KETIKA seorang Badui memendam papan kayu berbentuk lingkaran ke dalam tanah, niatnya adalah agar lumbung padinya terjaga dengan baik. Setelah beberapa lama, papan digali lagi. Di pusat lingkaran dibuat lubang bujur sangkar kecil. Lubang pun ditutup dengan bilah bambu yang digambari sebuah bentuk, yang diyakini sebagai simbol Sanghiyang Pohaci, dewa pelindung padi di Badui. Siaplah sudah papan berbentuk lingkaran itu dipakai sebagai tutup lumbung padi. Diyakini oleh warga Badui, dengan tutup yang sudah dipendam dalam tanah dan dilukisi simbol penolak bala, tak satu pun kekuatan jahat bakal berani mengganggu lumbung itu. Di Balai Budaya, Jakarta, dari Rabu pekan lalu sampai Selasa pekan ini, tutup lumbung padi Badui itu dipajang. Tak persis seperti aslinya. Lubang yang mestinya ditutup bilah bambu diganti dengan kanvas. Pada kanvas mini itu Achmad Sopandi, pelukis yang menjadi dosen di Seni Rupa IKIP Negeri Jakarta, melukis beberapa ragam hias Badui. Ini memang satu dari 38 karya seni lukis Achmad yang dipamerkan di situ. Judul karya ini, Sanghiyang Pohaci. Achmad Sopandi, 32 tahun, asli Tasikmalaya, Jawa Barat, memang pelukis yang sejak muda tertarik pada budaya Badui. Ia melakukan satu studi sungguh-sungguh tentang corak ragam hias Badui. Berangkat dari penemuan-penemuannya, ia menciptakan karya-karyanya. Pameran ini pun ia sebut "Pameran Inspirasi Etnis Badui." Sesungguhnya jalan Achmad -- mencipta bertolak dari seni rupa tradisional -- bukan jalan baru. Pelukis Oesman Effendi (almarhum) pernah melakukan studi tentang relief candi. Juga Agus Djaya, karya lukisnya banyak diilhami oleh bentuk-bentuk relief dan patung di candi. Batara Lubis (almarhum) melakukan studi intensif juga tentang ragam hias Batak. Abas Alibasjah pada 1960-an mempelajari motif-motif pada celengan. Tapi boleh dikata, dari Oesman Effendi sampai Abas, jejak tradisional dalam karya mereka lebih sebagai bentuk. Orang tak perlu tahu tentang candi atau celengan untuk mengapresiasi lukisan mereka. Dalam hal inilah Achmad Sopandi agak berbeda. Ia tak cuma menggali bentuk, tapi pun mempelajari makna ragam hias itu bagi masyarakat Badui. "Kadang-kadang baru setelah tiga empat kali datang ke Badui, saya tahu makna sebuah simbol," tuturnya. Suku yang tinggal di ujung barat Jawa Barat itu memang tak mudah mengemukakan ihwal diri dan budayanya pada orang luar. Adalah sebuah lukisan berjudul Tapak Jalak Tanda Palang. Pada kanvas berbentuk segitiga, dari puncaknya menggelantung ke bawah sebentuk makhluk mengangakan mulutnya. Dan tersingkirlah segala bencana yang pada kanvas diwakili bermacam makhluk, yang sebenarnya lebih merupakan garis jalin-menjalin membentuk satu ornamen mirip tali-tali yang dijalin menjadi jembatan gantung khas Badui. (Hampir dalam semua karya Achmad yang dipamerkan, yang berdasar putih dengan garis-garis hitam atau cokelat, dilatarbelakangi motif jalinan garis mirip jalinan tali jembatan Badui). Itulah simbol yang biasanya ada pada pintu rumah Badui. Tentu, tak persis sebagaimana dilukiskan oleh Achmad. Sebab, kanvas Achmad merupakan penafsiran kembali. Ia tak hanya menggambarkan kembali secara fisik simbol itu. Tapi ia mencoba juga sedapat mungkin menghadirkan maknanya. Dan itu tak bisa lain hanyalah dengan lukisan yang bercerita. Maka, adalah lukisan-lukisan berjudul Ngalanjak. Gambarnya adalah tumpukan binatang-binatang. Kata Achmad, ngalanjak artinya berburu. Tapi lebih tepat diterjemahkan dengan belanja. Soalnya, ngalanjak bukanlah perburuan biasa, melainkan perburuan untuk mempersiapkan upacara. "Kalau kita mau pesta belanja ke pasar, orang Badui kalau mau upacara berburu ke hutan," kata Achmad. Pendekatan Achmad pada ragam hias Badui adalah pendekatan kreatif. Ia tak sekadar mendokumentasikan ragam ornamen itu, tapi mengangkatnya hingga orang tak bertanya mengapa gambar yang mestinya ada di tutup lumbung padi ada di kanvas. Dan pada gilirannya, ini juga tak menyebabkan orang bertanya, mengapa kanvas Achmad penuh jalinan garis dan motif binatang. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini