DI hari-hari menjelang Lebaran, kapal penyeberangan dari
Srengsem (Panjang) menuju Merak di Jawa padat penumpang. Inilah
saatnya para pendatang dari Jawa pulang kampung. Tapi tidak
demikian halnya dengan penduduk Desa Bagelen. Mereka tidak
pernah merasa perlu pulang ke Jawa, sebab sudah mengakar di
Lampung.
"Kalaupun pergi ke Bagelen di Jawa, mereka juga tidak tahu di
mana kampung mereka lagipula tak ada famili yang mereka kenal
di sana," ujar Amin Madyo, karyawan kantor Kecamatan
Gedongtataan. Sejak angkatan kolonisasi pertama datang pada
1905, hampir tak pernah ada yang mudik ke Jawa. Bukan lantaran
tak rindu, tapi tak ada ongkos. Lagipula mana mereka tahu jalan.
Di jual
Angkatan pertama itu terdiri 40 orang lelaki dan 3 juru masak
perempuan. Dua tahun berikutnya datang lagi masing-masing 50
pasang dan angkatan keempat datang setahun kemudian, (1908),
yang terakhir ini sebanyak 250 pasang. Setiap angkatan dipimpin
seorang Belanda. Sementara orang Jawa tinggal di gubuk-gubuk di
hutan yang barusan mereka babat, si Belanda tinggal di sebuah
gedung yang bagus.
Pada 1910 para pendatang mendapat pembagian tanah, 1 ha untuk
setiap kk: 1/4 ha untuk rumah dan pekarangan, 3/4 ha untuk
ladang. Tanah yang dibagi semuanya berjumlah 425 ha.
Gedung tersebut kini menjadi markas dan perumahan bagi Kompi A
Batalyon 143 Kodam IV/Sriwijaya. "Karena gedung itu ditata apik,
orang-orang lantas menyebutnya gedong tataan," tutur Lurah
Soetoyo. Barangkali itu pula sebabnya wilayah sekitarnya lalu
disebut pula "Gedongtataan."
"Di gedung itu dulunya Belanda sering menghukum orang.
Kadang-kadang ada yang disembelih," cerita Haji Mohammad Shobri
HS, 71 tahun, yang memang lahir di sana -- setahun setelah orang
tuanya tiba di Lampung dalam rombongan keempat.
Menurut Shobri, rombongan kolonisasi itu diangkut dari Merak
dengan kapal KPM dari Telukbetung jalan kaki sekitar 27 km
menuju sebuah hutan rotan yang kemudian dibabat selama 1« tahun
sehingga menjadi desa. Desa inilah yang kemudian dinamai
Bagelen itu. "Ketika itu Kota Tanjung karang belum ada,"
tambah Shobri.
Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula anak-anak belasan
tahun ke hutan-hutan sekitar desa baru itu. "Rupanya mereka
diculik dari Jawa, lantas dijual di sini. Dua puluh perak
seorang," tutur Nyonya Shobri. Ada yang kemudian dijadikan
pembantu rumah tangga, penggembala ternak, bahkan ada pula yang
diangkat sebagai anak sendiri.
Di rumah Haji Shobri sendiri, di belakang hari dititipkan dua
pasang pendatang yang diangkut dalam rombongan kolonisasi
lainnya. Generasi Haji hobri kini tinggal 4 orang. Selain dia
sendiri ada Sastrotaruno, Donopawiro, Syamsi dan Amir. Mereka
rata-rata berusia di atas 70 tahun. Anak sulung Haji Shobri
kini bekerja di Jakarta, kabarnya menghimpun kerukunan keluarga
Bagelen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini