ADA penerbit aneh. Ia berharap akan banyak orang yang membajak hasil karyanya, "demi kepentingan rakyat Indonesia". Ia adalah Shigeo Kodama, 38 tahun, penyusun dan penerbit Mari Mendaki Gunung di Jawa, sebuah lembar lipat (leaflet) yang memuat peta dan beberapa petunjuk lain mengenai 16 gunung di Jawa, yang terbit akhir Januari lalu di Tokyo. Dalam bahasa Indonesia. Harapan Kodama, yang juga sekretaris Japanese Alpine Club, klub pendaki gunung tertua di Jepang yang dibentuk pada 1905, lantaran "masih sangat kurangnya peta gunung-gunung di Jawa berikut penjelasannya". Lembar lipat yang terdiri dua lembar itu (masing-masing berukuran 72 x 105 cm) disusun bersama seorang pendaki gunung asal Desa Tumpang, Malang, Jawa Timur, Joko Glemboch Puriady alias Koko. Kodama, sarjana geologi Universitas Meiji, menulis sebagian terbesar bahan dalam lembar lipat ini, sementara sisanya (Merapi, Arjuno, Bromo) ditulis oleh Koko. Untuk mempersiapkan lembar lipat ini, sudah empat kali Kodama ke Jawa (Agustus 1987 sampai Juni 1989). Untuk mendaki belasan puncak gunung di Jawa, Kodama membutuhkan waktu tiga bulan. Sejak 1986 ia mempelajari bahasa Indonesia, agar mudah berhubungan dengan penduduk di sekitar gunung. Itulah sebabnya ia mudah berhubungan dengan Koko, pendaki gunung yang biasa mengantar para turis asing mendaki Gunung Semeru dan Bromo. Penerbitan lembar lipat sebanyak 500 eksemplar itu makan biaya 800.000 yen (hampir Rp 10 juta), berasal dari kantung pribadi, dan tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan. Selama ini Kodama sudah menerbitkan delapan publikasi yang semuanya berupa petunjuk mendaki gunung-gunung di Jepang. Ia bermaksud menyumbangkan 250 eksemplar kepada klub-klub pendaki gunung atau perpustakaan perguruan tinggi dan beberapa media di Indonesia. Di Jepang kini sudah ada seratus orang yang memesan lembar lipat itu, kebanyakan turis atau bekas tentara Jepang di Indonesia di zaman Perang Dunia II. Anehnya, tanggapan dari klub-klub pendaki gunung hampir tak ada. Cuma, September mendatang, seorang pendaki wanita yang terkenal, Junko Tabei, 50 tahun, akan mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur. Ibu dua anak ini adalah wanita pertama yang mendaki Everest, puncak Himalaya, pada 1975. Tabei tertarik mendaki puncak Semeru mungkin juga lantaran informasi dari Kodama. Pengalaman Kodama sendiri juga yang mendorongnya menyusun lembar lipat tersebut. Pada 1980, misalnya, ia gagal mendaki puncak Leuser di Sumatera karena tak ada pemandu. Ia juga pernah terpaksa bermalam di tengah hutan ketika menaklukkan puncak Argopuro di Jawa Timur, karena kehilangan jalur jalan yang harus dilewati. Di beberapa lokasi pendakian, pemasangan petunjuk jalur masih kurang. Pondok untuk beristirahat juga banyak yang sudah hancur. Memang, muatan lembar lipat ini lumayan lengkap. Selain peta topografi beberapa gunung (yang bersumber dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung), ada pula jalan lintas dari kota-kota kecil atau desa terdekat sampai ke puncak, digambar dengan garis merah. Ada pula jalur-jalur (rute) pendakian, berikut jumlah waktu yang dibutuhkan. Informasi penting yang tak lupa dicantumkan ialah tempat-tempat sumber air yang sangat dibutuhkan para pendaki serta lokasi beberapa pondok serta tempat-tempat yang layak untuk mendirikan kemah. Seperti diakui oleh Dondi Bratha Sudjono, kepala bidang diklat klub pendaki gunung Wanadri, Bandung, "Selama ini memang belum ada publikasi yang khusus memuat petunjuk mengenai gunung-gunung di Jawa." Peta yang digunakan oleh anggota Wanadri bila mereka hendak mendaki berasal dari Direktorat Geologi. Sementara itu, peta yang lebih baru bisa dibeli di Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). Menurut Dondi, peta atau petunjuk lebih lengkap mengenai sebuah gunung, terutama di Jawa, bisa diperoleh dari PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) setempat berupa brosur atau laporan. Dari situ bisa diketahui, misalnya, dari pos I ke pos II bisa dicapai dalam berapa jam/menit. Begitu pula jalur untuk mencapai puncak melalui beberapa kampung. Di sini buku mengenai pendakian gunung bukannya tidak ada. Tapi kebanyakan mengenai cara mendaki gunung, seperti karya Norman Edwin, Mendaki Gunung, Sebuah Tantangan Petualangan (TEMPO, 26 September 1987). Kabarnya Norman, yang dikenal sebagai tokoh Mapala Universitas Indonesia itu, juga pernah menulis semacam glossary mengenai gunung-gunung di Indonesia. Tapi petunjuk yang lumayan lengkap mengenai gunung-gunung di Jawa tampaknya jarang. Prio Widiyono, seorang anggota senior Mapala UI, menduga bahwa tulisan Kodama itu diperuntukkan bagi pendaki gunung bukan dari Indonesia. Sebab, menurut Prio, buat para anggota Mapala UI, tidak sulit mencari referensi tentang gunung-gunung di Indonesia. Bagaimanapun, upaya Kodama sebagai langkah awal tampaknya cukup bermanfaat. Mungkin brosur itu kelak bisa diperbaiki dan diperkaya menjadi buku yang lebih lengkap. Selain di Jepang, Kodama pernah juga mendaki gunung di Pakistan, Alaska, Malaysia, Pegunungan Andes di Amerika Selatan, dan Himalaya. "Tadinya saya hanya melihat gunung sebagai sasaran untuk ditaklukkan. Tapi turun dari Himalaya saya lantas tertarik pada gunung di Asia Tenggara. Sebab, di sekitarnya juga ada hal-hal yang lebih menarik. Yaitu alam yang masih perawan dan kehidupan masyarakat di sekitarnya," kata Kodama. Laporan Seiichi Okawa (Tokyo), Ida Farida (Bandung), dan M. Baharun (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini