956-57, ketika Ketua Mao menyerukan 'Kampanye Biarkan Seribu
Bunga Berkembang'. (Ini pernah juga didengungkan PKI dengan
LEKRA-nya di Indonesia). Toh kesempatan itu singkat saja.
1966-69 Cina dilanda yang disebut Revolusi Kebudayaan. Revolusi
itu melarang semua jenis karya seni kecuali yang berbau
propaganda. Museum pun ditutup.
Meninggalnya Mao, 1976, kemudian tergulingnya Komplotan Empat
yang memotori Revolusi Kebudayaan, memang kemudian lebih memberi
kesempatan kebudayaan modern (Barat) menyelinap masuk. Sudah
kita dengar bahwa di daratan itu kini ada juga mode show, ada
film Gina Lolobrigida dan lain-lain.
Toh pameran 'BB' tetap merupakan kejutan besar. Sebab, ketika
awal 1978 ada pameran 80 lukisan dari Kabupaten Huhsien Provinsi
Shensi di beberapa kota Amerika Serikat, tetap yang
dipertontonkan lukisan propaganda. Dengan warna cerah dan pokok
lukisan pemandangan para pekerja sedang bekerja, majalah TlME
menyebutnya "seperti poster politik di Cina." Meskipun majalah
itu pula mendapatkan, bahwa realisme sosialis seperti di Rusia
tak tercium dalam pameran tersebut. Tak ada tukang perahu
berkeringat, tak ada pekerja dengan baju kotor.
Semua Seragam
Segalanya nampak bersih, menurut aturan. Dalam katalogus, salah
seorang pelukisnya menulis: "Saya pikir saluran air itu dalam
lukisan tidak nampak indah. Maka kami menutupnya dengan lukisan
daun-daun labu. Kami menggunakan metode kombinasi romantisme
dengan realisme. Jadi kami tambahkan juga menara air."
Agaknya, lewat pameran petani Huhsien, di sana tak ada tempat
bagi keraguan, kerawanan, kesombongan, pertanyaan. Tak ada
nuansa watak. Di dunia ini tak ada ketegangan, semua bersih,
semua orang tersenyum, semua seragam.
Itulah, mengapa pameran 'BB' sangat menarik perhatian, terutama
dengan hadirnya sejumlah lukisan wanita telanjang. Tapi, meski
beberapa merasa optimis atas izin yang kemudian diberikan oleh
Perkumpulan Seniman yang semi pemerintah di sana, ada pula yang
pesimis. Mereka teringat 'Kampanye Biarkan Seribu Bunga
Berkemang' 20-an tahun yang lalu. Kebebasan mencipta yang
diberikan kampanye tersebut, beberapa bulan kemudian buntutnya
tak mengenakkan orang. Tapi siapa tahu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini