Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bukan prospektus plus

Majalah optimis, yang memberi informasi tentang dunia perbukuan, berumur setahun. isinya belum menampilkan ciri yang khas, karena banyaknya artikel yang tidak ada hubungannya dengan buku. (bk)

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU-BUKU terbit dan beredar, dan tidak semuanya anda dengar. Sebuah majalah -- yang oleh penyelenggaranya disebut buletin -- bernama Optimis, karena itu bisa berjasa ia dicetak sebagai pemberi informasi dunia perbukuan kita. Sekumpulan artikel dan resensi, di samping berita dan daftar buku, dicetak ofset pada kertas koran 21,5 x 27,5 cm setebal 66 halaman. Toh tidak semua orang tahu. Juga tidak bahwa Februari ini ia sudah berumur setahun, dan dicetak 10 ribu eksemplar -- menurut Imam Walujo, pemimpin redaksinya. Optimis memang tidak diedarkan di pasar. Ia, resminya, media komunikasi antar anggota sebuah perkumpulan yang singkatan namanya tidak enak Himapbu -- Himpunan Masyarakat Pencinta Buku. Ini, organisasi "setengah mengikat" beranggota 2.400 orang (yang keanggotaannya gugur sendirinya bila tak membayar uang iuran), diprakarsai oleh Leppenas -- Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional. Sedang Leppenas merupakan badan pelaksana Yayasan Setia Cita yang dibentuk Agustus 1978 oleh nama-nama seperti Prof. Dr. Yusuf Ismail, bekas Dubes RI di Jerman Barat, tokoh-tokoh pemuda 1966 Imam Walujo dan Christianto Wibisono dan pengusaha Jan Darmadi. Demikian silsilahnya. Kesatuan Isi "Jadi anda tak akan mendapat Optimis bila tidak menjadi anggota," kata mereka. Kecuali dikirim gratis. Dan memang sistem hadiah berlangsung sampai sekarang -- sebagai muslihat untuk mendapar anggota baru. Agak unik memang mereka mengumpulkan anggota dulu -- dengan mengirimkan brosur kepada 8.000 nama yang "didapat dari buku telepon, buku anggota organisasi seperti Ikaran Dokter Indonesia atau lainnya," kata Imam. Dan baru menerbitkan majalah setelah terkumpul 150 orang yang bersedia membayar Rp 3.000 (sekarang Rp3.600) untuk enam bulan alias enam nomor. Sudiro, misalnya, bekas walikota Ibukota Jakarta, mendapat brosur dan namanya pun dicantumkan sebagai anggota. Juga pelukis Amri Yahya di Yogya, maupun Bakri Sjahid, bekas rektor IAIN di kota yang sama. Mereka menyatakan cocok --meskipun Bakri lupa membayar iuran. Amri bahkan biasa menandai buku-buku yang baik yang dia tahu dari situ, meski selalu tak sempat beli. Himapbu memang memberi kemungkinan membeli buku dengan potongan 10% untuk anggota, selain misalnya menjadi perantara bagi anggota yang punya karya dan butuh penerbit. Tapi, "sampai sekarang saya belum melihat apa maunya majalah itu," kata H. Subagijo I.N., yang terutama terkenal sebagai penulis biografi itu. Misalnya pemuatan berbagai tulisan yang tak ada hubungannya dengan buku. "Itu bagus. Tapi bukan di Optimis tempatnya." Optimis memang memuat misalnya terjemahan The Prophet pengarang Libanon Jibran Khalil Jibran -- yang entah kenapa dihentikan setelah empat kali terbit. Atau berbagai wawancara dengan Subadio Sastro Satomo, Emil Salim, Leo Sukoto, artikel tentang Islam dan perjuangan dan juga tulisan panjang Abdurrahman Wahid, selain kutipan dari buku-buku penting. "Nanti bisa menjadi majalah umum," kata Subagijo -- kecuali "bila ada hubungan dengan buku yang sedang dibicarakan." Hampir sama adalah kesan V.B. da Costa. "Resensi harus ditambah," katanya, meski tentu saja sudah lebih banyak dibanding yang ada di majalah umum. Dan untuk itu "artikel mesti dikurangi" -- meski menurut anggota DPR ini "arah Optimis sudah baik." Memang, maksud para pengasuh tentunya bukan membuat sesuatu yang lebih sedikit dari prospektus -- daftar buku, yang sudah dari dulu disebarkan tiap penerbit. Hanya, kesatuan isi memang belum terasa. Dan di balik itu, masih ada soal defisit yang dikatakan setahun ini mencapai Rp 15 juta -- dan ditutup, menurut Imam, oleh 'Babe" -- alias Wapres Adam Malik. Untunglah ia yakin, titik impas akan sudah bisa dilalui Juli mendatang. Sudah ada pula iklan, bukan? Usaha yang penting, memang, lebih-lebih bila diingat kenyataan di belakang upaya penggalakan perhatian terhadap buku ini. Pajak impor buku, misalnya bukan main tingginya. Karena buku tak dikategorikan sebagai barang industri, biaya pengirimannya sama dengan biaya pengiriman mangga. Aji-no-moto bisa mendapat kredit lima tahun dan tax holiday. Kredit buku? Enam bulan. "Pembangunan sekarang ini seperti sengaja menelantarkan buku," khutbah Imam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus