BAGELEN di Banyumas, Jawa Tengah, tetap tenang. Tetapi penduduk
Desa Bagelen di Gedongtataan, Lampung Selatan, tak dapat
dikatakan tenteram. Sebab warga desa terakhir ini agaknya sudah
kehilangan kebanggaan sebagai penghuni desa kolonisasi pertama
yang dipindahkan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905.
Suasana di kedua desa yang bernama sama itu memang tak banyak
berbeda. Di sudut-sudut desa sering terdengar celoteh anak-anak
kecil yang bergurau dalam bahasa Jawa. Dari rumah-rumah
penduduknya juga sekali-sekali terdengar dekur burung perkutut.
Namun Bagelen, 27 km di baratlaut Kota Tanjungkarang itu, tak
lagi dihuni oleh 40 jiwa seperti ketika pertama kali mereka
datang dari Bagelen, Ja-Teng, puluhan tahun lampau. Dengan luas
800 ha, kini penduduknya tercatat 2.000 kk. "Dengan begitu,
setiap kk rata-rata hanya mempunyai tanah kurang dari 0,25 ha --
termasuk untuk pijakan rumah," ujar Soetoyo yang sejak tahun
lalu menjadi Lurah Bagelen.
Karena itu tak sedikit rumah yang dihuni tiga kepala keluarga.
Dan bisa dipahami kalau ada penduduk yang hanya memiliki tanah ¬
rante (1 rante kira-kira 400 mÿFD). "Tapi lebih banyak lagi yang
tidak punya tanah, sekitar 60%, kata Lurah Soetoyo, 32 tahun.
Penduduk desa ini umumnya tinggal di gubuk-gubuk beratap rumbia.
Hanya beberapa orang saja yang memiliki tanah agak lumayan.
Misalnya, Sastrotaruno alias Sastro Jemu, 90 tahun, yang ikut
berkolonisasi pada 1905 ketika ia masih remaja. Ia punya seorang
anak sehingga tanahnya tetap utuh 2 ha seperti ketika ia terima
puluhan tahun lalu.
Juara I
Penduduk Bagelen generasi mBah Sastro ini umumnya beranak lebih
dari tujuh orang, hingga jatah tanah kolonisasi yang 2 ha pun
telah habis dibagi-bagi sebagai warisan di antara anak cucu
masing-masing.
Tampang kemiskinan desa ini barangkali juga bisa dilihat dari
rumah kediaman lurahnya. Luas tanah pijakan rumah itu tak lebih
dari 100 mÿFD. Rumahnya berdinding gedek, berlantai tanah. Si lurah
hanya mempunyai tanah warisan 1« rante (sekitar 600 mÿFD).
Desa Bagelen yang terdiri dari empat dukuh ini -- Karanganyar,
Wonorejo, Jembangan dan Kutoarjo -- menurut Lurah Soetoyo
sebenarnya pantas dijadikan enam desa. "Sebab di Lampung kini
ada desa yang hanya dihuni 250 kk," ujarnya.
Merasa sudah terlalu sumpek, tak kurang dari 100 kk minta
ditransmigrasikan. Misalnya Sudiwiryo, 51 tahun buruh tani
beranak delapan orang. Cuma susahnya Saya sudah tidak kuat
lagi mencangkul," katanya menyesal. Tapi untuk pulang ke Jawa
tampaknya mereka enggan, terutama karena di desa asal mereka
merasa tak punya sanak famili lagi (lihat box).
Di Kecamatan Gedongtataan terdapat 24 desa. Tapi yang paling
padat penduduknya ada lima desa Bagelen, Gedongtataan, Bagusan,
Purworejo dan Sukaraja. Desa Sukaraja yang luasnya 600 ha
misalnya, dihuni 900 kk, hingga setiap kk rata-rata cuma
memiliki 0,3 ha tanah. "Karena itu banyak penduduk di sini yang
juga minta ditransmigrasikan," kata Kepala Desa Sukaraja,
Soeparto, 54 tahun, pensiunan Peltu TNI-AD. Penduduk desa ini,
99% pendatang spontan dari Jawa, kebanyakan dari Tulungagung
(Ja-Tim) dan Purworejo (Ja-Teng). "Hanya tiga kk saja penduduk
asli," tambah Soeparto.
Seperti halnya persawahan di Lampung pada umumnya, sawah di
Bagelen tadah hujan. Meskipun begitu, tahun lalu Bagelen
berhasil meraih juara I Insus pertanian se-Kabupaten Lampung
Selatan. Padahal satu-satunya bendungan di desa itu jebol terus
setiap tahun. Bendungan itu, hasil swadaya penduduk pada 1957,
"berkali-kali ditinjau PU, tapi janji untuk membangunnya sampai
sekarang belum terlaksana," keluh Soetoyo.
Walaupun tak makmur, penduduk Bagelen hampir tak pernah lalai
membayar Ipeda. Untuk 1979/1980 misalnya Ipeda dari desa itu
mencapai sekitar Rp 3 juta, dibanding hasil pungutan dari salah
satu desa lain di kecamatan itu yang hanya Rp 400.000. "Dengan
membayar Ipeda, mereka merasa aman memiliki tanah mereka,"
tambah Soetoyo.
Penduduk Bagelen, praktis tidak menghasilkan apa-apa, kecuali
bertanam padi buat dimakan. Itu bagi yang punya tanah. Yang tak
punya, bekerja sebagai buruh di tanah orang lain di desa
tetangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini