Karena sama-sama punya kepentingan untuk mendapatkan "kartu hijau", sepasang manusia yang baru berjumpa langsung pura-pura menikah. Drama komedi yang segar. GREEN CARD Sutradara dan Skenario: Peter Weir Pemain: Gerard Depardieu, Andie Mac-Dowell Produksi: Touchstone Pictures HARI itu, meski langit luas dan biru, New York sibuk dan sesak seperti hari-hari sebelumnya. Tapi, bagi Bronte (dimainkan Andie MacDowell), hari itu adalah sungguh "istimewa". Di jari manisnya melingkar sebuah cincin emas dari Georges Faure (diperankan Gerard Depardieu), seorang pria Prancis yang baru dikenalnya pagi itu di kafe. Aneh? Mungkin ini hanya bisa terjadi di Amerika, sebuah negara yang dianggap sebagai tanah impian bagi ribuan imigran. Dan Faure ingin merebut impian itu dengan mendapatkan green card. Kartu berwarna hijau itu tak lebih dari sebuah "karcis masuk" bagi mereka yang ingin menetap dan mendapat pekerjaan di Negara Paman Sam. Dan untuk tidak melalui birokrasi yang lama dan berbelit-belit, pernikahan di atas kertas sering menjadi jalan pintas, karena orang asing yang menikah dengan orang Amerika otomatis berhak mendapatkan kartu hijau. Tentu bukan hanya Faure yang memetik keuntungan dari pernikahan di atas kertas itu. Bronte, seorang aktivis lingkungan, mati-matian berusaha mendapatkan apartemen dengan rumah kaca di dalamnya. Karena apartemen itu hanya diperuntukkan pasangan muda, Bronte rela berbohong di muka pemilik apartemen. "Ya, saya sudah menikah dengan seorang musikus Prancis," ujarnya pada pemilik apartemen. "Sayang, dia sekarang sedang di Afrika untuk mencipta lagu," sambungnya dengan wajah sungguh-sungguh. Dan ia berhasil mendapatkan apartemen itu. Tapi tunggu dulu. Bagaimana dengan nasib Faure? Ternyata, pegawai imigrasi mengendus bau anyir dalam perkawinan ini. Mereka berniat memeriksa sendiri ke apartemen Bronte. Dan itu berarti, "kalian harus tinggal bersama sementara. Paling tidak, akhir minggu ini saja," demikian nasihat pengacara Bronte. Soalnya, para pegawai imigrasi akan menginterogasi kehidupan perkawinan mereka, mulai dari warna sikat gigi masing-masing hingga kebiasaan mendengkur suami. Bagi Bronte yang cantik, antirokok, antidaging, dan cinta tanaman itu, berakhir pekan dengan seorang lelaki asing dari antah-berantah adalah sebuah siksaan. Siksaan ini, oleh Peter Weir, diolah dan diaduk menjadi drama-komedi yang sungguh segar dan enak ditonton. Bronte suka sayur, Faure yang bertubuh gembul doyan daging Bronte antirokok, Faure adalah merokok bak kereta api. Setiap kali ada tamu, misalnya sahabat atau orangtua Bronte, mereka sibuk mencari alasan untuk menjelaskan kenapa pria Prancis itu bercokol di apartemen Bronte. Lebih menarik lagi, Bronte terlibat dalam kelompok pecinta lingkungan yang giat menghijaukan daerah kumuh New York, dan untuk Faure kegiatan itu sungguh nonsens, karena, "Aku tumbuh di tempat kumuh seperti itu dan setahuku kebutuhan mereka adalah makanan, bukan tanaman." Sikap Bronte yang idealistis dan terkadang naif tentu saja tabrakan dengan Faure yang realistis dan sinis. Tapi, di balik pertengkaran mereka yang begitu hebat bak anjing dan kucing, ternyata tersembunyi magnet yang menarik mereka menjadi lebih dekat. Pada suatu malam, Faure memainkan piano di rumah sahabat Bronte sembari bersajak: "Pernah kudengar suara desir pepohonan. Tapi kini, mainan anak-anak adalah kehancuran, dan mereka hanya bisa memanjat kekacauan." Bronte mulai terpesona. Mata dan bibir Andie MacDowell itu pun bicara. Bahkan Phil (dimainkan Gregg Edelman), pacar Bronte yang serius banget itu, mulai kelihatan membosankan dan menyebalkan. Dan Senin pun datang, saat Bronte dan Faure diwawancarai terpisah. Semua begitu mulus, sampai suatu ketika Faure terpeleset bicara, salah menyebut minyak rambut "istrinya". Ending-nya adalah: Faure didepak keluar Amerika. Tapi "kucing dan anjing" itu sudah telanjur jatuh cinta dan justru tukar cincin sungguhan. Untung saja, Peter Weir tidak terseret untuk membuat happy ending ala Hollywood. Seperti dalam Dead Poets Society, Weir memang berpihak pada sebuah romantisasi kegagalan. Sang guru ideal dalam Dead Poets Society pada akhirnya didepak keluar sekolah, tapi murid-muridnya menunjukkan cintanya dengan berdiri di atas meja. Dalam Green Card, Faure, pendatang gelap yang sudah telanjur mendapat simpati penonton, didepak oleh Paman Sam. Tapi ia memenangkan cinta Bronte yang jelita (hanya dalam tiga hari). Keromantisan Weir yang lain bukan hanya karena kemahirannya menggunakan puisi dalam dialog tokoh-tokohnya. Ia juga seorang sutradara yang sudah tahu berpuisi melalui kamera. Perhatikan wajah Faure dan Bronte ketika masing-masing melorotkan baju (di kamar yang terpisah). Melalui keremangan, kita merasakan getaran yang terjadi. Dan Weir menciptakan adegan itu tanpa dialog apa pun. Skenario film ini, seperti yang diakui Weir, dibuat khusus untuk Gerard Depardieu, setelah melihat aktingnya yang cemerlang dalam Danton karya Andrzej Wajda. Sungguh usaha yang tak percuma. Depardieu memang seorang master. Aktor terbaik Festival Film Cannes tahun silam ini -- dalam film Cyrano de Bergerac -- hampir tak tertandingi aktor Hollywood mana pun, kecuali dalam film 1900, ketika ia berpasangan dengan Robert de Niro. Dan kehebatannya, maklumilah, tentu belum bisa disejajarkan dengan mutu akting MacDowell. Depardieu sudah sampai pada taraf di mana gerakan tubuhnya, tangannya, alis mata, dan bibirnya sudah menjadi bahasa gambar. Memang demikianlah yang layak disebut sebagai aktor. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini