Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tak seorang berniat pulang

Penduduk desa bagelen di gedungtataan (lampung selatan) didatangkan dari jawa, tapi tak ada yang berniat menjenguk desanya. mereka sudah tak punya keluarga dan tak kenal asalnya. (ds)

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI hari-hari menjelang Lebaran, kapal penyeberangan dari Srengsem (Panjang) menuju Merak di Jawa padat penumpang. Inilah saatnya para pendatang dari Jawa pulang kampung. Tapi tidak demikian halnya dengan penduduk Desa Bagelen. Mereka tidak pernah merasa perlu pulang ke Jawa, sebab sudah mengakar di Lampung. "Kalaupun pergi ke Bagelen di Jawa, mereka juga tidak tahu di mana kampung mereka lagipula tak ada famili yang mereka kenal di sana," ujar Amin Madyo, karyawan kantor Kecamatan Gedongtataan. Sejak angkatan kolonisasi pertama datang pada 1905, hampir tak pernah ada yang mudik ke Jawa. Bukan lantaran tak rindu, tapi tak ada ongkos. Lagipula mana mereka tahu jalan. Di jual Angkatan pertama itu terdiri 40 orang lelaki dan 3 juru masak perempuan. Dua tahun berikutnya datang lagi masing-masing 50 pasang dan angkatan keempat datang setahun kemudian, (1908), yang terakhir ini sebanyak 250 pasang. Setiap angkatan dipimpin seorang Belanda. Sementara orang Jawa tinggal di gubuk-gubuk di hutan yang barusan mereka babat, si Belanda tinggal di sebuah gedung yang bagus. Pada 1910 para pendatang mendapat pembagian tanah, 1 ha untuk setiap kk: 1/4 ha untuk rumah dan pekarangan, 3/4 ha untuk ladang. Tanah yang dibagi semuanya berjumlah 425 ha. Gedung tersebut kini menjadi markas dan perumahan bagi Kompi A Batalyon 143 Kodam IV/Sriwijaya. "Karena gedung itu ditata apik, orang-orang lantas menyebutnya gedong tataan," tutur Lurah Soetoyo. Barangkali itu pula sebabnya wilayah sekitarnya lalu disebut pula "Gedongtataan." "Di gedung itu dulunya Belanda sering menghukum orang. Kadang-kadang ada yang disembelih," cerita Haji Mohammad Shobri HS, 71 tahun, yang memang lahir di sana -- setahun setelah orang tuanya tiba di Lampung dalam rombongan keempat. Menurut Shobri, rombongan kolonisasi itu diangkut dari Merak dengan kapal KPM dari Telukbetung jalan kaki sekitar 27 km menuju sebuah hutan rotan yang kemudian dibabat selama 1« tahun sehingga menjadi desa. Desa inilah yang kemudian dinamai Bagelen itu. "Ketika itu Kota Tanjung karang belum ada," tambah Shobri. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula anak-anak belasan tahun ke hutan-hutan sekitar desa baru itu. "Rupanya mereka diculik dari Jawa, lantas dijual di sini. Dua puluh perak seorang," tutur Nyonya Shobri. Ada yang kemudian dijadikan pembantu rumah tangga, penggembala ternak, bahkan ada pula yang diangkat sebagai anak sendiri. Di rumah Haji Shobri sendiri, di belakang hari dititipkan dua pasang pendatang yang diangkut dalam rombongan kolonisasi lainnya. Generasi Haji hobri kini tinggal 4 orang. Selain dia sendiri ada Sastrotaruno, Donopawiro, Syamsi dan Amir. Mereka rata-rata berusia di atas 70 tahun. Anak sulung Haji Shobri kini bekerja di Jakarta, kabarnya menghimpun kerukunan keluarga Bagelen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus