INDONESIA, AN ALTERNATIVE HISTORY
Malcolm Caldwell dan Ernst Utrecht, Alternative Publishing
Cooperative Ltd., Sydney, 1979
DALAM dua hal bulu ini bermaksud menjadi suatu "alternatif
sejarah". Pertama, sebagai penyelidikan yang betu-betul
"Indonesia-sentris". Kedua, sebagai tafsiran Marxis terhadap
Indonesia masa lalu dan kini.
Kedua penulis bermaksud menunjukan bagaimana Indonesia menjadi
sebagaimana adanya kini. Bagi mereka Indonesia tidak lebih
dari sebuah negara yang "khas neo-kolonial" dan "rumah mati
terbesar di dunia".
Adapun mengenai masa datang, Caldwell dan Utrecht yakin bahwa
persoalan Indonesia "tidak bisa diatasi kalau tidak dengan
tatanan sosial Marxis". Inilah sikap yang mendasari buku
tersebut, suatu sikap yang secara sistematis menghindari
pendekatan yang seimbang dan obyektif (sikap yang dilecehkan
oleh penerbitnya sebagai cara berpikir yang menyesatkan).
Dengan sikap ini para penulis juga menolak segala pendapat
kecuali yang cocok dengan pikiran mereka berdua.
Penyambung Lidah Rakyat
Lazimnya buku demikian tidak begitu bernilai untuk diresensi.
Apalagi buku ini tampil dengan kutipan yang kurang rapi dan
tipografi yang buruk. Akan tetapi kedua penulis ini menarik
perhatian kita, secara langsung maupun tidak, mencerminkan
pendapat sejumlah besar sarjana Barat (baik kiri maupun kanan)
tentang Orde saru. Caldwell dan Utrecht menolak secara
mentah-mentah Orde Baru -- suatu sikap umum para sarjana dan
pengamat Indonesia di Barat, terutama di Negeri Belanda dan
Australia. Maka menulis resensi atas buku ini, sampai tingkat
tertentu, adalah menulis resensi terhadap sejumlah analisa
sarjana Barat terhadap 15 tahun pemerintahan Presiden Suharto.
Di atas segalanya, karya ini secara konseptual amat angkuh.
Ketika para penulis mengatakan bahwa buku mereka merupakan karya
sejarah pertama yang "Indonesia-sentris." mereka menganggap
remeh para sejarahwan sebelumnya (terutama sejarahwan
Indonesia). Juga sekaligus menunjukkan kecongkakan dan kecetekan
pengetahuan mereka mengenai kebudayaan bangsa lain.
Empat bab yang ditulis Caldwell, misalnya, sebenarnya merupakan
pemaparan sejarah Indonesia yang sama sekali tidak menjadikan
bangsa Indonesia (apalagi pikiran atau cita-cita Indonesia)
sebagai tokoh utamanya. Sejenis sejarah yang pernah ditulis
sejarahwan kolonial Belanda 100 tahun yang lalu. Ironis
sekali: Caldwell yang begitu antikolonial mengarang sejarah
Indonesia abad ke-18 dan ke-19 yang sifatnya amat
neo-kolonialistis. Pandangan Utrecht, bahwa "kebanyakan pemikir
serius dewasa ini adalah Marxis atau neo-Marxis" sungguh sangat
"Eropa-sentris" dan cuma mencari pembenaran untuk diri sendiri.
Yang juga tidak terelakkan, buku ini amat patronizig. Dan
agaknya yang dimaksudkan oleh para penulis sebagai
"Indonesia-sentris", tidaklah lebih dari Marxis dan promassa",
seakan-akan hanya para penulis dan kaum sepahamnya yang berhak
memikul beban sebagai penyambung lidah rakyat.
Penjelasan sejarah yan disenangi buku ini sangat sederhana dan
tergantung pada tema tunggal. Sebagai contoh, Caldwell
menjelaskan sejarah kolonial Indonesia hanya berpijak pada data
ekonomi. Menurut dia ekonomi adalah akar semua bencana masa
lampau sampai sekarang. Caldwell juga berkeyakinan bahwa
generasi Indonesia mendatang tidak pernah dan tidak akan pernah
bisa membebaskan diri dari akibat ekonomi kolonial tersebut.
Di pihak lain, Utrecht melukiskan Orde Baru melulu dari segi
politik militer. Ia tidak cuma berlebihan melukiskan
kesinambungan dengan masa lalu (misalnya, menuduh ABRI
bertanggungjawab bagi Demokrasi Terpimpin), tapi juga menganggap
remeh semua kenyataan sosial, ekonomi, dan budaya di luar
kegiatan militer.
Berbicara mengenai kenyataan, yang mengganggu sekali dalam buku
ini, seperti lazimnya dalam banyak karya Barat tentang Indonesia
sejak 1965, ialah ketiadaan pengalaman langsung di Indonesia
masa kini. Kedua penulis bertumpu sepenuhnya pada komentar kaum
sepaham dari Barat serta sejumlah laporan wartawan.
Dengan kata lain, mereka tidak menimbang masa Orde Baru dengan
melihatnya sendiri. Maka tidak mengherankan kalau usaha mereka
menggambarkan keadaan amat mengada-ada. Kegiatan intelektual
serta pergolakan sosial sama sekali tidak muncul di buku mereka.
Nasihat Chaliand
Harus disebut bahwa Utrecht bukannya tidak mengritik golongan
komunis di Indonesia. Aksi sepihak dan G30S dilihat sebagai
kesalahan strategis PKI. Dan komunis di luar Indonesia, misalnya
Rusia dan teman-temannya, diangagap pengecut dalam mendukung
perjuangan Fretilin di Timor Timur. Tapi ini tidak merupakan
pengakuan terhadap kelemahan pandangan Marxis atau ideologinya
Utrecht cuma ingin mengatakan bahwa kaum Marxis lain itu
tidak setingkat dirinya.
Sehubungan dengan itu amatlah ironis melihat pandangan Marxis
yang ditampilkan Caldwell dan Utrecht, yang menurut mereka
sendiri disebut "aliran baru" dalam penulisan sejarah, pada
kenyataannya telah terlambat sekali bahkan jika dilihat lewat
kacamata Marxis sendiri.
Pada 1976 Gerard Chaliand, scorang Marxis Prancis, dengan
terbuka menelanjangi kemiskinan pengetahuan para sarjana Marxis
terhadap Dunia Ketiga. Chaliand menyimpulkan bahwa pemikir
komunis sudah harus pamit dari dogma dan secara menyeluruh
mempelajari kembali perkembangan ekonomi dan masyarakat bukan
Barat. Karena pengertian mereka terhadap Dunia Ketiga kurrang
tepat dan jauh dari kenyataan. Caldwell dan Utrecht, meskipun
mereka menulis naskah buku ini pada 1978, rupanya belum
menyempatkan diri memperhatikan nasihat Chaliand tersebut.
Walhasil, buku ini merupakan peringatan keras: sesungguhnya
tidak ada yang disebut sebagai kebenaran ideologis. Tapi
marilah kita berendah hati untuk mengakui, bukan cuma kaum
Marxis yang membutuhkan peringatan demikian. Salah satu alasan
mereka dan yang lainnya menulis seperti yang mereka lakukan,
karena para penulis Indonesia sendiri, juga, pada umumnya
berkecenderungan ideologis, seringkali dangkal, kurang berani
dan tidak menantang. Hanya apabila para sarjana Barat dan
Indonesia secara bersama sanggup menghindarkan pra-konsepsi dan
sanggup memandang Indonesia dewasa ini secara keseluruhan dan
realistis, kita bisa makin dekat kepada "alternatif sejarah"
yang sebenarnya.
William H. Frederick
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini