Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Eksperimen Bunyi Gamelan

Wesleyan Ensemble dari Amerika Serikat menyajikan pertunjukan gamelan yang mengolah bunyi dengan teknologi.

18 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Wesleyan Ensemble dari Amerika Serikat menyajikan pertunjukan gamelan yang mengolah bunyi dengan teknologi.
Perbesar
Wesleyan Ensemble dari Amerika Serikat menyajikan pertunjukan gamelan yang mengolah bunyi dengan teknologi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kelompok Wesleyan Ensemble dari Amerika Serikat membuat komposisi tidak biasa dalam International Gamelan Festival 2018 di Solo, Jawa Tengah. Di Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI), Solo, Senin, 13 Agustus 2018, mereka menghadirkan tiga komposisi utama gamelan. Bukan alunan gendhing pada umumnya, melainkan hasil eksperimen mereka terhadap alat musik gamelan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Komposisi pertama digarap Paula Matthusen, komposer musik elektroakustik dan akustik di Wesleyan University. Dalam komposisi itu, dia mengkombinasikan alat musik tradisional dengan perangkat digital pengolah suara. Ia menempatkan mikrofon pada instrumen gong dan gender yang digunakan untuk menangkap jaringan pantulan bunyi. Pantulan atau feedback itu lantas diolahnya secara langsung melalui aplikasi di komputer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pukulan lirih di perangkat gong dan gender hanya menjadi pemantik suara. Sedangkan suara pantulan yang terperangkap mikrofon diolah menjadi nada-nada tertentu dan menghasilkan bunyi yang terkesan misterius.

Komposisi kedua diracik komposer Alvin Lucier dengan teknik hampir sama. Guru besar di Wesleyan University itu juga menyajikan karya kolaborasi gamelan dengan peralatan pengolah suara elektronik dengan bentuk yang sedikit berbeda. Ia menyajikan pertunjukan melalui tiga penabuh yang membunyikan gender. Pada saat yang sama, empat orang memegang bonang dan kenong yang diambil dari rancakannya, kemudian ditutupkan pada peralatan mikrofon.

Pukulan lembut pada gender ternyata tidak menjadi suguhan utama pertunjukan. Dia justru ingin menunjukkan suara-suara yang ditangkap dari dalam bonang dan kenong yang terlihat diam tanpa ditabuh. Namun diam bukan berarti tidak bersuara. Pukulan lembut pada gender mampu membuat bonang dan kenong bergetar hingga suaranya ditangkap dengan mikrofon. Tiga pemain gender memunculkan ombak akustik dan alur pantulan bunyi.

Udara menjadi sebuah penghubung antar-instrumen gamelan. Getaran suara dari salah satu instrumen yang dipukul akan merambat pada ruang dan menyebabkan instrumen lain ikut bergetar dan bersuara. Tentunya, komposer harus memilih nada-nada tertentu yang dibunyikan agar suara efek yang dihasilkan bisa selaras. Suara dan pantulan suara yang dihasilkan menjadi komposisi tersendiri sehingga bisa dinikmati.

Sedangkan pertunjukan ketiga ditata oleh Ron Kuivila. Komposisi ini lebih menekankan pada bilangan ketukan. Satu niyaga memainkan sebuah perangkat gamelan gender dengan nada yang selalu berulang. Sedangkan instrumen lain hanya dipukul sesekali sesuai dengan ketukan yang telah ditentukan. Ada kalanya berbagai instrumen itu bertemu dalam ketukan yang hampir bersamaan. Namun, ada saat juga semua diam, hanya menyisakan suara gender yang dimainkan secara monoton sehingga menghadirkan suasana yang terasa hening.

"Memang terkadang gamelan justru terasa keindahan suaranya saat dibunyikan dalam keheningan," kata pemimpin rombongan dari kelompok Wesleyan Ensemble, Sumarsam. Banyak yang menyebutnya sebagai sirep. "Gamelan merupakan instrumen musik yang mengedepankan masalah rasa."

Selama puluhan tahun, Wesleyan University telah menjadikan gamelan menjadi salah satu mata kuliah untuk program mata kuliah humaniora. "Gamelan dipelajari sejak pertengahan 1960-an," ujarnya.

Kelompok Wesleyan Ensemble tidak memiliki anggota tetap. "Para anggotanya adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah tersebut," kata Sumarsam. Namun, ada pula para lulusan yang tertarik dan masih ikut aktif dalam kelompok tersebut. Para anggota kelompok berasal dari berbagai negara, seperti Amerika, Malaysia, Cina, hingga Singapura. Rata-rata dari mereka adalah mahasiswa dalam program master dan doktoral.

Itu sebabnya, kebanyakan komposisi yang dihasilkan kelompok itu merupakan hasil eksplorasi eksperimental. Mereka tidak sekadar belajar untuk menjadi penabuh gamelan, tapi juga mengenal gamelan dengan lebih dekat. Mereka mencoba terus menyelami alat musik tradisional itu, baik dari sisi bentuk hingga bunyi. Hasilnya bisa sama sekali berbeda dengan alunan gamelan yang biasa didengar oleh masyarakat di Indonesia.

Meski banyak bermain di eksperimen bunyi, Wesleyan juga mampu menunjukkan kemampuannya sebagai pemain gamelan tradisi. Di akhir pertunjukan, mereka memainkan gamelan klasik melalui komposisi Silir Banten, Erang-Erangan Bagelen, serta Menak Koncar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus