Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Dermawan T.
Penulis Buku-buku Budaya dan Seni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hendra Hadiprana (Hoo Tjoe Heng) pada 8 Maret lalu menerima anugerah lifetime achievement dari KOHLER Bold Design Awards. Penghargaan ini untuk pertama kalinya diberikan kepada orang Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hadiprana sangat layak menerima anugerah dari perusahaan Amerika Serikat yang memproduksi perangkat dapur dan kamar mandi prestisius itu. Karena ia tak hanya merancang rupa bangunan, tapi juga menggubah desain interior dengan karakter estetiknya yang sangat khas. Hanya sayang, penghargaan itu datang setelah beliau meninggal," kata sejumlah arsitek. Hadiprana wafat pada 20 Desember 2018 dalam usia 89 tahun.
Hadiprana adalah insinyur arsitektur lulusan Academie Minerva Afdeling Architectuur, Groningen, Belanda. Ia memulai kariernya di Indonesia pada 1957. Jagat arsitektur Indonesia mengenang dialah yang menularkan virus pemakaian pilar ala Yunani Kuno dalam wajah bangunan selama dua dekade sejak 1970. "Sebuah fenomena yang kebablasan dan malu-maluin. Bayangkan, dari rumah di Menteng sampai di Desa Rogojampi menggunakan pilar Doric, Ionic, dan Corinthian seperti itu," kata Hadiprana.
Hadiprana memang sangat dikenal sebagai arsitek. Namun kiprahnya dalam dunia pergalerian tak kurang melegenda. Pasalnya, galeri yang dia dirikan pada 57 tahun lalu tetap berdiri sampai sekarang, dengan sederet kegiatannya yang apik dan konstan.
Om Henk, begitu lelaki keren ini biasa dipanggil, mendirikan galeri pada 1962 di Jalan Falatehan I, Kebayoran Baru, Jakarta. Galeri bernama Prasta Pandawa ini diresmikan oleh Minarsih, istri pengusaha kapal terkenal, Soedarpo Sastrosatomo. Karena nama Hadiprana dirasa lebih moncer dan beridentitas dibanding Prasta Pandawa, pada 1967 nama galeri itu pun diganti menjadi Hadiprana Galleries. Di sini pameran yang mengangkat karya perupa muda dan melegendakan seniman-seniman ternama secara berkelanjutan diadakan. Dan uniknya, semua pameran itu dikaitkan dengan atmosfer arsitektur dan interior.
"Hanya seorang Om Henk yang bisa meyakinkan orang bahwa lukisan Affandi yang hiruk pikuk itu bisa menjadi hiasan yang akrab. Cuma Om Henk yang bisa meyakinkan orang bahwa lukisan yang murni dekoratif punya bobot tak kalah dengan lukisan yang ekspresif dan semacamnya," ujar Mulyadi W., pelukis yang juga pendiri Sanggar Bambu pada 1959.
Sementara itu, pelukis Nyoman Gunarsa (1944-2017) pernah menyatakan bahwa Hadiprana setara dengan Leo Castelli di New York, Amerika Serikat. Kita tahu Leo Castelli telah mengangkat nama Andy Warhol, Roy Lichtenstein, Jasper John, James Rosenquist, dan Mark Rothko, yang mengguncang dunia seni lukis modern pada abad ke-20. Sejarah memang menulis betapa Hadiprana telah mengangkat nama Arief Sudarsono, Nasjah Djamin, Soeparto, Umi Dachlan, Nisan Kristiyanto, dan Sutopo, bahkan angkatan baru seperti Made Hantaguna dan Eko Supa.
Ketika ruangan dirasa tidak cukup, Hadiprana Galleries pindah ke Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, dan disebut Galeri Hadiprana. Di bangunan berarsitektur molek itu, berbagai pameran terus diselenggarakan. Puri Hadiprana, sang putri, diangkat sebagai pengelola. Maka, sampai 2019, Galeri Hadiprana bisa dibilang merupakan galeri aktif tertua di Indonesia.
Hadiprana mulai mengoleksi (dan memilih lukisan untuk galeri) pada 1960-an, kala dunia seni rupa Indonesia masih menggeliat, dan kegiatan pengoleksian masih menjadi aktivitas ganjil. Bahkan pada saat sikap kesenian para perupa masih di persimpangan jalan.
"Bayangkan, pada waktu itu para pelukis Yogyakarta dan Solo saja masih belum berani menyebut harga karya seni, sehingga saya yang harus menentukan," ucap Hadiprana. Hal itu terjadi lantaran pelukis Yogyakarta dan Solo masih menganggap karya seni lukis lahir dari proses penciptaan spiritual, sehingga sebuah karya diposisikan sebagai hasil kerja sakral. Selain itu, pelukis Yogyakarta dan Solo menyimpan sikap ewuh pakewuh khas Jawa, atau sungkan.
Koleksi seni rupa Hadiprana mencakup berbagai mazhab seni yang semuanya menjadi mata rantai penting sejarah seni rupa Indonesia. Ada lukisan Sanggar Bambu yang non-politik. Ada karya seniman Akademi Seni Rupa Indonesia yang disebut-sebut "nasionalis". Ada pula karya para pelukis Institut Teknologi Bandung yang kebarat-baratan. Kemudian lukisan alumnus Seniman Indonesia Muda yang aktif pada masa revolusi kemerdekaan 1945. Juga ada lukisan Sanggar Bumi Tarung, yang berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Tak ketinggalan lukisan para seniman dari Lembaga Kebudayaan Muslim Indonesia.
Walau karya-karya itu berasal dari berbagai ragam dan aliran, Hadiprana sanggup menyatukannya ke dalam koridor yang membuat semua karya mengibarkan satu bendera, yakni bendera keindahan. Bendera ini mengindikasikan bahwa setiap karya memiliki potensi fungsi penghias. Hadiprana memang percaya kata-kata John Keats, "A thing of beauty is a joy forever". Ratusan koleksinya terkumpul dalam buku apik, TitiSani, Hendra Hadiprana dan Koleksinya, yang terbit pada 2009.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo