Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film seni atau arthouse mendominasi Jogja-NETPAC Asian Film Festival atau JAFF 2024.
Arthouse merupakan film yang bertujuan memenuhi nilai artistik ketimbang komersial dan untuk pasar terbatas.
Menayangkan 180 film dari 25 negara, JAFF 2024 dibuka pada 30 November 2024 dan akan ditutup dengan malam penganugerahan penghargaan pada Sabtu, 7 Desember 2024.
DERETAN poster film bertengger di sepanjang koridor Empire XXI di Gondokusuman, Yogyakarta. Obrolan seputar film mengalir di antara langkah-langkah kaki penonton. Mereka meramaikan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2024–pesta sinema bagi para pencinta film alias sinefil di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pergelaran kali ini, film arthouse kembali mendominasi festival film tahunan yang berlangsung sejak 2006 tersebut. Film arthouse dibuat lebih sebagai karya seni ketimbang untuk tujuan hiburan atau komersial. Dikenal juga sebagai film seni, film arthouse dianggap sebagai ruang eksplorasi estetika dan narasi yang unik serta menjadi identitas JAFF.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengusung tema "Metanoia" yang berarti mengembangkan perspektif, JAFF 2024 juga mencerminkan transformasi berkelanjutan sinema Asia dalam menghadapi tantangan global. Garin Nugroho, pendiri JAFF, menekankan bahwa inti festival film tak lepas dari kualitas karya yang disuguhkan. “Kami menambah jumlah film sesuai dengan temanya. Tapi esensi sebuah arthouse-nya itu tetap harus ada,” katanya saat ditemui Tempo di sela acara, Senin, 2 Desember 2024.
Pemutaran film Samsara karya Garin Nugroho saat pembukaan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta, 30 November 2024. Dok. Yayasan Sinema Yogyakarta
Garin, 63 tahun, menggarisbawahi cara era media baru membuka peluang besar bagi sinema alternatif. Dengan kehadiran platform over-the-top (OTT), penonton memiliki akses yang tak terbatas. “Orang yang dulu enggak pernah lihat film Turki dan Afrika, sekarang bisa menemukan itu dengan mudah,” katanya. Tren ini, Garin melanjutkan, mendorong pertumbuhan pasar film arthouse yang sebelumnya tersegmentasi alias niche.
Menurut sutradara yang mulai dikenal lewat Cinta dalam Sepotong Roti pada 1991 tersebut, setiap film punya pasar sendiri. Dia mencontohkan Setan Jawa, karyanya, yang dirilis pada 2016. Film bisu dan tak berwarna itu tidak tayang di bioskop komersial, tapi tampil di banyak festival film dunia, termasuk di Berlin dengan iringan orkestra pada 2018. "Tujuannya memang niche market," katanya.
Garin menekankan bahwa strategi pengelolaan pasar adalah kunci. Meski pasarnya terbatas, film arthouse mampu membangun ruang publik yang memperkaya lanskap budaya. “Kalau hanya berbasis pada kebudayaan populer, pasti mati, karena riuh tapi enggak bermutu."
Maka, Garin melanjutkan, festival film seperti JAFF berperan memperkuat budaya alternatif yang kian relevan di tengah dinamika pasar film global. JAFF, kata dia, tumbuh menjadi ekosistem yang menghubungkan berbagai elemen industri film, termasuk produser, distributor, pelaku, serta pengkaji film. Garin juga melihat festival film sebagai ruang apresiasi dan pembelajaran.
Sependapat, Dian Sastrowardoyo menilai pengalaman menonton film arthouse di festival sebagai momen langka yang memberikan perspektif segar. “Memang perlu kita konsumsi," kata aktris dan sutradara itu kepada Tempo. "Sayangnya, distribusi film arthouse enggak bisa kita nikmati secara luas di luar festival.”
Menurut Alexander Matius, Direktur Program JAFF, meski film seni mendominasi di antara 180 film dari 25 negara yang tayang di JAFF 2024, tujuan utama festival yang berlangsung sejak Sabtu, 30 November, hingga Sabtu, 7 Desember 2024, itu adalah menciptakan ruang yang inklusif bagi semua jenis film. "Makin beragam filmnya, makin baik ekosistemnya,” ujarnya.
Dengan makin banyaknya film arthouse, penonton berkesempatan merasakan pengalaman sinematik yang berbeda. “Penonton punya pilihan. Bukan cuma soal cerita, tapi juga persepsi, sensori, dan cara berpikirnya," ujar Alexander.
Namun bukan berarti genre lain tak penting. "Festival film terbuka bagi semua orang. Mau filmnya receh atau yang estetikanya tinggi banget," katanya. Apalagi di JAFF 2024 ada JAFF Market yang menjadi ruang kumpul berbagai pelaku industri film, termasuk sinefil.
Wisnu, penonton, menyambut positif dominasi film arthouse di JAFF 2024 sebagai kesempatan bagi pencinta film menikmati karya-karya nonkomersial. Dia baru menonton Tale of the Land karya Loeloe Hendra. Menurut mahasiswa 21 tahun itu, film tersebut menyuguhkan pesan penting soal perampasan tanah masyarakat adat. "Narasinya terasa dekat," ucapnya.
Maria, juga penonton, terpincut Don't Cry, Butterfly karya Duong Dieu Linh. Menurut karyawan swasta 29 tahun asal Solo, Jawa Tengah, itu, film Vietnam tersebut meninggalkan teka-teka emosi yang membuat penonton terus berpikir setelah meninggalkan bioskop. Wisnu dan Maria sama-sama berharap akses untuk menikmati film-film seni seperti itu bisa lebih terbuka.
Puncak Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-19 berlangsung pada Sabtu, 8 Desember 2024. Sebanyak 12 film panjang berkompetisi dalam Main Competition untuk merebut Golden dan Silver Hanoman Awards, di antaranya Viet and Nam karya Truong Minh Quy dari Vietnam serta In the Land of Brothers yang disutradarai Raha Amirfazli dan Alireza Ghasemi dari Iran. Sedangkan untuk kategori Light of Asia, sebanyak 18 film pendek bersaing memperebutkan Blencong Awards.
JAFF 2024 juga menyelenggarakan kompetisi JAFF Indonesian Screen Awards. Ada enam film Indonesia yang berlomba meraih penghargaan di kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Naskah Terbaik, Pemeran Terbaik, dan Sinematografi Terbaik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo