Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sejarah, dengan kacamata kiri

Sydney: alternative publishing cooperative, 1979 resensi oleh: william h. frederick. (bk)

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA, AN ALTERNATIVE HISTORY Malcolm Caldwell dan Ernst Utrecht, Alternative Publishing Cooperative Ltd., Sydney, 1979 DALAM dua hal bulu ini bermaksud menjadi suatu "alternatif sejarah". Pertama, sebagai penyelidikan yang betu-betul "Indonesia-sentris". Kedua, sebagai tafsiran Marxis terhadap Indonesia masa lalu dan kini. Kedua penulis bermaksud menunjukan bagaimana Indonesia menjadi sebagaimana adanya kini. Bagi mereka Indonesia tidak lebih dari sebuah negara yang "khas neo-kolonial" dan "rumah mati terbesar di dunia". Adapun mengenai masa datang, Caldwell dan Utrecht yakin bahwa persoalan Indonesia "tidak bisa diatasi kalau tidak dengan tatanan sosial Marxis". Inilah sikap yang mendasari buku tersebut, suatu sikap yang secara sistematis menghindari pendekatan yang seimbang dan obyektif (sikap yang dilecehkan oleh penerbitnya sebagai cara berpikir yang menyesatkan). Dengan sikap ini para penulis juga menolak segala pendapat kecuali yang cocok dengan pikiran mereka berdua. Penyambung Lidah Rakyat Lazimnya buku demikian tidak begitu bernilai untuk diresensi. Apalagi buku ini tampil dengan kutipan yang kurang rapi dan tipografi yang buruk. Akan tetapi kedua penulis ini menarik perhatian kita, secara langsung maupun tidak, mencerminkan pendapat sejumlah besar sarjana Barat (baik kiri maupun kanan) tentang Orde saru. Caldwell dan Utrecht menolak secara mentah-mentah Orde Baru -- suatu sikap umum para sarjana dan pengamat Indonesia di Barat, terutama di Negeri Belanda dan Australia. Maka menulis resensi atas buku ini, sampai tingkat tertentu, adalah menulis resensi terhadap sejumlah analisa sarjana Barat terhadap 15 tahun pemerintahan Presiden Suharto. Di atas segalanya, karya ini secara konseptual amat angkuh. Ketika para penulis mengatakan bahwa buku mereka merupakan karya sejarah pertama yang "Indonesia-sentris." mereka menganggap remeh para sejarahwan sebelumnya (terutama sejarahwan Indonesia). Juga sekaligus menunjukkan kecongkakan dan kecetekan pengetahuan mereka mengenai kebudayaan bangsa lain. Empat bab yang ditulis Caldwell, misalnya, sebenarnya merupakan pemaparan sejarah Indonesia yang sama sekali tidak menjadikan bangsa Indonesia (apalagi pikiran atau cita-cita Indonesia) sebagai tokoh utamanya. Sejenis sejarah yang pernah ditulis sejarahwan kolonial Belanda 100 tahun yang lalu. Ironis sekali: Caldwell yang begitu antikolonial mengarang sejarah Indonesia abad ke-18 dan ke-19 yang sifatnya amat neo-kolonialistis. Pandangan Utrecht, bahwa "kebanyakan pemikir serius dewasa ini adalah Marxis atau neo-Marxis" sungguh sangat "Eropa-sentris" dan cuma mencari pembenaran untuk diri sendiri. Yang juga tidak terelakkan, buku ini amat patronizig. Dan agaknya yang dimaksudkan oleh para penulis sebagai "Indonesia-sentris", tidaklah lebih dari Marxis dan promassa", seakan-akan hanya para penulis dan kaum sepahamnya yang berhak memikul beban sebagai penyambung lidah rakyat. Penjelasan sejarah yan disenangi buku ini sangat sederhana dan tergantung pada tema tunggal. Sebagai contoh, Caldwell menjelaskan sejarah kolonial Indonesia hanya berpijak pada data ekonomi. Menurut dia ekonomi adalah akar semua bencana masa lampau sampai sekarang. Caldwell juga berkeyakinan bahwa generasi Indonesia mendatang tidak pernah dan tidak akan pernah bisa membebaskan diri dari akibat ekonomi kolonial tersebut. Di pihak lain, Utrecht melukiskan Orde Baru melulu dari segi politik militer. Ia tidak cuma berlebihan melukiskan kesinambungan dengan masa lalu (misalnya, menuduh ABRI bertanggungjawab bagi Demokrasi Terpimpin), tapi juga menganggap remeh semua kenyataan sosial, ekonomi, dan budaya di luar kegiatan militer. Berbicara mengenai kenyataan, yang mengganggu sekali dalam buku ini, seperti lazimnya dalam banyak karya Barat tentang Indonesia sejak 1965, ialah ketiadaan pengalaman langsung di Indonesia masa kini. Kedua penulis bertumpu sepenuhnya pada komentar kaum sepaham dari Barat serta sejumlah laporan wartawan. Dengan kata lain, mereka tidak menimbang masa Orde Baru dengan melihatnya sendiri. Maka tidak mengherankan kalau usaha mereka menggambarkan keadaan amat mengada-ada. Kegiatan intelektual serta pergolakan sosial sama sekali tidak muncul di buku mereka. Nasihat Chaliand Harus disebut bahwa Utrecht bukannya tidak mengritik golongan komunis di Indonesia. Aksi sepihak dan G30S dilihat sebagai kesalahan strategis PKI. Dan komunis di luar Indonesia, misalnya Rusia dan teman-temannya, diangagap pengecut dalam mendukung perjuangan Fretilin di Timor Timur. Tapi ini tidak merupakan pengakuan terhadap kelemahan pandangan Marxis atau ideologinya Utrecht cuma ingin mengatakan bahwa kaum Marxis lain itu tidak setingkat dirinya. Sehubungan dengan itu amatlah ironis melihat pandangan Marxis yang ditampilkan Caldwell dan Utrecht, yang menurut mereka sendiri disebut "aliran baru" dalam penulisan sejarah, pada kenyataannya telah terlambat sekali bahkan jika dilihat lewat kacamata Marxis sendiri. Pada 1976 Gerard Chaliand, scorang Marxis Prancis, dengan terbuka menelanjangi kemiskinan pengetahuan para sarjana Marxis terhadap Dunia Ketiga. Chaliand menyimpulkan bahwa pemikir komunis sudah harus pamit dari dogma dan secara menyeluruh mempelajari kembali perkembangan ekonomi dan masyarakat bukan Barat. Karena pengertian mereka terhadap Dunia Ketiga kurrang tepat dan jauh dari kenyataan. Caldwell dan Utrecht, meskipun mereka menulis naskah buku ini pada 1978, rupanya belum menyempatkan diri memperhatikan nasihat Chaliand tersebut. Walhasil, buku ini merupakan peringatan keras: sesungguhnya tidak ada yang disebut sebagai kebenaran ideologis. Tapi marilah kita berendah hati untuk mengakui, bukan cuma kaum Marxis yang membutuhkan peringatan demikian. Salah satu alasan mereka dan yang lainnya menulis seperti yang mereka lakukan, karena para penulis Indonesia sendiri, juga, pada umumnya berkecenderungan ideologis, seringkali dangkal, kurang berani dan tidak menantang. Hanya apabila para sarjana Barat dan Indonesia secara bersama sanggup menghindarkan pra-konsepsi dan sanggup memandang Indonesia dewasa ini secara keseluruhan dan realistis, kita bisa makin dekat kepada "alternatif sejarah" yang sebenarnya. William H. Frederick

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus