Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Bagelen, si tua hasil kolonisasi

Desa bagelen di gedungtataan (lampung selatan) merupakan desa kolonisasi pertama th 1905. kini keturunannya telah membengkak, bahkan ada yang tak punya tanah dan ingin ditransmigrasikan lagi. (ds)

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGELEN di Banyumas, Jawa Tengah, tetap tenang. Tetapi penduduk Desa Bagelen di Gedongtataan, Lampung Selatan, tak dapat dikatakan tenteram. Sebab warga desa terakhir ini agaknya sudah kehilangan kebanggaan sebagai penghuni desa kolonisasi pertama yang dipindahkan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Suasana di kedua desa yang bernama sama itu memang tak banyak berbeda. Di sudut-sudut desa sering terdengar celoteh anak-anak kecil yang bergurau dalam bahasa Jawa. Dari rumah-rumah penduduknya juga sekali-sekali terdengar dekur burung perkutut. Namun Bagelen, 27 km di baratlaut Kota Tanjungkarang itu, tak lagi dihuni oleh 40 jiwa seperti ketika pertama kali mereka datang dari Bagelen, Ja-Teng, puluhan tahun lampau. Dengan luas 800 ha, kini penduduknya tercatat 2.000 kk. "Dengan begitu, setiap kk rata-rata hanya mempunyai tanah kurang dari 0,25 ha -- termasuk untuk pijakan rumah," ujar Soetoyo yang sejak tahun lalu menjadi Lurah Bagelen. Karena itu tak sedikit rumah yang dihuni tiga kepala keluarga. Dan bisa dipahami kalau ada penduduk yang hanya memiliki tanah ¬ rante (1 rante kira-kira 400 mÿFD). "Tapi lebih banyak lagi yang tidak punya tanah, sekitar 60%, kata Lurah Soetoyo, 32 tahun. Penduduk desa ini umumnya tinggal di gubuk-gubuk beratap rumbia. Hanya beberapa orang saja yang memiliki tanah agak lumayan. Misalnya, Sastrotaruno alias Sastro Jemu, 90 tahun, yang ikut berkolonisasi pada 1905 ketika ia masih remaja. Ia punya seorang anak sehingga tanahnya tetap utuh 2 ha seperti ketika ia terima puluhan tahun lalu. Juara I Penduduk Bagelen generasi mBah Sastro ini umumnya beranak lebih dari tujuh orang, hingga jatah tanah kolonisasi yang 2 ha pun telah habis dibagi-bagi sebagai warisan di antara anak cucu masing-masing. Tampang kemiskinan desa ini barangkali juga bisa dilihat dari rumah kediaman lurahnya. Luas tanah pijakan rumah itu tak lebih dari 100 mÿFD. Rumahnya berdinding gedek, berlantai tanah. Si lurah hanya mempunyai tanah warisan 1« rante (sekitar 600 mÿFD). Desa Bagelen yang terdiri dari empat dukuh ini -- Karanganyar, Wonorejo, Jembangan dan Kutoarjo -- menurut Lurah Soetoyo sebenarnya pantas dijadikan enam desa. "Sebab di Lampung kini ada desa yang hanya dihuni 250 kk," ujarnya. Merasa sudah terlalu sumpek, tak kurang dari 100 kk minta ditransmigrasikan. Misalnya Sudiwiryo, 51 tahun buruh tani beranak delapan orang. Cuma susahnya Saya sudah tidak kuat lagi mencangkul," katanya menyesal. Tapi untuk pulang ke Jawa tampaknya mereka enggan, terutama karena di desa asal mereka merasa tak punya sanak famili lagi (lihat box). Di Kecamatan Gedongtataan terdapat 24 desa. Tapi yang paling padat penduduknya ada lima desa Bagelen, Gedongtataan, Bagusan, Purworejo dan Sukaraja. Desa Sukaraja yang luasnya 600 ha misalnya, dihuni 900 kk, hingga setiap kk rata-rata cuma memiliki 0,3 ha tanah. "Karena itu banyak penduduk di sini yang juga minta ditransmigrasikan," kata Kepala Desa Sukaraja, Soeparto, 54 tahun, pensiunan Peltu TNI-AD. Penduduk desa ini, 99% pendatang spontan dari Jawa, kebanyakan dari Tulungagung (Ja-Tim) dan Purworejo (Ja-Teng). "Hanya tiga kk saja penduduk asli," tambah Soeparto. Seperti halnya persawahan di Lampung pada umumnya, sawah di Bagelen tadah hujan. Meskipun begitu, tahun lalu Bagelen berhasil meraih juara I Insus pertanian se-Kabupaten Lampung Selatan. Padahal satu-satunya bendungan di desa itu jebol terus setiap tahun. Bendungan itu, hasil swadaya penduduk pada 1957, "berkali-kali ditinjau PU, tapi janji untuk membangunnya sampai sekarang belum terlaksana," keluh Soetoyo. Walaupun tak makmur, penduduk Bagelen hampir tak pernah lalai membayar Ipeda. Untuk 1979/1980 misalnya Ipeda dari desa itu mencapai sekitar Rp 3 juta, dibanding hasil pungutan dari salah satu desa lain di kecamatan itu yang hanya Rp 400.000. "Dengan membayar Ipeda, mereka merasa aman memiliki tanah mereka," tambah Soetoyo. Penduduk Bagelen, praktis tidak menghasilkan apa-apa, kecuali bertanam padi buat dimakan. Itu bagi yang punya tanah. Yang tak punya, bekerja sebagai buruh di tanah orang lain di desa tetangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus