Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bagong Idola Anak Muda

Menonjolkan figur Bagong, Ki Seno Nugroho populer di kalangan milenial. Ia sering menyiarkan pentasnya secara live streaming.  

3 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pagelaran kolaborasi antara Wayang Suket, Wayang Purwa dan Wayang Garuda berjudul Bima Suci di laman youtube Dalang Seno. Youtube/Dalang Seno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karna dan Duryudana membicarakan upaya untuk melemahkan saudara mereka, Pandawa. Karna bersedia merebut pusaka Jamus Kalimasada untuk melemahkan lima bersaudara itu. Itulah adegan awal wayang climen lakon Wahyu Ponco Tunggal yang dipentaskan dalang Ki Seno Nugroho pada Ahad, 31 Mei lalu, untuk memperingati hari lahir Pancasila pada 1 Juni. Lakon yang dihelat sebuah partai politik itu ditayangkan di channel YouTube Dalang Seno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti seniman lainnya, selama pembatasan sosial akibat pandemi corona, Ki Seno Nugroho pun melakukan pentas secara daring. Bahkan tidak hanya berpentas, dia juga mengunggah kegiatannya. Selepas Lebaran, akun itu menayangkan mobil yang menyusuri sepinya jalan raya di Yogyakarta. Ia jalan-jalan untuk menikmati waktu senggangnya. Dua hari kemudian, ia mengunggah dua rekaman video siaran ulang pentas beberapa tahun lalu.

Pandemi corona membuat puluhan rencana pementasannya batal. Tapi dalang dari Bantul, Yogyakarta, ini, tak berhenti berkarya. Beberapa kali ia menggelar pentas singkat secara daring di pendopo rumahnya dengan pengiring gamelan dan sinden yang terbatas. Para pengiringnya pun bermasker dan pentas wayang itu tertutup untuk umum. Ia sempat pula berkolaborasi dengan seniman Nasirun untuk menggalang donasi bagi orang yang terkena dampak pandemi. Beberapa akun penggemarnya ikut menyiarkan pentas Ki Seno.

Ki Seno Nugroho, 47 tahun, adalah dalang yang tengah naik daun beberapa tahun terakhir. Pengikut akun YouTube-nya, Dalang Seno, mencapai 350 ribu. Sementara itu, subscriber channel-nya yang lain, Ki Seno Nugroho, 85 ribu orang. Setiap siaran streaming pentasnya ditonton puluhan ribu kali, bahkan ratusan ribu kali untuk lakon tertentu. Kebanyakan penggemarnya anak-anak muda, berbeda dengan lazimnya wayang kulit yang identik dengan orang tua.

Dalam lakon-lakonnya, Seno menonjolkan karakter Bagong, yang sering disebut sebagai punakawan yang berani menentang siapa pun yang bertindak salah, tak peduli itu dewa, raja atau kesatria. Figur Bagong itu merupakan salah satu cara Seno menggaet penonton muda. “Karakter Bagong disukai penonton milenial. Sosok Bagong ini selalu dicari,” kata Seno kepada Tempo, di rumahnya, di Desa Argosari, Kecamatan Sedayu, Bantul, 18 Mei lalu.

Karakter Bagong pun ditampilkan berbeda. Lazimnya, dia memakai rompi dan celana komprang hitam serta rambutnya dikuncir ekor kuda. Lulusan SMKI Yogyakarta jurusan Pedalangan ini menyulap tokoh tersebut menjadi berambut pendek tanpa kucir dan wajah sedikit mendongak. Namun tetap berperut buncit, mata melotot, hidung pesek, dan bibir dower. Selain itu, ada figur wayang Bagong Milenial yang bertelanjang dada dan bercelana training warna merah berikat pinggang tali tambang putih. Figur ini diklaim sebagai penampilan favorit kalangan muda. “Itu saya pakai kalau Bagong lagi marah, protes.”

Bagong selalu menjadi tokoh kunci dalam setiap pementasan Seno. Ini berbeda dengan dalang-dalang lain yang mempopulerkan Petruk. Seno menjadikan karakter Bagong khas anak muda zaman sekarang yang vokal, nakal, dan lucu. Bagong kondang sebagai Ketua Pemuda Karang Taruna Karang Kadempel. Lakon Bagong yang pernah dipentaskan antara lain Bagong Dadi Arjuna, Bagong Gugat, Bagong Takon Bapa, Bagong Duta, dan Bagong Mbangun Deso.

Terkadang ada pula si empu acara yang minta lakon khusus. Misalnya, ketika Seno diundang berpentas dalam acara peresmian sebuah gedung kesenian, ia diminta melakonkan Bagong Mbangun Gedung Kesenian. Atau ketika peresmian pom bensin, ada permintaan lakon Semar Mbangun SPBU. Seno menyiapkan tampilan Bagong sesuai dengan lakon yang dipentaskan.

Setiap lakon Bagong selalu dipenuhi anak muda dan mereka dibuat terpingkal-pingkal atas kelucuannya. Beragam kaus dan gantungan kunci bergambar Bagong yang dijual di hajatan ikut laris manis. Sebagian penggemarnya menamakan diri Bolo Seno. “Kenapa suka tokoh Bagong? Dia bisa menyuarakan hati kami,” kata Seno mengutip dialognya dengan penggemar Bagong. Sejak 2017, sosok Bagong menjadi viral.

Ia menayangkan setiap pementasannya secara live streaming lewat dua akun YouTube-nya sejak dua tahun lalu, Dalang Seno dan Ki Seno Nugroho. Ada misi mulia yang ingin diwujudkan dari akun itu. Channel Ki Seno Nugroho merupakan akun pribadinya dengan penghasilan Rp 10 juta per bulan. Sementara itu, akun Dalang Seno meraup pendapatan Rp 30 juta per bulan, yang didedikasikan untuk para pengrawit dan sinden. Mengingat ia tak selamanya mendalang, Seno menyiapkan diri saat tak lagi laku, tak bisa mendalang, atau meninggal.

Seno lahir pada 23 Agustus 1972. Kepiawaian mendalang dia pelajari sejak berumur 10 tahun. Ia tak lepas dari darah dalang yang turun-temurun. Kakeknya, Ki Bancak, merupakan dalang pada 1940-1950-an. Ayahnya, Ki Suparman, mendalang pada 1965-1980-an. Meski lahir di Yogyakarta, Seno punya aliran yang berbeda dengan dalang-dalang lain. Dia menggabungkan dua gagrak (gaya) dalam satu panggung, baik Yogyakarta maupun Surakarta, dari iringan gamelan, bentuk wayang, hingga gaya busana. “Saya tidak fanatik pada salah satu gaya. Dulu satu, gaya Mataram. Yang bikin pecah kan VOC,” ujar Seno menyentil sejarah perpecahan Mataram akibat Perjanjian Giyanti.

Ia pernah berpentas di sejumlah negara, seperti Belanda, Belgia, Korea, Jerman, Kanada, hingga Polandia. Pertunjukan yang paling berkesan bagi Seno adalah festival wayang sedunia di Buenos Aires, Argentina. Peserta lain mementaskan boneka seperti Muppet, hanya dia yang menggunakan wayang. Penonton mengular mengitari gedung teater. Ia sempat menangis terharu. “Kalau dalang lainnya pentas sekali, kami diminta sampai empat kali,” kata Seno mengenang. “Di sana, orang nonton wayang kayak nonton film box office. Di negara sendiri, penonton hanya sekadarnya.”


DIAN YULIASTUTI | PITO AGUSTIN RUDIANA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus