Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Hasiholan Siahaan XIV menyajikan 70 foto mural yang ia potret di berbagai tempat.
Mural tersembunyi membawa pesan moral, sosial, hingga kritik politik.
Hasiholan berharap, dengan dokumentasi itu, karya mural bisa punya umur lebih panjang.
Sebanyak 70 lembar foto tertata rapi di sudut-sudut ruangan Institut Francais Indonesia (IFI) Wijaya, Jakarta, sejak Selasa lalu. Uniknya, semua foto yang tersaji merupakan jepretan mural yang dikumpulkan oleh jurnalis foto Hasiholan Siahaan XIV dari berbagai lokasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto-foto tentang mural itu dikumpulkan dalam sebuah pameran fotografi bertajuk "Le Mystère de Mural". Pameran tersebut dibuka untuk umum sejak Rabu lalu hingga 3 Juni mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tokoh-tokoh nasional menjadi salah satu kategori foto mural yang menarik. Sebagai contoh, foto mural Sukarno yang diambil Hasiholan di sekitar Jakarta Selatan. Mural Sukarno tampak lusuh dengan kelir abu-abu terang dan gelap. Sekilas, mural Sukarno seperti sudah pudar. Namun sosok Sang Proklamator masih sangat mudah dikenali.
Ada pula mural Joko Widodo yang difoto Hasiholan di kawasan Tangerang Selatan. Mural itu lebih berwarna dan segar. Selain itu, foto mural Bunda Teresa yang dijepret Hasiholan di Tangerang tahun lalu menarik untuk disimak. Mural tersebut menggambarkan potret Bunda Teresa yang dibalut kain biru sedang menengadahkan tangan.
Selain tokoh, ada pula mural bertema realis yang menampilkan wajah seseorang sampai hewan dengan wujud asli. Ada pula foto mural dunia yang diambil Hasiholan di Betlehem pada 2018. Mural itu menampilkan gambar seekor burung merpati putih yang membentangkan sayap sembari menggigit daun zaitun. Burung merpati itu digambar sedang memakai rompi anti-peluru. Isu perdamaian di tengah konflik Israel dan Palestina menjadi tema kuat mural tersebut.
Foto mural berjudul "Simbol Perdamaian" karya jurnalis foto Hasiholan Siahaan XIV dalam pameran fotografi "Le Mystère de Mural" di Institut Francais Indonesia (IFI) Wijaya, Jakarta, 4 Mei 2023. TEMPO/ Magang/ Maulana Chaerusahid Pengunjung Pameran Fotografi Mural Hasiholan Siahaan XIV di IFI Wijaya, Jakarta Selatan, Kamis, .
Ada pula mural bertema abstrak yang mengedepankan aspek warna dan goresan ciamik. Tak lupa, tema-tema abstrak nan kekinian menjadi mayoritas foto yang dikumpulkan Hasiholan.
Namun ada satu foto mural yang jadi favorit Hasiholan, yakni lukisan tangan-tangan di Gua Leang-leang di Kecamatan Bantimurung, Maros, Sulawesi Selatan. Lukisan dinding prasejarah itu ditemukan pada 1950. Adapun lukisan cap tangan berlatar warna merah itu diprediksi dibuat pada 45.500 tahun lalu.
Bagi Hasiholan, foto lukisan cap tangan Gua Leang-leang yang ia ambil pada 2011 menjadi awal mulanya ia berburu mural ke berbagai kota di Indonesia. "Hobi bepergian ke luar kota membuat saya terpikir untuk mengoleksi foto mural dinding. Sembari jalan, saya berburu mural," kata Hasiholan ketika dihubungi, Jumat lalu.
Hasiholan bercerita, kebanyakan foto mural yang ia jepret berada jauh dari keramaian. Singkatnya, mural-mural tersebut berada di tembok atau dinding tersembunyi. Seperti di rumah kosong, bekas ruko, sampai dinding gang sempit.
Menurut Hasiholan, lukisan mural yang tersembunyi itu membawa pesan moral dan sosial. Bahkan ada pula yang menyematkan kritik politik. Dari situlah Hasiholan memahami bahwa para pembuat mural itu memang sengaja menghindari ruang publik yang terbuka.
"Karena kritik yang mereka bawa, mereka takut muralnya dihapus petugas," tutur Hasiholan.
Sejumlah karya jurnalis foto Hasiholan Siahaan XIV dalam pameran fotografi "Le Mystère de Mural" di Institut Francais Indonesia (IFI) Wijaya, Jakarta, 4 Mei 2023. TEMPO/ Magang/ Maulana Chaerusahid
Selain itu, lokasi nan tersembunyi menghindari aksi jail dari pembuat mural lain. Maklum, biasanya seniman mural sering menimpa mural lama milik orang lain dengan mural baru.
Dari mural-mural tersebut, Hasiholan membagi seniman mural menjadi tiga bagian, yakni pemural bawah tanah, pemural kuning, dan pemural merah. Pemural bawah tanah adalah seniman yang melukis mural dengan tema kritik sosial dan politik.
Adapun pemural kuning merupakan seniman yang kerap membuat lukisan mural bertema keindahan. Adapun pemural merah merupakan seniman yang melukis mural dengan tema program pemerintah.
Menurut Hasiholan, kualitas pemural Indonesia tak kalah hebat dengan seniman mural internasional. Hanya, karya mural di Tanah Air masih dipandang sebelah mata. Tak sedikit masyarakat yang menganggap mural sebagai bentuk sampah visual.
"Padahal mural itu perdamaian untuk dunia. Itu pesan yang disampaikan."
Sejumlah karya jurnalis foto Hasiholan Siahaan XIV dalam pameran fotografi "Le Mystère de Mural" di Institut Francais Indonesia (IFI) Wijaya, Jakarta, 4 Mei 2023. TEMPO/ Magang/ Maulana Chaerusahid
Karena itu, melalui dokumentasi foto, Hasiholan berharap karya mural bisa punya umur lebih panjang dan bisa dinikmati sisi keindahannya. Harapannya, pesan dan kritik sang seniman bisa dinikmati lebih lama lagi.
"Pendokumentasian membuat sebuah karya mural menjangkau lebih banyak masyarakat dari semua kalangan," tutur Hasiholan.
Kurator pemeran sekaligus pengajar seni rupa dari Universitas Negeri Jakarta, Indro Moerdisuroso, mengatakan, ketimpangan sosial akibat kebijakan politik, ekonomi, lingkungan, dan isu lain sering menjadi ide mural jalanan. Butuh kreativitas tinggi untuk bisa merumuskan sebuah isu menjadi gambar yang unik tapi mudah dipahami.
Tantangan lain, kuasa sang seniman atas tembok atau dinding sangat singkat. Walhasil, para seniman biasanya bekerja dengan secepat mungkin, umumnya pada malam hari, untuk merampungkan muralnya. Belum lagi stigma seniman mural yang kerap dianggap sebagai gangguan ketertiban hingga membuat kesan kumuh pada lingkungan.
Padahal, untuk mengamati sebuah karya mural jalanan diperlukan kearifan. Sebab, jika hanya melihat aspek penampilan, memang bisa diartikan dengan kesan kumuh dan sampah visual. "Namun, jika mencermati isunya, bisa membersihkan kesadaran semua pihak dalam meningkatkan kualitas bernegara."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo