RIO Helmi pernah memburu gambar di sepanjang riam jeram Kalimantan. Ia pernah merekam wajah suku terasing di pegunungan Thailand. Ia bahkan sudah sering memotret dari atas langit berbagai negara Asia. Ribuan foto cantik dalam belasan buku merupakan bukti petualangannya itu. Toh, karya terbaik Rio Helmi dibuat tak jauh dari pagar rumahnya, bahkan tak jauh dari laci lemarinya. "Bali: the Theatre of Ritual, the Ritual of Theatre," itulah pameran 23 foto hitam-putih Rio tentang pulau yang 16 tahun terakhir ini menjadi tempat tinggalnya. Pameran ini juga menghadirkan kembali sisi fotografis Rio Helmi yang sudah lama paling tidak sejak ia lebih banyak berkutat dengan foto-foto pesanan dibiarkannya tenggelam. Tak heran bila perasaan intim, ibarat gelembung-gelembung oksigen, berjuang mencuat ke permukaan. "Bertahun-tahun saya menyembunyikannya," ujar pria campuran Indonesia-Turki itu, "sebab saya merasa belum siap membuka jiwa saya kepada orang lain." Dalam hal ini Rio memang banyak terbantu oleh subjek yang dipotretnya. Betapapun eksotiknya peran objek-objeknya (pendeta, penari, penabuh gamelan) bagi kita, bagi Rio Helmi mereka adalah sahabat dan tetangganya. Tengok foto Calonarang. Di situ, Rio tidak lagi menggambarkan adegan dari salah satu pertunjukan yang paling seru dan mengerikan dalam lakon Bali. Rio hanya memotret tokoh nenek sihir Dirah saat istirahat. Sederhana dan hening. Gending telah berhenti berdenting dan jeritan penari menjadi sunyi. Wajah keriput yang direkamnya, yang sebetulnya memerankan wujud jahat, tampil sebagai manusia biasa sebersit senyum di bibir itu mengekspresikan kebahagiaan bahwa sebuah tugas suci telah dan akan dilakukan. Ini bukan lagi potret panggung yang biasa kita lihat. Ini bahkan bukan potret pertunjukan. Rio menembus riuh rendah sebuah sandiwara dan menangkap satu saat sesaat sebelum dan sesudah penjelmaan ketika waktu seperti berhenti, sementara. Dan itu mungkin tujuan dari segala ritual masyarakat Bali. Setiap tarian dan drama adalah sebuah koma, sebuah istirahat sejenak dari memacul dan berdagang, untuk merenungi inti kehidupan. Seperti Rina dalam potret Cak Rina, yang wajahnya campuran ekstasi dan ngeri di antara temaram malam dan kilatan obor, manusia Bali hanya bisa lepas dari ikatan waktu dan tempat dari dunia maya pada saat ia terombang-ambing di antara alam atas dan bawah sadar. Maka, sebagian karya Rio Helmi memang bisa tampak suram. Misalnya, Rejang Karangasem. Tarian sakral yang hanya boleh dibawakan gadis perawan ini merupakan suatu bentuk pemujaan terhadap kesucian. Tapi kita tahu, setiap upaya menuju kesucian sebenarnya juga suatu perjalanan melalui lembah hitam. Itulah yang tampak dalam rekaman gambar Rio Helmi: asap dan kegelapan yang mengelilingi gadis penari bagai roh jahat yang mengepung makhluk tak berdaya. Uluwatu adalah contoh yang lain. Siapa mengira ada orang yang mampu meraih pencerahan di candi segersang ini. Tapi itulah yang dicapai tokoh mitologi Dang Hyang Nirartha, ribuan tahun silam. Di sini, di antara gerbang yang hangus oleh waktu, kita berhadapan dengan pemandangan yang kosong: langit tanpa awan, tanah hitam dan sebatang pohon tua yang kering dimakan waktu. Foto ini mengingatkan kita pada falsafah Hindu-Budha yang me- ngatakan bahwa jalan menuju kebijaksanaan bagai memanjat ujung silet. Ia juga mengingatkan kita pada perumpamaan Nabi Isa tentang jalan menuju surga yang hanya sebesar lubang jarum. Setelah kita mampu melewatinya, yang ada kemudian hanyalah ini: ketiadaan. Ketiadaan dalam foto semacam "Uluwatu" menggambarkan sebuah lanskap emosi. Sebaliknya, dalam beberapa foto Rio yang lebih gemuruh, misalnya yang menampilkan berbagai tarian tradisional (yang pasti digemari turis), kita cuma bisa melihat kecantikan teknik fotografi Rio Helmi tanpa bisa turut merasakan emosinya. Mungkin ini pengaruh dari penga- lamannya sebagai fotografer produk dan pariwisata di sini eks- presi harus mengalah pada informasi, emosi tunduk pada logika dagang, dan puisi hitam-putih takluk pada genitnya warna. Bagi seorang seniman, rintangan emosional itu sebenarnya lebih berat daripada memanjat tebing yang paling tinggi atau terjun ke riam yang paling dalam. Pameran ini paling tidak mencerminkan Rio mulai menjalani separuh dari tantangan itu. Ia pun memberi contoh pada kita bahwa karya foto yang baik dan mendalam tak terkait pada lokasi atau subjek, tapi soal seberapa besar kita berani membuka hati kepada dunia.Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini