Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ketika lomba beduk menjadi festival drum

Tanpa pembatasan tertentu, sebuah festival hanya merugikan peserta yang benar-benar mencoba menyuguhkan mutu. festival drum internasional di ancol, pekan lalu.

1 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEROBAK sapi dan kereta api punya dua kesamaan. Keduanya sama- sama alat angkut, sama-sama hasil teknologi. Bedanya, yang satu kuno, lainnya modern. Mustahil memacu keduanya untuk berebutan unggul. Itu kelemahan praktis teknologi modern. Tidaklah demikian dalam hal seni. Yang lama dan yang baru dapat bertoleransi, tak harus saling mengalahkan. Lihatlah, misalnya, Festival Drum Internasional di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, pekan lalu. Festival ini bermula dari lomba beduk di tempat yang sama kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Idenya diambil dari bebedugan di kampung-kampung yang sangat khas pada malam takbiran. Persoalan kemudian berkembang. Mungkin karena yang bersifat festival dan yang bertaraf internasional dianggap lebih menarik dan menguntungkan dari sekadar lomba beduk, dibuatlah festival drum. Tapi tak apa. Drum memang dapat lebih luas dari sekadar beduk. Maka, gendang, rebana, bambu, kotekan, hasapi, gitar, komputer, bahkan tari-menari pun ada. Maklum, konon, kait- mengait. Pokoknya, ada drum dalam musik, tak perlu murni- murnian dengan batasan. Maka, Musikus dan Komponis Harry Roesli pun menyindir sebelum tampil. Di Indonesia ini sudah jadi budaya, judul tak perlu sesuai dengan isi. Ia tampil dalam festival ini dengan nomor musik yang ia pentaskan pada forum musik elektronik di Yogyakarta bulan lalu (lihat TEMPO, 4 Desember 1993). Dalam karya Harry ini memang banyak suara drumnya yang keluar dari alat komputer midi. Apakah itu khas musik drum yang secara spesifik mestinya ditampilkan dalam sebuah festival musik drum, agaknya, tak jadi soal betul bagi festival ini. Pokoknya, ada suara drum, habis perkara. Adapun pasal di Yogyakarta musik Harry disebut musik eksperimen, dan di Ancol disebut musik drum, Harry sendiri, seperti biasanya, tak ambil peduli. Sebutan-sebutan dalam seni memang bisa membikin kacau pemahaman, apalagi di Indonesia, karena sering hanya dipakai untuk menarik perhatian. Tampaknya, penampilan Iwan Fals dalam festival ini, menurut panitia, juga dimaksudkan untuk memancing perhatian. Dalam lembaran acara tertulis, Iwan akan tampil solo dengan gitarnya yang diperlakukan sebagai perkusi. Fatal! Fans Iwan tidak peduli. Mereka mau Iwan, hanya Iwan. Apakah Iwan berada di solo, perkusi, dalam drum, atau festival, mereka tak mau ambil pusing. Mereka tak puas hanya dengan dua lagu Iwan. Penonton pun mengamuk. Festival jadi berantakan. Bukan salah Iwan atau penonton. Ini risiko hajatan yang kurang jelas formatnya. Sayang memang. Padahal, sebuah festival drum, kalau dikemas dengan benar, bisa menjadi acara budaya yang sangat menarik, seperti di Jepang, Korea, Taiwan, Cina, Amerika Latin, dan Afrika. Sebagai alat musik, drum adalah alat tabuhan yang paling tua di dunia. Dalam khazanah musik rakyat dan tradisi, drum menjadi alat musik bangsa-bangsa yang paling dominan, terutama di Asia dan Afrika. Orang-orang Indian, India, Cina, dan suku-suku bangsa di Afrika sangat kaya dengan tetabuhan ini. Sejak tahun 1960-an, drum bahkan menjadi primadona dalam perkembangan musik baru abad ke-20, seperi halnya dalam era swing dalam musik jazz tahun 1930-an. Drum dan alat-alat tabuhan (perkusi) lainnya yang "kuno" lantas berkoeksistensi mesra dengan alat-alat elektronik dan komputer pada tahun 1970-an. Apalagi sejak dikembangkannya malaikat musik midi tahun 1980- an. Yang kuno dan yang supermodern kawin dalam satu ranjang musik baru yang multidimensi. Itulah kelebihan musik (seni) dari teknologi praktis. Maka, dengan kelebihan itu, berkiprahlah Ben Pasaribu dari Medan dalam musik midi dengan berbagai materi musik daerah Sumatera Utara. Cocok tidak cocok dengan istilah festival drum di Pasar Seni Ancol, musik Ben yang berjudul Ekstraksi Khayal (1993) memang sangat menarik. Berbagai unsur musik rakyat berantisipasi dengan rekayasa canggih program midi dan alat-alat elektronik lainnya. Midi memang seperti malaikat. Bisa menyulap suara apa saja. Jangankan suara drum, bunyi keong pun bisa dibuat. Lalu, apa istimewanya sebuah festival drum kalau nantinya lebih banyak orang memakai alat midi daripada drum tangan kosong dan drum gagang pukul? Sebuah festival mestinya minimal untuk memburu mutu atau menghimpun berbagai informasi. Ditampilkannya Manipuri Pung- Cholom dari India, Chango-Chum dari Korea, rombongan dari Myanmar, atau Rebana Biang dari Betawi dan Rapai Zikir dari Aceh adalah contoh. Itu semua sungguh menarik dan pas untuk forum musik drum seperti yang biasa kita kenal. Sesungguhnya di negeri ini dan di seantero jagat lainnya yang lebih luas banyak sekali hal yang sangat unik dan menarik dari musik rakyat yang berhubungan dengan musik drum. Kalau untuk festival yang internasional saja, tak akan ada habis-habisnya, sehingga sebaiknya yang modern-modern dan supercanggih itu boleh dibuatkan forum lain yang lebih akurat. Tapi, ya, apa boleh buat, itu maunya si empunya gagasan dan duit ....Suka Hardjana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum