TELAH setahun lebih beredar kabar bahwa peraturan ini sedang dipersiapkan, tapi baru akhir pekan lalu diketahui ia telah lahir. Itu terjadi setelah Menko Polkam Sudomo membagi-bagikan fotokopi Keputusan Presiden (Keppres) nomor 16 tahun 1990, kepada para wartawan di kantornya, Sabtu lalu. "Surat keputusan ini saya bagikan saja. Penjelasan yang lebih rinci akan disampaikan Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Try Sutrisno, selaku Ketua Bakorstanas," kata Sudomo. Keppres bertanggal 17 April 1990 dan ditandatangani oleh Presiden Soeharto itu memang sesuatu yang teramat penting, dan ditunggu banyak orang. Betapa tidak, sebab inilah ketentuan tentang penelitian khusus bagi pegawai Republik Indonesia pegawai negeri sipil maupun prajurit ABRI. Keppres ini, seperti dikatakan Mensesneg Moerdiono Sabtu lalu kepada wartawan TEMPO Linda Djalil, bisa meluruskan kesimpangsiuran yang selama ini terjadi. Yang dimaksudkannya adalah simpang siur tentang ketentuan bersih diri dan bersih lingkungan, yang selama ini cukup meresahkan banyak orang. "Sekarang istilahnya bukan lagi skrining mental ideologis, tapi penelitian khusus," kata Moerdiono. Terdiri dari 14 pasal, keppres ini mengatur penelitian terhadap pegawai negeri sipil, ABRI, pegawai BUMN, perusahaan daerah, serta pejabat negara, yang berhubungan dengan keterlibatan mereka dengan Gerakan 30 September (G30S)/PKI. Meskipun demikian, menurut Menteri Dalam Negeri Rudini, keppres ini juga akan berlaku untuk segenap lapisan masyarakat, setidaknya sebagai acuan dalam penelitian tentang keterlibatan seseorang dengan bekas partai komunis PKI. "Ini berlaku untuk kita semua," kata Rudini kepada TEMPO, pekan lalu. Pasal 2 Keppres menyebutkan setiap calon pegawai negeri harus melalui penelitian khusus. Yang diteliti ialah keterlibatan para pelamar itu dalam G30S-PKI serta organisasi terlarang lainnya yang berkaitan dengan PKI. Jadi, bukan keterlibatan ayahnya, ibunya, kakeknya, adik dan kakaknya, dan sebagainya, seperti yang dikenal dalam istilah bersih lingkungan selama ini. Selain pegawai negeri dan ABRI penelitian khusus ini juga berlaku dalam pengangkatan pejabat negara, pegawai BUMN (badan usaha milik negara) dan perusahaan-perusahaan daerah. Menurut Moerdiono, penelitian khusus itu prinsipnya sama saja dengan screening yang berlangsung selama ini. "Tapi sekarang istilahnya penelitian khusus, jangan lagi pakai istilah Inggris," ujarnya. Keppres ini tak lagi memberlakukan peraturan yang selama ini dikenal luas oleh masyarakat sebagai ketentuan bersih lingkungan, kecuali untuk penerimaan baru prajurit ABRI. Pasal 2 ayat 2 Keppres menyebutkan, khusus untuk calon prajurit ABRI, Pangab dapat menetapkan persyaratan tambahan sesuai dengan kebutuhan. "Untuk ABRI memang ada persyaratan tambahan. Itu memang bisa diartikan semacam bersih lingkungan," kata Moerdiono. Bagaimana dengan anggota masyarakat di luarnya? Untuk orang swasta, karena tak tercantum dalam keppres ini, tak ada penelitian khusus," jawab Moerdiono. Ada lagi yang baru. Penelitian khusus yang dimaksudkan keppres ini dilaksanakan secara fungsional oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen, atau kesekretariatan lembaga tertinggi/tinggi negara, atau instansi pemerintah lainnya, atau pemerintah daerah. Artinya, penelitian khusus di tiap departemen atau lembaga pemerintah akan dilaksanakan oleh lembaga atau instansi pemerintah itu sendiri. Maka, di tiap departemen atau lembaga pemerintah itu nantinya akan ada pejabat khusus yang menangani soal ini. Sedang Pangab selaku Ketua Bakorstanas -- dengan menggunakan unit organisasi di Mabes ABRI yang selama ini menyelenggarakan administrasi terpusat di bidang penertiban dan pembersihan aparatur pemerintah dari G30S-PKI -- melakukan pembinaan pelaksanaan penelitian khusus di departemen atau instansi pemerintah itu. Pedoman pelaksanaan penelitian khusus itu akan dikeluarkan oleh Pangab. Tapi sampai Senin pekan ini, pedoman pelaksanaan dimaksud belum selesai. "Nanti tunggu pada saatnya kalian saya panggil semua. Akan saya jelaskan secara tuntas. Sekarang surat keputusan saya belum jadi," kata Pangab Jenderal Try Sutrisno pada wartawan seusai rapat koordinasi Polkam, di kantor Menko Polkam, Senin lalu. "Kita perlu waktu yang tenang, yang baik, jangan kalian kesusu (terburu-buru). Banyak masalah yang sedang kita garap, lama juga tak apa-apa," ujarnya. Bila dalam penelitian khusus tersebut ditemukan petunjuk bahwa seorang pegawai terlibat PKI, maka pimpinan lembaga atau instansi pemerintah itu mengirimkan hasil penelitian itu kepada Pangab, untuk mengkoordinasikan penggolongan si pegawai yang bersangkutan. Tapi penetapan penggolongan si pegawai tersebut dilakukan oleh pimpinan lembaga itu sendiri. Sang pimpinan pula yang mengambil tindakan terhadap pegawai di departemen atau instansinya itu. Ketentuan mengenai penelitian khusus ini diberlakukan pula terhadap pegawai negeri sipil atau ABRI yang selama ini belum pernah diteliti. Sedangkan seluruh hasil penertiban dan pembersihan aparatur negara yang berhubungan dengan G30S-PKI yang telah dilakukan sebelum keluarnya keppres ini dinyatakan akan tetap berlaku. Dengan keluarnya keppres ini maka Keppres nomor 300 tahun 1968 dinyatakan dicabut. Dengan Keppres nomor 300 itu dahulu, pelaksanaan penertiban dan pembersihan personel sipil dan anggota ABRI pada aparatur pemerintah/negara yang berhubungan dengan G30S-PKI diserahkan dan dipertanggungjawabkan pada Komando operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Sejak September 1988, Kopkamtib dihapuskan, dan kemudian diganti dengan Bakorstanas, lembaga yang lebih bersifat koordinatif dalam pemulihan, pemeliharaan, dan pemantapan stabilitas nasional. Dalam kaitan itu, 27 Juni 1982, Kopkamtib mengeluarkan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang intinya pelaksanaan skrining mental ideologis terhadap setiap pelamar pegawai negeri sipil/BUMN, sebagaimana yang sebelumnya telah dilakukan terhadap calon prajurit ABRI. Dalam skrining ini dimasukkan pula aspek lingkungan yang bisa mempengaruhi sikap atau ideologi seseorang, termasuk di antaranya lingkungan keluarga. Artinya, bukan orang yang sedang diteliti itu saja yang harus tak terlibat PKI, tapi juga keluarganya. Dalam suatu wawancara dengan Herry Mohammad dari TEMPO, lebih dari setahun yang lalu, Jenderal (Purn.) Widjojo Soejono, Kepala Staf Kopkamtib yang dulu mengeluarkan juklak itu, mengatakan bahwa aspek lingkungan keluarga itu diberlakukan cuma sampai pada generasi kedua. Artinya, anak dari seseorang yang terlibat G30S-PKI tidak diperkenankan menjadi anggota ABRI. Secara selektif itu dikenakan pula pada pegawai negeri sipil/BUMN, pengurus parpol/ormas, dan sebagainya. Dengan demikian, bukankah berarti anak-anak orang yang terlibat G30S-PKI harus menanggung dosa turunan? "Dalam agama Islam memang tak dikenal istilah dosa turunan. Jadi, ini bisa dianggap bertentangan. Tapi ini kan kita kaitkan dengan risiko keamanan," kata Widjojo Soejono. Entah mengapa, seusai Sidang Umum MPR 1988, soal bersih diri dan bersih lingkungan menjadi isu hangat. Tampaknya, ini bermula dari terungkapnya kasus Ketua DPD Golkar Payakumbuh, Sumatera Barat, Datuk Syamsir Alamsyah gelar Datuk Majo Indo Nan Mamangun. Pada 23 Maret 1988, DPD Golkar Sumatera Barat memecat Syamsir dari jabatannya karena ternyata ia terlibat dalam kegiatan G30S, di sekitar Oktober 1965. Setelah menghilang beberapa tahun dari Payakumbuh, sejak 1970 Syamsir kembali muncul di kampungnya, dan sejak 1971 aktif dalam kepengurusan Golkar setempat, sampai kasusnya terbongkar. Peristiwa ini -- Golkar kebobolan eks PKI -- tentu saja menjadi berita hangat di media massa. Belakangan terungkap pula bahwa Ahmad Syabrun Carepeboka, yang ternyata terlibat G30S dengan kategori golongan B, sempat menjadi bendahara DPD Golkar Sumatera Selatan 1983-1988. Ia kemudian dicopot dari Golkar setelah Laksusda Sumatera Bagian Selatan berhasil mengungkapkan bahwa Syabrun pernah menjadi Ketua II CGMI (organisasi mahasiswa PKI) Cabang Malang, saat ia menjadi mahasiswa IKIP di kota itu, 1958-1961. Ada lagi tokoh Golkar yang lain. Zarlons Zaghlul Hafly Pasaribu, Bendahara DPP Golkar 1983-1988, memang tak duduk lagi dalam kepengurusan DPP periode berikutnya. Tapi, ternyata, 23 Juli 1988, Kopkamtib telah mengklasifikasikan pegawai Setneg ini tak bersih diri, alias dinyatakan tersangkut dalam G30S-PKI. Peristiwa ini disusul pula dengan pengunduran diri Ir. Sartojo Prawirosurojo dari jabatannya sebagai Ketua Departemen Tani dan Nelayan DPP Golkar yang baru diperolehnya dalam Munas Golkar, Oktober 1988. Belum sampai sebulan menduduki jabatannya, Sartojo terpaksa mengundurkan diri, konon karena terungkap ia berbau "merah". Berbagai kasus yang menimpa Golkar ini memang cukup mengejutkan banyak orang. Tapi bersamaan dengan itu, di tengah masyarakat berkembang isu tentang bersih diri dan bersih lingkungan. Udara terasa sumpek, bisik-bisik menyubur. Sejumlah tokoh tingkat nasional seperti Sekjen DPP PPP (waktu itu) Mardinsyah, Sekjen PDI Nico Daryanto, Ketua Umum PPP (saat itu) J. Naro, dan tokoh Golkar Oka Mahendra, dalam bursa bisik-bisik disebut sebagai tak bersih lingkungan. Di Sumatera Barat, Gubernur Hasan Basri Durin ramai diterpa isu dan surat kaleng yang menuduhnya terlihat PNI Asu (Ali-Surachman, yang dituding "kiri"). Sementara itu, Martius As'adi gagal dilantik menjadi Ketua Pengadilan Agama Padang yang sedianya dilaksanakan 5 November 1988. Padahal, sebelumnya, 28 Juli 1988, sudah keluar SK Menteri Agama yang memutasikannya dari Ketua Pengadilan Agama di Payakumbuh ke Padang. Mubalig yang cukup beken di Payakumbuh itu kini menduduki "meja kosong" di Pengadilan Tinggi Sumatera Barat. Malah tak kurang dari Wakil Presiden Sudharmono sendiri yang jadi sasaran isu dan bisik-bisik ini. Hingga, dalam suatu pertemuan dengan wartawan, 18 Oktober 1988, Sudharmono harus membantah isu yang menyebutkan seolah-olah ia pernah menjadi anggota Pesindo, organisasi pemuda pada awal revolusi, yang sebagian kemudian terbukti terlibat dalam pemberontakan PKI di Madiun, 1948. "Sejak dari sekolah saya sudah jadi ABRI dan ketika Peristiwa Madiun, saya mendapat tugas untuk memberantasnya. Jadi, saya nggak tahu isu itu dari mana. Celakanya, ada yang termakan. Isu itu kebetulan berasal dari surat kaleng. Bagaimana membantahnya, lha wong surat kaleng," ujar Sudharmono. Berikutnya, yang ramai jadi berita koran adalah Nyonya Asri Soebarjati Soenardi, Ketua DPRD Jawa Timur. Akhir Desember 1988, Asri mengundurkan diri dari jabatannya di DPRD Jawa Timur dengan alasan ingin mengikuti suaminya, Soenardi, Kepala Kejaksaan Surabaya yang akan dipindahkan ke Jakarta. Tapi dari penjelasan Pangdam V Brawijaya Mayor Jenderal Sugeng Subroto terungkaplah bahwa sang nyonya tak bersih lingkungan sebab ayahnya terlibat PKI. Sebelumnya malah sempat beredar isu di luaran, yang menyebutkan sang Ketua DPRD tak bersih diri. Setelah mundur beberapa minggu, Nyonya Asri kembali aktif sebagai Ketua DPRD, konon sebab permohonan pengunduran diri yang disampaikannya ke DPP Golkar tak dikabulkan. Di berbagai daerah lain, isu itu juga ramai dibicarakan. Di Sumatera Utara, misalnya, 20 kepala desa dicopot karena urusan bersih lingkungan itu. Sementara itu, di Lampung, 140 calon guru yang sudah lulus testing penerimaan pegawai digugurkan karena tak bersih lingkungan. Mendagri Rudini kemudian membantah. Mereka, menurut Rudini, memang sudah lulus dalam tes awal, tapi kemudian gugur dalam skrining mental ideologi, bukan karena tak bersih lingkungan. Memang sejumlah pejabat tinggi serperti Mendagri Rudini dan Menko Polkam Sudomo berusaha mencoba menjernihkan suasana yang tampak keruh oleh isu bersih lingkungan itu. Mendagri Rudini, misalnya, tegas-tegas menyatakan bahwa di jajarannya tak akan ada pegawai yang ditindak karena bersih lingkungan, kecuali oleh bersih diri. Artinya, orang itu sendiri yang terlibat PKI. Setelah rapat koordinasi Polkam di kantornya, Desember 1988, Sudomo menyatakan bahwa istilah bersih lingkungan itu sebenarnya tak pernah dipakai oleh Pemerintah. Istilah itu muncul dari penafsiran masyarakat atas juklak tentang skrining mental ideologis dari Kopkamtib 27 Juni 1982 itu. Skrining itu dikenakan terhadap pegawai negeri sipil, BUMN, dan ABRI, kemudian dengan penekanan yang berbeda dikenakan pula terhadap guru, anggota Parpol/Golkar, pers, dalang, lurah, lembaga bantuan hukum, serta pendeta. Untuk ABRI, seperti dikatakan Sudomo, memang kalau ayah atau pamannya terlibat PKI, ia harus dicopot. Sedang untuk yang lainnya, itu masih bisa ditenggang, yang penting dalam skrining mental ideologis itu yang bersangkutan bersih dari ideologi PKI. Nyatanya, di berbagai daerah yang terjadi berbeda dengan apa yang dikatakan Sudomo. Sebagai contoh saja, gagalnya pelantikan Martius As'adi sebagai Ketua Pengadilan Agama Padang tadi. Sudomo mengakui terjadi kesimpangsiuran dalam soal ini -- termasuk di antara para pejabat -- karena adanya perbedaan menginterpretasikan juklak Kopkamtib tadi. Kesimpangsiuran itu tentu bisa meresahkan, setidaknya membingungkan masyarakat. Misalnya, banyak pegawai di berbagai kantor perusahaan swasta maupun pemerintah masih bertanya-tanya dan tak memperoleh jawaban yang konsisten: bolehkah anak bekas anggota PKI menjadi dalang, pendeta, wartawan, atau kasir di sebuah perusahaan pers. Dalam pedoman teknis tentang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan bekas tahanan dan bekas narapidana G30S-PKI yang dikeluarkan Mendagri 1982, disebutkan bahwa bekas tahanan dimaksud dilarang menjadi anggota parpol/Golkar, ormas atau organisasi keagamaan, guru/dosen, pendeta/khatib, dalang, pengacara, dan wartawan. Kedudukan mereka dalam berbagai profesi itu dikhawatirkan bisa mereka manfaatkan untuk mempengaruhi masyarakat, atau mengembangkan ajaran yang berideologi komunis. Untuk memudahkan pengawasan terhadap mereka, dalam petunjuk teknis ini disebutkan pula agar di dalam kartu tanda penduduk (KTP) para bekas tahanan itu diberikan kode ET secara tidak mencolok. Tapi ketentuan itu cuma diperuntukkan bagi bekas tahanan atau narapidana PKI, bukan untuk anak, keponakan, atau saudaranya yang lain. Kalau kemudian dalam pelaksanaan di lapangan terjadi hal-hal yang berlebihan, tampaknya oleh karena terjadinya beda penafsiran seperti dikatakan Sudomo. Berbagai kesimpangsiuran itu menyebabkan Fraksi ABRI di DPR dalam suatu konperensi pers Desember 1988, meminta Pemerintah segera memperjelas dasar hukum bersih diri dan bersih lingkungan itu. "Jika rumusannya sudah jelas, penafsiran yang berbeda-beda bisa dihindari," ujar Sundoro Syamsuri, juru bicara FABRI itu. Sejak awal Desember 1988, sebuah tim perumus yang dibentuk Mabes ABRI memang mulai bekerja menginventarisasikan berbagai peraturan tentang skrining mental ideologi. "Kami harapkan awal tahun nanti rumusan itu sudah selesai untuk diajukan kepada Presiden," ujar Kepala Puspen ABRI Brigadir Jenderal Nurhadi. Sejak itu tampaknya Keppres 16/1990 itu sudah disiapkan, dan baru selesai 17 April yang lalu. Berbagai sambutan terhadap keppres ini segera terdengar. Sekjen PDI Nico Daryanto mengatakan, keppres itu memberi dukungan pada upaya pembangunan politik. "Masyarakat tak lagi terlalu dibebani soal G30S-PKI. Hal itu kan tak perlu terlalu dikhawatirkan lagi," kata Nico kepada wartawan TEMPO Nanik Ismiani, Senin lalu. Menurut Nico, selama ini soal itu cukup menjadi kendala. "Banyak yang takut melangkah begini, begitu, karena dituduh anaknya atau cucunya PKI sehingga malah menimbulkan rasa tidak aman," ujar Nico. Oka Mahendra, Wakil Ketua FKP, gembira karena keppres ini mensyaratkan administrasi terpusat (di Mabes ABRI), sementara penelitian dilakukan secara fungsional, dan koordinasinya ada pada Bakorstanas. Tapi yang lebih penting lagi penjelasan keppres itu harus cukup terang, dan dalam penelitian yang dilakukan bukti-butinya harus kuat. "Misalnya, petunjuk yang kurang kuat atau samar-samar, fitnah, harus diteliti agar tidak merugikan," kata politikus asal Bali itu. Keppres ini, menurut Oka, untuk mencegah mudahnya seseorang terkena fitnah. Tokoh demonstran 66 dan bekas Ketua Laskar Arief Rachman Hakim yang kini jadi pengusaha sukses itu, Fahmi Idris, melihat keppres itu sebagai cerminan sikap Pemerintah yang fair dan berimbang, serta memberi angin segar pada orang yang tak berdosa. "Jadi, sudah tidak ada lagi yang namanya dosa turunan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang tak berdosa," katanya. Dosa politik, menurut Fahmi, semestinya cuma ditanggung oleh orang yang melakukannya. "Jadi, orang yang tak melakukan sesuatu jangan ditindak, dan ikut menanggung beban berat yang menghancurkan masa depannya," katanya. Menurut data yang ada di Departemer Dalam Negeri, jumlah orang yang terlibat G30S-PKI di seluruh Indonesia lebih dar 1,4 juta orang. Itu terdiri dari 426 golongan A, 34.000 lehih golongan B, dan sisanya golongan C. Bila anak, cucu, keponakan, menantu, dan famili dekat mereka lainnya dianggap sebagai orang-orang yang berdosa, bisa dimaklumi kalau udara terasa sumpek karena seakan mereka selalu terasa ada di sekitar kita. Lahirnya keppres ini memang seperti embusan udara bersih, yang bisa membuat napas kita terasa lebih longgar. Udara sekeliling juga bisa lebih jernih. Soalnya, diharapkan dengan adanya Keppres Nomor 16/1990 ini, main tuduh "terlibat G30S-PKI" yang selama lebih dari 20 tahun terakhir ini sering begitu gampang dilontarkan pada pihak-pihak yang ngotot mempertahankan haknya -- misalnya para petani dalam kasus Kedungombo -- akan menghilang. Dengan begitu, sambil tetap meningkatkan kewaspadaan nasional terhadap ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan dari bahaya laten komunis -- seperti ditegaskan dalam Pertimbangan Keppres Nomor 16/1990 ini -- kita bisa lebih berkonsentrasi dalam pembangunan nasional. Setelah seperempat abad, trauma akibat G30S-PKI rasanya memang sudah waktunya untuk dikikis habis. Amran Nasution, Rustam F. Mandayun, dan Nanik Ismiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini