Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berita Tempo Plus

Seorang Manusia Bernama Yesus

Enam belas tahun lalu, The Last Temptation of Christ menimbulkan kontroversi hebat.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Seorang Manusia Bernama Yesus
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Di halaman rumahnya, di bawah pepohonan merambat, kita melihat dia yang telah semakin tua. Di hari Paskah umat Yahudi itu, hari Passover, wajahnya tampak tenang. Janggutnya yang telah memutih terjurai menyentuh dada. Yesus sendirian. Pintu rumahnya terkatup, istri serta anak-anaknya sedang asyik bermain di belakang rumah, dan Yesus memandangi tangannya yang gemuk, keriput, dengan pembuluh darah tampak menonjol. Luka bekas dulu paku menancap di punggung kedua tangannya telah memudar, perlahan menghilang. Dia menghela napas, waktu berjalan begitu cepat. Ada bagian dari film The Last Temptation of Christ yang menunjukkan: pada usia 30-an tahun, Yesus tidak mati di kayu salib. Ia hidup berumah-tangga, mengawini dua perempuan bersaudara, mempunyai banyak anak. Takdir memang sudah menetapkan kematiannya di kayu salib. Tapi, selaku manusia biasa, Yesus masih memiliki kebebasan, kebebasan untuk memilih. Dan dia terpesona oleh kehidupan orang biasa: bebas mengikuti dorongan libido, tak perlu mengorbankan diri sampai mati untuk perikehidupan orang banyak, hidup tenang hingga maut menjemputnya di usia tua. Mula-mula dia menikahi Maria Magdalena, seorang pelacur berhati pualam yang dicintainya, dan juga pernah diselamatkannya saat orang-orang Yahudi hendak merajamnya. Perempuan itu meninggal sebelum melahirkan bayinya. Tapi Yesus lantas berhasil memetik kebahagiaan serta ketenangan setelah mengawini Maria—kemudian Marta, saudara Maria. The Last Temptation bukan The Passion of the Christ. Karya sutradara Mel Gibson itu adalah sebuah rekonstruksi saat-saat terakhir Yesus. Dalam The Passion, adegan demi adegan memang ditujukan buat rekonstruksi biblikal sebuah momen istimewa: 12 jam terakhir sebelum kematiannya di Bukit Golgota. Tapi The Last Temptation of Christ, kreasi kerja sama sutradara Martin Scorsese dan penulis skrip Paul Schrader, seakan sebuah karya orang yang pernah mengintip catatan harian sang tokoh, Yesus. Memang benar. Seumur-umur Nikos Kazantzakis, penulis buku The Last Temptation of Christ—sumber terbesar dan utama dari film berjudul sama— mengembangkan interesnya atas konsep Tuhan yang bersifat pribadi (personal god). The Last Temptation berakhir dengan suatu kemenangan yang gegap-gempita. Kemenangan batin atas lahir, jiwa atas raga, kemenangan seorang individu melawan dirinya sendiri. Sepintas lalu, boleh jadi Yesus yang tadi menampik tampak ”berdamai” dengan takdir yang memutuskan dia sebagai Al Masih, sang penyelamat. Tapi, bila kita bisa menyidik lebih dalam, film yang dirilis pada 1988 itu mendekati bentuk sebuah epik, perjalanan yang heroik. Di situ Yesus menyingkirkan kepentingan pribadi, seraya menjatuhkan pilihannya sendiri: kematian, pengorbanan, ketimbang hidup nyaman. The Last Temptation diawali dengan lukisan Yesus yang peragu namun berkawan dengan satu karakter kuat yang mencengangkan para ahli sejarah: Yudas. Yesus seorang tukang kayu yang sehari-harinya membikin kayu salib, alat yang digunakan penjajah Romawi buat menghukum para pencuri, pembunuh, sekaligus para penentang Roma. Pembuat salib pekerjaan yang dikutuk oleh Yudas yang revolusioner itu, dan nilainya sama dengan pengkhianatan terhadap bangsa sendiri. Yesus peragu itu mencoba meyakinkan diri bahwa bisikan-bisikan gaib yang sering didengarnya itu sahih, berasal dari Tuhan. Melampaui fase itu, dia pun cepat mengalami kesulitan selanjutnya: mengutarakan ajarannya kepada umat. Dia bukan orang yang cakap berbicara. Acap kali orang mengolok-olok dialek Nazareth-nya yang terdengar kampungan. Di samping itu, di tanah orang tertindas itu berlangsung perlawanan terhadap penjajahan Romawi, dan mereka, para nasionalis Yahudi, mencari seorang pemimpin yang bakal menjadi simbol perlawanan. Dan kasih—yang menjadi nukleus ajarannya—tentu saja tak terlalu memukau di mata tokoh-tokoh Yahudi revolusioner itu. Yesus menghadapi sebuah dunia yang tidak sederhana. Yesus peragu, tapi dipilih Tuhan menjadi pemimpin penyelamat. Bisa dipastikan, dalam sosok yang satu ini berlangsung perang batin yang panjang. The Last Temptation adalah rangkaian kemenangan-kekalahan, rasa optimistis-pesimistis, kekecewaan-kepuasan, kesenangan fisik-asketisme yang sangat melelahkan sekaligus menggugah. Kita tahu, penulis skenario film itu, Paul Schrader, seorang maestro dalam mengaduk-aduk suasana perang batin. Hard Core, salah satu filmnya, berkisah tentang seorang penganut taat dan putrinya, seorang gadis yang terlibat petualangan seksual. The Last Temptation adalah kisah Yesus yang jatuh-bangun melawan bisikan setan. Dia kerap kalah. Bahkan setelah serdadu Romawi memaku tangan dan kakinya di kayu salib, di saat-saat yang genting itu, dia teperdaya. Setan muncul dalam bentuk malaikat, seorang gadis dengan wajah tanpa dosa, dan seraya meniupkan halusinasi ke dalam penglihatan Yesus yang sekarat. ”Malaikat” itu membebaskan Yesus dari kematian dan kayu salib, memberinya kehidupan seorang manusia biasa. Dia kembali menjadi tukang kayu, tidak memikirkan dunia lain di luar keluarganya. Lama Yesus terlena dalam hidup keseharian manusia biasa, sampai akhirnya datang sebuah interupsi yang membangunkan: kunjungan murid-muridnya. Semua murid tampak sepuh dimakan usia. Tapi Yudas, si revolusioner—oleh Martin Scorsese dan penulis skrip Paul Schrader dilukiskan sebagai sosok pengobar revolusi pembebasan melawan penjajahan Romawi—tidak bisa memaafkan. Dalam The Last Temptation, Yudas Iskariot, si pengkhianat, menjadi pahlawan. Di hadapan Yesus dan para murid lainnya, ia berhasil membuktikan bahwa malaikat penyelamat yang selama ini mendampingi Yesus adalah setan belaka. Sebuah penipuan berpuluh tahun yang amat sempurna. Tapi Yesus, yang diperankan aktor William Dafoe, bangkit melawan. Pertarungan tubuh melawan jiwa kali ini dimenangi jiwa. Perlahan, dia menyeret tubuh yang renta ke sebuah titik, persis sebagaimana diinginkan sang takdir: tiang salib di Bukit Golgota, tempat ia mengakhiri hidupnya. Banyak anggota masyarakat Kristen berteriak keras melihat penggambaran karakter-karakter yang telah dijungkirbalikkan dalam film itu. Namun, lebih banyak lagi yang marah menyaksikan Yesus terlibat dalam perbuatan seksual dengan Maria Magdalena (istrinya, dalam film). Yesus, di mata mereka, adalah bentuk kesucian yang total: bebas atau menang melawan dorongan libido. Kecaman memang menggumpal, tapi Scorsese terus berkarya. Hollywood ada di belakangnya. Dulu, Nikos Kazantzakis, pengagum Yesus dan Lenin, penulis buku The Last Temptation of Christ, menghadapi dunia yang menghujatnya. Dia dikucilkan. Vatikan sendiri memasukkan buku itu dalam daftar ”buku-buku terlarang oleh Paus” pada 1954. Bahkan pemerintah daerah Athena mengharamkan jenazah Kazantzakis dimakamkan di wilayahnya. Tubuh pengarang itu akhirnya disemayamkan di Pulau Kreta, kampung halamannya. Di sana dia menjadi pahlawan. Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus