Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sastra bisa memberikan instruksi kepada kita bagaimana bertindak.
Ide awal Palestine World Prize for Literature muncul pada awal 2018 di Teheran.
Palestine World Prize for Literature merupakan ajang dua tahunan.
PALESTINE World Prize for Literature terdengar benar menggemakan suara banyak penulis Palestina. Misalnya, pada 2014, penyair dan pendidik Refaat Alareer, yang terbunuh dalam serangan udara Israel pada 8 Desember 2023, menulis tegas, “Dalam banyak hal, perjuangan di Palestina untuk tanah dan hak harus diperjuangkan secara metaforis ataupun verbal.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu dilakukan, menurut Refaat, untuk menghancurkan narasi Israel tentang tanah tanpa rakyat, rakyat tanpa akar, dan rakyat yang tidak pernah ada sama sekali. “Melalui tulisan ini, kami tidak hanya menegaskan eksistensi kami, tapi juga membayangkan masa depan kami.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada pertengahan November 2023 hingga pekan pertama Desember 2023, novelis dan esais Palestina-Inggris, Isabella Hammad, bercakap dengan novelis dan esais Irlandia. Mereka membahas karya mereka serta peran penulis dan seniman dalam konteks peristiwa, khususnya situasi terbaru di Palestina.
Dalam percakapan itu, Hammad menyebutkan “bahasa bukanlah hal kecil”. Di matanya, perang terhadap Palestina, yang merupakan proyek dengan mengandalkan dukungan militer Barat, “selalu menjadi perang bahasa, perang propaganda, dan hubungan masyarakat.”
Pada September 2023, novelis dan esais Palestina, Adani Shibli, menulis di Zurich bahwa, dalam bahasa Arab, kata sastra ataupun etika adalah satu dan sama: adab. “Adab menyarankan bahwa dari sastra, kita bisa menghasilkan suatu etika yang dapat menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan. Sastra dapat memberikan instruksi kepada kita bagaimana bertindak.”
Namun, menurut Shibli, sastra sebagai etika “tak seperti otoritas agama atau pemerintahan, serta tidak ditentukan oleh satu teks, satu aliran, atau satu penulis”. Ia mengatakan sastra tak pernah menggunakan atau mengancam dengan kekerasan seperti yang dilakukan otoritas pemerintahan atau agama. Bagi dia, menganggap sastra sebagai suatu etika akan memberikan lebih banyak kemungkinan, baik yang bersifat etis maupun sebaliknya.
“Kemungkinan-kemungkinan ini mungkin membantu kita dalam menyadari atau bahkan membayangkan siapa diri kita dalam hubungan satu sama lain dan dalam memberikan tempat kepada orang lain di dalam diri kita.” Sebab, bagi Shibli, etika menjadi bidang yang terus-menerus dipelihara, ditinjau kembali, serta direvisi melalui tindakan membaca dan menulis.
Persekutuan Angkuh
Saat pertama kali menjabat Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dengan angkuh mendukung Israel. Ia memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem, mendukung permukiman Yahudi di Tepi Barat, mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai bagian dari Israel, menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, serta memberlakukan Perjanjian Abraham demi menormalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab.
Normalisasi tersebut tentu saja proyek bersama. Amerika memperkuat posisinya di Timur Tengah dan mendongkrak akumulasi modalnya. Israel pun menjadi makin kuat sebagai negara manifestasi dari zionisme yang sejak awal merupakan proyek kolonialisme pemukim. Sementara itu, masalah-masalah Palestina menjadi makin tak dipedulikan. Palestina pun dipercaya akan makin lemah dan makin mudah dilenyapkan.
Anak-anak Palestina memilah buku-buku sekolah mereka setelah menemukannya di antara puing-puing rumah orang tua mereka yang hancur di Kota Gaza. REUTERS/Anja Niedringhaus
Melenyapkan Palestina sudah diniatkan oleh Theodor Herzl. Dalam manifesto/novel alegorisnya, Tanah Lama-Baru (Altneuland, 1902), sang pendiri zionisme itu menulis, “Jika aku ingin mengganti bangunan lama dengan bangunan baru, aku harus merobohkannya sebelum membangunnya.”
Dalam semacam realisasi yang terjadi setengah abad kemudian, mantan Wakil Wali Kota Yerusalem Barat, Meron Benvenisti, mengenang, “Sebagai anggota gerakan pemuda perintis, aku sendiri 'membuat padang pasir bersemi' dengan mencabut pohon zaitun kuno Al-Bassa untuk membersihkan lahan bagi kebun pisang sebagaimana diharuskan oleh prinsip 'pertanian terencana' kibbutz saya, Rosh Haniqra.”
Pada suatu hari bulan Juli 1948, David Ben-Gurion menulis di buku hariannya: “Kita harus melakukan segala hal untuk memastikan mereka tidak pernah kembali.” Mereka yang dimaksudkan oleh perdana menteri pertama Israel itu tidak lain adalah orang-orang Palestina yang dipaksa meninggalkan atau diusir dari tanah air mereka.
Pemaksaan ini harus terus dilakukan dengan berbagai cara. Hal ini demi terus menduduki kian banyak tanah Palestina dan kian sedikit, bahkan raib, orang Palestina hingga mewujud apa yang disebut dalam Alkitab: Eretz Yisrael.
Tentu saja teks-teks seperti itu berlimpah. Menuju ke situlah persekutuan angkuh dan jahat Amerika serta Israel itu. Begitu pula dukungan diplomatik, militer, dan ekonomi negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Jerman. Mereka melakukan itu agar diampuni dan dilupakan dosa besar mereka di masa lalu serta berperan besar dalam membuat Israel menjadi “pos terdepan demokrasi” di Timur Tengah.
Namun kaum intelektual-estetik dari negara-negara berpenduduk mayoritas muslim jauh dari duduk-duduk manis belaka. Sebagian dari mereka mengadakan serangkaian pembicaraan intensif perihal arogansi persekutuan angkuh dan jahat tersebut serta tentu saja dalam pertaliannya dengan upaya memungkinkan Palestina merdeka. Salah satu buahnya adalah Palestine World Prize for Literature.
Ide awal Palestine Global Prize muncul pada awal 2018. Saat itu keinginan kolektif para penguasa arogan tengah mengintensifkan upaya menuju apa yang disebut “Kesepakatan Abad Ini”, sebuah skema besar untuk melemahkan hak-hak Palestina. Tujuannya untuk menormalisasi hubungan dengan rezim zionis serta menghapus perjuangan Palestina dari benak negara-negara muslim dan orang-orang yang mencintai kebebasan di seluruh dunia.
Di sisi lain, ada penurunan nyata dalam gerakan sastra dan narasi di negara-negara Islam. Juga kian berkurangnya penggambaran akurat tentang identitas rakyat Palestina yang tangguh—bahkan di kalangan kiri dan nasionalis—menimbulkan ancaman budaya yang serius. Penurunan ini menunjukkan dasar yang diletakkan oleh front zionis internasional untuk membalikkan peran penindas dan korban, membuka jalan bagi distorsi sejarah besar lain yang diatur oleh para manipulator media zionis.
Dalam konteks ini, kebutuhan untuk mendirikan sebuah penghargaan global dan internasional yang berfokus pada Palestina, juga berpusat pada pendekatan sastra dan naratif, sangat dirasakan oleh para pendukung ataupun penggemarnya.
Maka, pada November 2018, penghargaan tersebut secara resmi didirikan di Teheran dengan partisipasi dari sebuah koalisi organisasi akar rumput dan non-pemerintah, pemimpin budaya senior, serta asosiasi sastra dan media dari negara-negara seperti Iran, Irak, Suriah, Tunisia, Libanon, Yaman, Turki, Pakistan, dan Indonesia.
Ajang Dua Tahunan
Penghargaan Palestine World Prize for Literature merupakan ajang dua tahunan. Terdapat enam kategori penghargaan: novel, cerita pendek, puisi, drama, memoar, dan cerita anak. Upacara pemberiannya diadakan di negara yang dipilih oleh dewan pembuat kebijakan. Negara itu mengadakan acara, termasuk menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan.
Upacara pemberian penghargaan pertama diadakan pada 2022 di Beirut, Libanon. Adapun upacara kedua diadakan di Bagdad, Irak, pada 16 Desember 2024. Nah, kali ini kumpulan puisi saya, Dari Reruntuhan Mawar ke Cerita Ingatan, mendapat penghargaan untuk kategori puisi. Saya diundang dan terbang ke Bagdad untuk menerima penghargaan itu.
Panitia pusat di Teheran menerima 345 judul buku dari 26 negara. Karya-karya itu kemudian diseleksi oleh dewan juri yang berasal dari Suriah, Libanon, Aljazair, Palestina, Irak, Yaman, India, dan Iran. Ada enam kelompok dewan juri sesuai dengan kategori. Penjurian konsisten di semua kategori. “Juri memberikan alasan dalam memilih karya berdasarkan teknik dan konten. Keputusan akhir dibuat secara kolektif oleh juri, ketua juri, dan sekretaris ilmiah,” kata sekretaris acara, Mohsen Parviz.
Warga Palestina beristirahat di reruntuhan bangunan tempat tinggal yang hancur akibat serangan Israel, di Jalur Gaza utara, 22 April 2024. REUTERS/Mahmoud Issa
Tahap akhir penjurian melibatkan profesor dari universitas dan fakultas bahasa Iran. Pimpinan Persatuan Penulis Arab di Suriah dan Aljazair, Muhammad Al-Hourani dan Youssef Shakra, juga membantu dalam proses tersebut.
Dengan proses seperti itu, terpilihlah novel Tale of the Wall karya Abu Sarour dari Palestina dan kumpulan cerita pendek Diaries of Struggle and Honor karya Abdul Majid Zarkat dari Libanon. Lalu ada drama I Mean to Bury Them karya Du’a Muhammad Ismail Ibrahim Al-Bayati dari Irak, memoar Five Days in Barzakh karya Salameh dari Palestina, serta sastra anak Archivia karya Amel Nasser.
Nasser, salah seorang penerima penghargaan, mengatakan karya yang meraih penghargaan menjadi bagian dari kampanye pena agar pena memiliki suara yang sejajar dan mengarahkan peluru dalam pertempuran untuk kemenangan kebenaran serta kaum tertindas. “Untuk memenangi perjuangan yang membelah dua kutub di dunia ini: kebenaran dan ketidakadilan,” tuturnya.
Para penerima penghargaan lain menyampaikan perkataan yang tak jauh berbeda. Semua sehaluan dengan para penulis Palestina, seperti Refaat, Hammad, dan Shibli. Semua bergerak dalam front perjuangan Palestina dengan bersenjatakan kata, yang berarti front perjuangan damai mengusahakan Palestina merdeka.
Untuk itulah penghargaan uang tunai senilai US$ 60 ribu diberikan untuk enam kategori. Namun bukan itu yang membuat saya merasa sungguh patut bersyukur. Bagi saya, urusan Palestina adalah masalah seluruh umat manusia dan semua negara. Lebih lagi bagi warga Indonesia. Undang-Undang Dasar menyebutkan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Palestina adalah negara yang paling awal menghaturkan selamat atas kemerdekaan Indonesia. Maka bergabung dengan para penulis dunia dalam perjuangan memerdekakan Palestina dengan bersenjatakan kata tak pelak merupakan pemenuhan tanggung jawab kewargaan dan kemanusiaan saya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo