Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Hari-hari terakhir belanda di ...

New york : cornell university, 1986 resensi oleh: alfian. (bk)

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRISONERS AT KOTA CANE Oleh: Leon Salim Diterjemahkan oleh: Audrey R. Kahin, Ithaca Penerbit: New York, Modern Indonesia Project, Cornell University, 1986, 112 halaman PENGETAHUAN kita tentang hari-hari terakhir kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia menghadapi serbuan Jepang amatlah terbatas. Literatur tentang itu sangat langka. Meskipun panglima tentara Belanda untuk Indonesia, Letnan Jenderal Hein Ter Poorten, telah menyerah kepada Jepang di Kalijati pada tanggal 9 Maret 1942, hal itu belum merupakan akhir kekuasaan efektif Belanda di Nusantara ini. Di Sumatera, sebagian penting kekuatan militer Belanda masih bertahan sekitar tiga minggu lagi sebelum bertekuk lutut pada tanggal 28 Maret 1942. Keinginan penguasa kolonial setempat untuk terus mempertahankan Sumatera setelah Jawa jatuh dan menyerah telah menimbulkan suasana kemelut atau krisis yang terus meningkat ketegangannya. Di Padangpanjang, kota kecil yang terletak di pusat alam Minangkabau, kemelut tersebut semakin menjadi-jadi setelah rakyat banyak tahu dari mulut ke mulut tentang rencana Belanda untuk melakukan "bumi hangus" dalam menghadapi serbuan tentara Jepang. Hal itu telah menimbulkan kecemasan yang luar biasa, yang sekaligus juga memperkuat rasa persatuan dan kesatuan di dalam masyarakat. Tokoh-tokoh pejuang nasionalis berusia muda yang masa itu banyak bergerak di bawah tanah melihat kemelut ini sebagai kesempatan untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan kolonial. Mereka menggerakkan massa. Di Padangpanjang, otak gerakan baru ini adalah Chatib Sulaiman dan Leon Salim. Mereka berdua adalah aktivis Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) dan oleh karena itu merupakan kader atau pengikut militan dari Hatta dan Sjahrir. Sejalan dengan pemikiran dan garis politik Hatta-Sjahrir, Chatib Sulaiman dan Leon Salim ingin mengusir kolonialisme Belanda, dan pada waktu yang sama juga mengobarkan semangat antimiliterisme Jepang. Oleh karena itu, kemelut yang terjadi pada waktu itu mereka lihat sebagai peluang untuk memerdekakan diri, yaitu merebut kekuasaan dari tangan penguasa Belanda sebelum tentara Jepang memasuki wilayah tempat mereka berpengaruh, Minangkabau. Dalam waktu yang relatif pendek, mereka bersama sejumlah tokoh muda lain dari berbagai aliran politik berhasil menyusun kekuatan yang bergerak menuju tujuan memerdekakan diri itu. Puncak gerakan itu ialah demonstrasi besar yang direncanakan akan terjadi di beberapa tempat pada tanggal 12 Maret 1942. Menurut Leon Salim (pada waktu itu berumur 30 tahun), ada dua hal penting yang ingin dicapai dengan demonstrasi itu, yaitu: (1) menuntut penyerahan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke tangan rakyat Indonesia, dan (2) menentang rencana "bumi hangus" Belanda dalam melawan serbuan tentara Jepang. Tetapi, pada pagi hari tanggal 12 Maret yang bersejarah tersebut, penguasa kolomal menangkapi tokoh-tokoh penggerak demonstrasi yang direncanakan itu di beberapa tempat di Sumatera Barat. Di Padangpanjang, Chatib Sulaiman dan Leon Salim yang menjadi otaknya ditangkap bersama empat tokoh pemuda lainnya. Mereka dari PNI Hatta -- Sjahrir dan PSII. Ironisnya ialah karena sebenarnya rencana demonstrasi tersebut sudah dibatalkan oleh para penggerak sendiri pada malam harinya. Leon Salim ditangkap setelah kembali dari Batusangkar menyampaikan keputusan bahwa demonstrasi dibatalkan. Musyawarah yang berakhir dengan keputusan pembatalan demonstrasi berjalan sengit pada malam 11 Maret. Beberapa tokoh pergerakan dari berbagai aliran menginginkan agar demonstrasi dibatalkan atau ditunda mengingat persenjataan Belanda terlalu kuat untuk dilawan pada waktu itu. Tetapi para tokoh muda ingin terus dengan rencana semula. Akhirnya muncullah tokoh Abdullah, seorang guru di sekolah Adabiah Padang yang juga pengikut militan Tan Malaka yang bergerak di bawah tanah. Dia mendukung sepenuhnya tekad pemuda untuk melakukan aksi demonstrasi. Tetapi dia mengemukakan tanggal 12 Maret yang direncanakan bukanlah waktu yang tepat, karena tentara Jepang pada waktu itu belum akan sampai di perbatasan Sumatera Barat. Oleh karena itu, Belanda akan dapat menghancurkan demonstrasi tersebut dengan mudah. Lain halnya kalau tentara Jepang sudah sampai di perbatasan, Belanda akan berpikir keras dalam menghadapi suatu demonstrasi yang terjadi pada waktu mereka menghadapi kekalutan yang ditimbulkan oleh ancaman tentara Jepang yang sudah semakin dekat. Argumentasi kader Tan Malaka tersebut rupanya masuk di akal para perencana dan penggerak demonstrasi. Keputusan tercapai. Demonstrasi ditunda sampai saat yang tepat, yaitu bilamana tentara Jepang telah muncul di perbatasan. Tetapi setelah keputusan pembatalan atau penundaan tersebut dicapai dan disampaikan ke berbagai tempat, penguasa kolonial menangkapi sejumlah tokoh muda yang menjadi otak dan penggeraknya. Buku yang berisi memoir dan ditulis dalam bentuk catatan harian ini sebagian besar memuat kisah pengalaman Leon Salim sewaktu ditangkap, diinterogasi, dan ditawan sebagai tahanan politik. Penahanan Leon Salim bersama lima tokoh lainnya terjadi pada waktu tentara Belanda mulai bergerak meninggalkan Sumatera Barat, mundur untuk maksud bertahan di Kota Cane, di pedalaman Aceh Tenggara. Secara cukup terinci Leon Salim mengungkapkan pengalaman perjalanannya sebagai tahanan dalam komisi tentara Belanda dari Padangpanjang yang ditinggalkannya pukul dua siang tanggal 12 Maret menuju Kota Cane yang dicapainya pukul 5 sore tanggal 18 Maret 1942. Leon Salim dan kawan-kawan dibawa ke Kota Cane untuk diadili di mahkamah militer Belanda atas makar merencanakan demonstrasi tanggal 12 Maret. Pada tanggal 19 sampai dengan 22 Maret, mereka melalui proses prapengadilan. Pada tanggal 23 Maret, tiga dari mereka yang sudah menandatangani proses verbal, termasuk Leon Salim, mengira akan diadili dalam mahkamah militer lengkap. Di luar dugaan mereka sendiri, mereka hanya dihadapkan ke depan seorang kapten yang bertindak sebagai komisioner dari mahkamah militer. Si kapten kelihatan panik sekali. Setelah tanya jawab singkat, si kapten mengembalikan mereka ke penjara. Pada malam harinya mereka dengar bunyi mesin dan perintah bersahutan. Tentara Belanda menyingkir dari Kota Cane, lari ke Gunung Setan. Pada tanggal 25 Maret tentara Jepang memasuki dan menduduki kota kecil tersebut. Malamnya para tahanan Belanda dibebaskan, termasuk Leon Salim dan kawan-kawan. Pada tanggal 28 Maret Mayor Jenderal Overakker, setelah menyembunyikan diri selama tiga hari di Gunung Setan, turun menyerahkan diri tanpa syarat kepada tentara Jepang di Kota Cane. Maka, tamatlah riwayat perlawanan terakhir tentara Belanda dalam mempertahankan daerah jajahannya di Indonesia. Pada tanggal 31 Maret Leon Salim meninggalkan Kota Cane pulang kampung ke Padangpanjang yang dicapainya pada tanggal 2 April 1942. Belanda sudah enyah dan marsose telah tiada, tetapi Jepang dengan militerismenya datang mengganti. SEBAGAIMANA telah dikemukakan di atas, kegunaan buku ini terutama terletak pada informasi yang diberikannya tentang hari-hari terakhir kekuasaan Belanda di Sumatera sebelum bertekuk lutut kepada Jepang. Pengantar yang cukup baik yang ditulis oleh penerjemahnya, Audrey Kahin, banyak manfaatnya dalam membantu pembaca untuk memahami makna memoir Leon Salim ini lebih mendalam. Ada satu hal lagi yang menarik yang terungkap oleh buku ini, yaitu suasana keakraban yang dapat terjalin antara para tokoh pergerakan nasional dari berbagai aliran politik. Leon Salim, umpamanya, adalah seorang kader militan PNI Hatta-Sjahrir yang sewaktu ditangkap bekerja sebagai administratur Sekolah Diniyah Padangpanjang. Chatib Sulaiman, tokoh utama PNI Hatta-Sjahrir di Sumatera Barat, pernah menjadi kepala HIS Muhammadiyah di samping berbagai kegiatan lainnya. Pengaruh besar yang diperlihatkan oleh kader militan Tan Malaka, Abdullah, dalam mengambil keputusan tentang pembatalan atau penundaan demonstrasi, sebagaimana telah diungkapkan, mencerminkan pula keakraban antara para tokoh nasionalis pada waktu itu. Di pihak Belanda, kenyataan bahwa Leon Salim dan kawan-kawan mereka bawa sebagai tahanan yang akan diadili dalam pengunduran diri dari Padangpanjang ke Kota Cane mengandung makna tersendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh Audrey Kahin dalam Pengantar, meskipun dunia kekuasaan mereka tengah mengalami keruntuhan, mereka toh membawa serta tahanan mereka dalam pengunduran diri dengan rencana untuk kemudian diadili sebagaimana mestinya. Alfian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus