Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

O, anak

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENTRAL ibadat haji memang di Arafah. Karena alhajju Arafah. Tetapi beberapa jemaah "Haji VIP", yang diterbangkan PT Tiga Utama tahun ini, ada yang "didorong hal lain" pergi ke Tanah Suci. Misalnya, seorang suami yang beristri wanita Jepang ikut mengajak anaknya. Selain untuk menunaikan rukun kelima itu, mereka berharap anaknya "sembuh, rohani", karena, konon, pernah morfinis. Si Putra, begitulah saya sebut namanya, mengaku kenyang minum air zamzam. "Saya tambah sehat," kata anak itu. Sedangkan yang rukun dan yang wajib, Alhamdulillah, selamat pula dikerjakannya. Di Jabal Rahmah, bukit yang menurut kisah menjadi tempat pertemuan Kakek Adam dengan Nenek Hawa, Putra bertanya pada bundanya, "Kita sembahyang di sini?" Agama adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Karena itu, seorang ayah, seperti Sukamdani S. Gitosardjono, 58, bersama istri perlu mengajak seorang anaknya naik haji. "Kami ingin dia lebih mencintai Maha Pencipta dan menghargai ciptaan-ciptaan-Nya," kata Ketua Kadin Indonesia itu. "Dan, kami bisa khusyuk di sini." Lalu, adakah hubungan timbal balik dari si anak? "Saya teringat Almarhum Ayah. Tahun ini, saya menjadi badal, menghajikan beliau," ujar seorang anak berusia 55 tahun, Ir. Ismail Sofyan, Dirut PT Metropolitan Development, Jakarta, ini pada 1975 pertama kali naik haji dengan membawa ibu kandungnya. "Tapi, pada tahun ini saya ini ibarat cas batere kembali," katanya. Ini juga soal "cas". Ada anak, karena ada istri, karena ada suami. Ini, galibnya, kalau mereka memang tak mandul. Tetapi, ini juga bukan simbolis, kalau di suatu saat yang sangat mengharukan, di bawah tenda Arafah, hampir semua jemaah suami-istri berpeluk-pelukan. "Maafkan, kalau aku pernah kejam dan sadistis padamu," bisik seorang suami sembari memeluk istri. Selesai wukuf di Arafah, memang ada tiga janda kaya berangkulan sembari menangis. "Kami tak punya suami. Lalu, siapa yang harus dipeluk dan diberi maaf?" kata seorang kepada ustad pembimbing. "Di depan Ka'bah, terutama di Multazam, berdoalah dan mintalah kepada Allah agar kalian dapat suami yang bertanggung jawab," ujar ustad yang baik itu. "Kami berharap jadi hajah yang mabrur, Ustad ...." Itulah suara hati janda yang menunggu calon suami, yang kemudian memberi ia sejumlah anak. Banyak kejadian yang terkadang tidak masuk akal, tetapi manusiawi. Mungkin, karena padang Arafah merupakan monumen asal manusia setelah Adam-Hawa berjumpa kembali di sini? Seorang mahram saya, misalnya, yang tahun lalu berumrah, pada tahun ini ia berhaji tanpa ikut suami. Katanya, "Untuk menghilangkan friksi-friksi dalam diri masing-masing." Ia baru sembuh dari operasi besar, dan bernadar naik haji. Sedikit malu, lalu ia bilang, "Saya ibu rumah tangga yang sudah punya dua anak. Kau tahu maksud saya?" Agak samar, memang. Tapi, karena di Tanah Suci, saya cuma boleh mengangguk, ihklas saja. Tak jelas persis berapa di antara dua juta lebih manusia dari berbagai negara saling membawa "tempelan sesuatu yang lain" ke Arafah. Tetapi, seorang rekan dari majalah Kartini, contohnya, punya kesamaan dengan saya: mengasuh seorang anak yang jantungnya bocor. Anaknya, yang lahir setelah istrinya beberapa kali keguguran, baru berusia setahun. "Setiap pekan kami kontrol ke seorang dokter ahli," katanya. Dan sekarang, kami berdua sedang beribadat serta berjuang untuk harapan yang panjang kepada anak masing-masing. Saya menerima tawaran ke Tanah Suci, karena juga didorong anak abang si kembar. Bocah enam tahun, yang disebut ibunya "anak obat" ini, sekarang sedang menunggu zamzam. Pipa pembuluh di jantungnya masih ada yang bocor. Ia, menurut dokter yang merawatnya, belum boleh dioperasi. Ususnya juga suka semaput. Zamzam yang diniatkan sebagai obat, dua hari lalu saya janjikan dalam telepon umum di depan Masjidil Haram, sehabis subuh. Si abang girangnya bukan main. "Setelah Papa ketemu Tuhan, cepat pulang, ya?" katanya. Saya tak sanggup menjawabnya. Klik. Hubungan kami putus. Koinnya habis. Sebelum minum zamzam, Ustad menyuruh kami berdoa lebih dahulu, " .... sembuhkan dari penyakit batin dan lahir." Tiga kali saya bergelut ke dalam terowongan sumur Allah yang menurut kisah digali tumit malaikat Jibril, yang kini di bawah altar makam Ibrahim ini. Di saat begini, saya tak pernah tahu lagi bagaimana yang dialami Sukamdani, apa yang direnungkan J.E. Habibie yang mungkin sedang lupa pada jabatannya sebagai Dirjen Perla, atau Kardjono, Pak Dirjen Perdagangan Dalam Negeri itu. Apakah bekas Pangdam Andi Mattalatta ikut terpontal-pontal meski tak kehilangan uang seperti Suwoto Sukendar? Dalam suasana gemuruhnya tawaf, yang saya ingat cuma Allah dan anak. Saya hampir jadi kerupuk dipusing gelombang bah manusia. Tapi, Engkau lepaskan saya dari tekanan fisik yang dahsyat mencekik napas, setelah saya berteriak: "Subhanallah. Subhanallah. Allahu Akbar." Gulungan yang melilit bagai gurita penasaran itu pecah-ruah. Kaca mata tersandung ke ujung hidung. Mata berkunang. Dan, tubuh tersangkut di belahan ketiak sekian "raksasa" yang bercongor kosong. Mereka Turki? Mereka Iran? Mereka Afghan? Atau, inikah "ujian" itu? Ibadat saya benar-benar digenjot oleh vitalitas si abang yang begitu nyala -- anak yang pernah tiga bulan dalam peti kaca berlistrik. Inilah bayi yang bukan pradini, tapi beratnya 1,7 kg. Lima liter zamzam yang boleh ditenteng dalam kabin pesawat Saudia, atas namanya, disedekahkan ibunya kepada kerabat dan anak-anak sebaya anaknya itu. Zamzam setermos lain, que sera sera dapat luput dari obrak-abrik petugas terminal di Jeddah. Air yang diharapkan manjur itu sudah diminum si abang yang kini 14,5 kg. Umpama berjuta anak yang nasibnya sama dengan dia, di bola mata kanak ini ada gelora. Sementara, dalam zamzam bagai bermain dua yang inti: Hakikat dan Kehidupan. Contohnya, Siti Hajar bersama Ismail, anak Ibrahim itu, yang diselamatkan air mukjizat ini? Karena manusia memang berasal dari air, seperti diingatkan Tuhan? "Pa, saya baca bismillah kalau minum zamzam. Kalau jantung saya tak bocor lagi, kata Pak Dokter, saya boleh naik haji, ya? Mama, Pak Dokter 'kan bilang begitu, ya?" kata si abang. Enam tahun lalu, setelah bertahan sembilan hari, adik si kembar yang 2,4 kg itu kalah bergelut untuk hidup. Belakangan anak ini tahu keadaan dirinya. Tapi sampai sekarang ia belum pernah mendengar mengenai Almarhum. Sehabis zamzam di gelas direguknya, si abang bertanya, "Papa dan Mama, kok nangis?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus