Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berita Tempo Plus

Mendialogkan Islam Lewat Film

Festival Madani menyuguhkan film tentang dunia Islam. Dari soal calon pengantin teroris hingga kisah anak-anak Suriah.

20 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Mendialogkan Islam Lewat Film
Perbesar
Mendialogkan Islam Lewat Film

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Di video, dua perempuan berkerudung terlihat akrab berbincang. Salah seorang di antara mereka berbaju panjang dan bercadar hitam komplet dengan sarung tangan tengah memegang sebuah lipstik. Satunya lagi berkerudung biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Berada di sebuah ruangan, obrolan mereka tentang alat kecantikan. Perempuan bernikab ini adalah Ika, salah seorang narapidana teroris yang hampir menjadi "pengantin"-istilah untuk para pelaku bom bunuh diri. Adapun perempuan berpakaian muslim biasa adalah Riska, yang merupakan peneliti di Yayasan Prasasti Madani, yang mendekati Ika agar mengungkapkan kisah hidupnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Penonton juga melihat seorang ibu separuh baya yang tengah berjualan keliling. Ia tak lagi bisa mengandalkan putri sulungnya yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Putri tercintanya kini juga mendekam di penjara setelah tertangkap hendak menjadi pengantin, sama seperti Ika. Dia adalah Dian Yulia Novi.

Si ibu menangis mengingat putrinya itu. "Dia anaknya taat sama orang tua, enggak pernah menyusahkan orang tua," ujarnya sambil mengusap air mata yang berlinangan di pipi. Setelah itu dia diam sejenak, matanya menerawang. "Sejak kecil dia enggak pernah minta apa pun."

Kisah dua perempuan ini diceritakan dalam film dokumenter berjudul Pengantin, film yang diproduseri Noor Huda Ismail. Dua film sebelumnya juga masih berkaitan dengan terorisme, yakni Prison and Paradise dan Jihad Selfie. Film tersebut ditayangkan sebagai salah satu film dalam Festival Film Madani di Jakarta pada 17-21 Oktober 2018 bertema "Migration& Displacement".

Dua calon pengantin ini semula adalah pekerja migran Hong Kong dan Singapura. Mereka "mengaji" tentang Islam melalui media sosial dan mendapat suami juga secara daring, bahkan menikah pula secara daring. Penonton bisa melihat betapa mereka cukup rentan terpapar jaringan radikal karena interaksi di media sosial dengan pemahaman yang rendah terhadap agama.

Namun, dalam film ini, Noor Huda tak hanya menampilkan sisi dua perempuan yang membanting tulang ke negeri orang dan terjebak dalam lingkaran gerakan radikal. Ia juga menampilkan kisah Fatma yang juga pekerja migran dan mendapat suami secara daring tapi bisa cukup sukses dan tak terjebak lingkaran terorisme.

Film dokumenter ini memang boleh dikatakan kuat tuturannya, dan menurut pengamat film Ekky Imanjaya, nadanya menggurui. Noor Huda pun mengakui hal itu karena film tersebut ditujukan untuk para pekerja migran. "Karena memang saya putar untuk mbak-mbak ini. Dengan film ini memancing juga banyak cerita permasalahan yang mereka hadapi," ujar Noor Huda dalam sesi diskusi di Universitas Internasional Bina Nusantara, kemarin.

Huda pun mengakui filmnya ini dibuat untuk berbagi, sebagai sarana untuk menyampaikan sesuatu. "Saya sudah menulis di berbagai media massa, tapi kok seperti tidak didengar. Dengan film, baru seperti ada dialog. Saya ini aktivis sosial yang tertarik film."

Selain film ini, Festival Madani memutar film pendek karya Aida Begic, sutradara asal Sarajevo. Film berjudul Never Leave Me itu mengangkat soal Kota Sarajevo dan luka perang masa lalu. Film ini juga mengajak kita melihat nasib anak-anak di pengungsian, di tanah asing yang terusir karena perang di Suriah. Kisah fiksi tentang Isa, Ahmad, dan Motaz yang kehilangan orang tua dalam Never Leave Me didasarkan pada kisah nyata anak-anak Suriah yang mengungsi ke Turki.

Film lain yang diputar dalam festival ini merupakan karya sutradara dari sejumlah negara. Dari Indonesia, ada Pagar Kawat Berduri (1961), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), Mencari Hilal, Bid’ah Cinta, La Tahzan, Haji Backpacker, dan Mata Tertutup. Adapun film dari luar, antara lain, Giraffada (Palestina/Italia/Jerman), Fatima (Prancis/Kanada), My Sweet Pepper Land (Prancis/Jerman/Irak), The Island Funeral (Thailand), dan film penutup Timbuktu (Prancis/Mauritania).

Festival tersebut menyajikan kisah-kisah tentang Islam di berbagai tempat. "Festival ini mengangkat cerita tentang dunia Islam, bukan film Islam," ujar Direktur Festival Krisnadi Yuliawan.

Mereka mengurasi film-film yang mempunyai cerita menarik dengan beragam latar belakang. Festival ini diharapkan menjadi ajang untuk mempercakapkan atau berdialog tentang Islam. "Banyak hal yang bisa dipercakapkan. Dengan film ini pun kita bisa mendialogkan Islam dengan lebih menyenangkan dan santai." DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus