Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Misteri pol pot atau saloth sar

David p. chandler, bekas pejabat hubungan luar negeri as, penulis beberapa buku tentang kamboja, mencoba mengungkapkan siapa pol pot dalam buku terbarunya, brother number one, a political biography of pol pot (westview press, 1992).

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POL Pot adalah nama revolusioner. Saloth Sar adalah nama sebenarnya. Pada tahun 1976, Saloth Sar mengikuti langkah sejumlah pemimpin komunis dunia, termasuk Lenin, Stalin, Tito, dan Ho Chi Minh: mengubah nama asli. Sementara para pemimpin komunis lain mengubah nama untuk mengecoh polisi saat bergerak di bawah tanah, Saloth Sar punya maksud lain. Ia tak perlu sembunyi dari polisi karena ketika itu dialah yang berkuasa. Jadi, mungkin ia mengganti nama untuk menyembunyikan masa lalu dirinya dari bangsa yang akan dipimpinnya. Nama yang dipilihnya cuma nama kebanyakan dalam masyarakat Khmer, dan tak punya arti apa pun. Sebenarnya sudah sejak tahun 1950-an Saloth Sar suka main rahasia-rahasiaan. Pada tahun-tahun pertama ia berkuasa, para pengamat menghabiskan waktu lebih dari setahun untuk mengidentifikasi Pol Pot sebagai bekas guru bernama Saloth Sar, yang menjabat ketua Partai Komunis Kamboja sejak tahun 1960. Baru pada 1979, setelah didepak dari panggung kekuasaan, Pol Pot mengakui bahwa nama aslinya Saloth Sar. Kegelapan identitas Pol Pot menyebabkan kerancuan tanggal kelahiran yang sebenarnya. Siaran radio Korea Utara tahun 1977 (sebelum para pengamat berhasil mengidentifikasi Pol Pot sebagai Saloth Sar) menyebut Pol Pot lahir tahun 1925. Tapi menurut catatan pemerintahan kolonial Perancis di Kamboja, Saloth Sar lahir 25 Mei 1928. Orang tua Saloth Sar asli orang Khmer. Ia lahir di Dusun Presk Sbauv di Provinsi Kompong Thom, 90 km utara Phnom Penh. Pen Saloth, ayahnya, seorang petani kaya pemilik sembilan hektare sawah, sejumlah besar ternak, dan rumah megah untuk ukuran desa. Sok Nem, ibu Saloth Sar, dihormati warga kampungnya karena kedermawanannya. Sar anak kedelapan dari sembilan bersaudara. Cuma lima dari sembilan bersaudara itu bertahan hidup sampai dasawarsa 1990. Yang membedakan keluarga Saloth Sar dengan warga Dusun Presk Sbauv yang lain adalah hubungannya dengan istana kerajaan di Phnom Penh. Meak, seorang sepupu Sar, menjadi penari kerajaan pada tahun 1920-an, dan kemudian menjadi selir raja Khmer Sisowath Monivong. Karena itulah pada tahun 1934 atau 1935, saat Sar berusia 6 tahun, ia dan seorang abangnya dikirim ke Phnom Penh dan tinggal dengan seorang selir raja. Sebelumnya Loth Suong, abang sulung Sar, sudah bekerja di istana sebagai juru tulis. Sar mungkin lebih suka kehidupan di kampung yang bebas, ketimbang dibesarkan oleh kerabat yang sibuk di ibu kota. Tapi sudah menjadi kebiasaan tradisional masyarakat Khmer, kerabat yang kaya ikut membesarkan sanak mereka. Secara tak resmi, Sar diangkat anak oleh Meak, sepupunya yang menjadi selir raja itu. Sar tak pernah menyinggung hubungannya dengan pihak kerajaan atau kehidupannya di lingkungan istana. Ia cuma menekankan asal-usulnya sebagai petani. Sikap ini bisa jadi sesuai dengan citra yang ingin ditampilkannya. Segera setelah tiba di ibu kota, Sar selama beberapa bulan masuk Vat Botum Vaddei, biara Budha dekat istana dan yang disukai keluarga kerajaan. Sebagai anak dusun yang terbiasa bebas, mungkin Sar agak trauma dengan kehidupan disiplin dalam biara, meskipun di situ banyak juga bocah lain yang berkepala licin dan berseragam jubah kuning. Di biara inilah Sar jadi melek huruf Khmer dan mempelajari ajaran Budha. Ironis memang, untuk seorang ateis dan yang sangat anti segala yang berbau asing, periode singkat di biara inilah satu-satunya pendidikan formal yang dijalaninya, di mana bahasa Khmer menjadi bahasa pengantar, dan selebihnya digunakan bahasa Perancis. Menurut abang sulung Sar, Loth Suong, sang adik selagi bocah berwatak baik dan sopan. Selagi di sekolah dasar, Sar tak pernah bertengkar apalagi berkelahi dengan sesama murid. Pendeknya, orang yang bertemu dengan Sar, yang berpribadi tertutup tapi bersifat baik, setelah ia dewasa sulit membayangkan perilaku kejam yang dilakukannya pada tahun 1970-an. Meminjam kalimat Loth Suong, abangnya, "Pot yang dibenci itu tadinya anak yang menyenangkan." Sar tumbuh dewasa di Phnom Penh di tahun 1930-an. Mudah membayangkan hidup Sar ketika itu: dalam lingkungan istana, bermain dekat panggung di malam purnama, di mana saudara sepupunya, sang selir raja, mengajar sejumlah penari wanita, termasuk adik perempuan Sar. Pada masa pemerintahan Raja Monivong itu, para selir dan keluarga kerajaan tinggal di lingkungan istana. Di sisi lain, kehidupan penari istana, kecuali mereka yang kemudian terpilih menjadi selir, adalah kehidupan pengabdian dengan imbalan terbatas: kehidupan seadanya yang menyerupai kehidupan militan komunis yang dilakoni Sar setelah tahun 1953. Tak diketahui kenangan apa yang berkesan pada Sar tentang kehidupan di istana, saat ia naik panggung kekuasaan. Dalam pemerintahan Khmer Merah, kebijaksanaan yang diambilnya mencerminkan kebencian mendalam pada ketidakadilan yang dihadapi masyarakat Kamboja sehari-hari. Bisa jadi yang ada dalam kepala Pol Pot, salah satunya, adalah kehidupan prihatin para penari kerajaan itu tadi. Sebagai bocah yang pernah hidup di lingkungan istana, Sar tentunya mengetahui kebesaran kerajaan Khmer di masa silam. Tak jauh dari rumah Meak di istana, berdiri museum arkeologi Khmer. Di sini tersimpan banyak peninggalan, termasuk yang dari candi megah Angkor Wat, candi yang dibangun tahun 1200 untuk menghormati raja Kamboja. Sar pasti lebih dari sekali bermain ke museum itu. "Jika rakyat kita mampu mendirikan Angkor," kata Pol Pot tahun 1977," kita bisa membuat apa saja." Selagi tumbuh besar, Sar mungkin melihat kesenjangan antara kebesaran Angkor Wat dan bilik-bilik kumuh para penari istana, antara "raja dewa" kerajaan Angkor dan raja tahun 1930-an yang kerap mengenakan seragam militer Perancis, dan yang cuma berkuasa atas beberapa hektare wilayah di luar kompleks istana. GERAKAN NASIONALISME Ketika Saloth Sar mulai masuk sekolah dasar, tiga pemuda Kamboja diberi izin oleh pemerintah kolonial Perancis menerbitkan koran berbahasa Khmer bernama Nagara Vatta (Angkor Wat). Koran semacam ini adalah koran pertama dalam sejarah Kamboja. Nagara Vatta menurunkan laporan kehidupan elite Kamboja, dan dalam editorialnya mengajak bangsa Kamboja untuk "bangkit" dan mengejar kemajuan etnis Cina dan Vietnam yang mendominasi sektor ekonomi Kamboja. Selama tahun 1936-1942, masa hidup koran Nagara Vatta, Saloth Sar belajar di Ecole Miche, sekolah Katolik dekat istana. Tentunya, uang sekolahnya dibayar oleh Meak, saudara sepupunya yang menjadi ibu angkatnya itu. Kebanyakan murid di sana anak-anak birokrat Perancis atau bangsa Vietnam beragama Katolik. Salah seorang di antara mereka mengenang Sar sebagai "anak yang ramah, seperti ibu (angkat)nya". Di sekolah inilah Sar melek bahasa Perancis, berkenalan dengan doktrin Kristen, dan mendapat pendidikan klasikal. Dalam tahun akhir di sekolah dasar ini, sejumlah peristiwa terjadi dan mengubah sejarah Kamboja dan mempengaruhi karier Sar di kemudian hari. Peristiwa pertama, perang Perancis-Thailand tahun 1940-1941. Perancis keok, dan wilayah barat daya Kamboja (Provinsi Battambang dan Siem Reap) diduduki oleh Thailand. Hilangnya banyak wilayah Kamboja ini membuat berang dan sakitnya Raja Monivong, yang lalu menolak berbahasa Perancis sampai akhir hidupnya di tahun 1941. Perancis lalu menunjuk cucu raja, Pangeran Norodom Sihanouk, sebagai raja Kamboja. PINDAH KE KOMPONG CHAM Pangeran Norodom Sihanouk pun menjadi boneka Perancis. Untuk mendukung raja muda ini, Perancis mendirikan sekolah menengah (kolese) di Kompong Cham, kota ketiga terbesar di Kamboja. Sekolah baru ini untuk menggantikan kolese sejenis di Battambang. Kompong Cham, yang ekonominya didominasi oleh kaum Cham (minoritas Cina dan Vietnam), merupakan provinsi paling kosmopolitan di Kerajaan Kamboja. Dua puluh pemuda dari berbagai wilayah Kamboja dipilih untuk duduk di bangku pertama Kolese Norodom Sihanouk pada tahun 1942. Saloth Sar terpilih mewakili Provinsi Kompong Thom. Tak diketahui kapan persisnya Sar pindah ke Kompong Cham. Jadi tak diketahui pula apakah Sar menyaksikan demonstrasi besar anti-Perancis di Phnom Penh, yang menyulut gerakan nasionalisme Kamboja. Demonstrasi itu merupakan peristiwa politik paling penting di Kamboja pada tahun 1940-an. Di Kolese Sihanouk, semua murid dilarang berbahasa lain kecuali Perancis. Mereka belajar sastra, sejarah, matematika, geografi, filsafat, sepak bola, dan bola basket. Juga belajar musik (Sar kebagian menggesek biola) dan bermain drama di panggung. Salah seorang rekan Sar sekelas adalah Khieu Samphan. Sebagai pelajar, Khieu Samphan, yang dikemudian hari menjadi salah satu tokoh Khmer Merah, dikenal cerdas dan ambisius. Sar sendiri dikenang oleh rekan-rekan sekolah itu sebagai siswa yang sedang-sedang saja. "Sikapnya tegas, menyenangkan, dan sangat santun," kata salah seorang bekas pelajar Kolese Sihanouk. Yang lain mengingat Sar sebagai murid yang "banyak berpikir, sedikit bicara". Ada juga yang mengenang kesukaan Sar bermain basket: "Ia bermain bagus, tapi tidak luar biasa." Tampaknya pada masa Kolese Sihanouk itu Sar belum punya ambisi jelas. KEMBALI KE PHNOM PENH Tak diketahui aktivitas Sar pada tahun 1946. Mungkin ia menamatkan pendidikan Kolese Sihanouk pada tahun 1947, karena tahun berikutnya ia mendaftarkan diri di sekolah teknik di Russey Keo, di utara Phnom Penh. Sejumlah rekan sekelas Sar, termasuk Khieu Samphan, masuk sekolah yang lebih bergengsi: Lycee Sisowath. Tak jelas apakah Sar memang sengaja memilih sekolah teknik atau ia, seperti yang dikatakannya tahun 1977, tidak lulus tes masuk perguruan tinggi. Pada tahun 1947 cuma beberapa ribu orang Kamboja yang beruntung mendapat pendidikan formal. Pada tahun 1948 Sar termasuk salah seorang dari 77 mahasiswa yang ikut ujian masuk sistem Lycee. Tahun berikutnya, ia termasuk di antara 100 mahasiswa yang mendapat beasiswa pemerintah untuk belajar ke Perancis. Banyak rekan Sar menempuh jalan sama seperti yang diambil Sar. Tapi kebanyakan di antara mereka berhasil menggondol ijazah dan lebih dikenal orang ketimbang Sar. Tak seorang pun yang mengenal Saloth Sar sebelum tahun 1952 menduga Sar bakal menjadi pemimpin potensial dan sukses dalam profesi apa pun. Di sini kembali masalah seputar kepribadian Saloth Sar menjadi pertanyaan. Apakah ia sengaja tak menonjolkan diri, apakah ia aslinya berotak sedang-sedang saja, ataukah ia memang tak peduli untuk membuat orang terkesan padanya? Teman-teman Sar di sekolah teknik (Ecole Technique) memang bukan asal keluarga petani, tapi kebanyakan dari kelas lebih rendah ketimbang rekan sekolah di Kompong Chom. Yang patut dicatat dari periode sekolah teknik ini, persahabatan Sar dengan Ieng Sary, mahasiswa Lycee Sisowath. Sary, sebelum bertemu Sar, sudah aktif di dunia politik, antara lain aktif mendukung Partai Demokrat Kamboja, organisasi politik pertama di Kamboja yang berorientasi pada masa depan. Tak jelas mengapa Saloth Sar, yang nilai akademisnya biasa-biasa saja, bisa mendapat beasiswa ke Perancis pada tahun 1949. Ada yang berpendapat beasiswa didapat Sar karena ia punya hubungan dengan istana. Tapi ini dibantah oleh abang Sar. Yang lebih mungkin, beasiswa didapat Sar karena persahabatannya dengan Ieng Sary, yang menyebabkan Sar diperhatikan oleh sejumlah tokoh demokrat Kamboja yang mendominasi kementerian pendidikan. Dengan menerima beasiswa, kembali Sar bergabung dengan kalangan elite. Bisa jadi Sar tak begitu ingin meneruskan pendidikan di Perancis. Yang pasti ia tampak gembira dengan prospek perubahan suasana. Bersama 20 rekan penerima beasiswa, Sar berangkat ke Perancis dengan kapal S.S. Jamaique dari Saigon. TAHUN PERTAMA DI PERANCIS Hampir sebulan lamanya kapal Jamaique berlayar melalui Samudra Hindia dan Laut Merah. Dari 21 mahasiswa Kamboja itu, cuma 2 orang berusia lebih dari 23 tahun, selebihnya di bawah 20 tahun. Semuanya belum berpengalaman ke luar negeri. Inilah petualangan pertama mereka. Lima di antara mereka di kemudian hari menjadi tokoh penting dalam gerakan komunis Kamboja. Periode studi mereka di Perancis bersamaan dengan hari-hari akhir hidup Stalin, tokoh komunis yang saat itu begitu dipuja orang. Partai komunis di Perancis termasuk yang paling pro-Stalin di Eropa Barat, saat itu. Periode itu juga bersamaan dengan kemenangan komunis di Cina. Bagi banyak pemuda Khmer dan jutaan pemuda lain di Perancis, komunisme menjadi semacam arus untuk masa depan. Selama perjalanan laut, tak mungkin para pemuda Kamboja itu banyak berpikir soal politik. Kebanyakan di antara mereka pendukung kubu Demokrat di tanah air. Yang mereka pikirkan bukan masa depan Kamboja, melainkan masa depan dirinya sendiri. Bagaimana sih sebenarnya Perancis itu, begitu mereka saling bertanya. Apa yang akan terjadi pada kita? Tidak seperti teman-temannya, Saloth Sar sudah terbiasa berpindah-pindah tempat tinggal beberapa kali. Karena itu, dialah yang paling tenang, lebih percaya diri, dan tak begitu rindu kampung halaman, ketimbang yang lain. Saloth Sar di Paris, seperti mahasiswa Kamboja lainnya, menyewa kamar di paviliun Indocina di Cite Universitaire, sebuah kompleks asrama mahasiswa di pinggiran selatan Paris. "Pada tahun pertama," kata Pol Pot pada tahun 1978, "saya belajar cukup keras. Saya mahasiswa yang baik." Sar tinggal tiga tahun di Paris. Selain kuliah, ia pun mengikuti sejumlah kursus radio-listrik. Bagi Sar tampaknya karier akademis tak begitu penting. Ia tak ikut ujian. Hasilnya, beasiswanya dicabut. Saat pulang ke tanah air, Desember 1952, ia tak menggondol gelar formal apa pun. Yang patut dicatat dalam periode Paris ini, Sar menjadi anggota Partai Komunis Perancis. Mungkin ini terjadi pada tahun 1952. Saat kembali ke Kamboja, Sar bergabung dengan pejuang komunis anti-Perancis. Ia masuk dan menjadi anggota Partai Komunis Indocina, karena saat itu belum ada Partai Komunis Kamboja. Hubungan Sar dengan komunis Vietnam ini mewarnai kehidupan Sar selanjutnya. Hubungan dan persahabatan Sar dengan mahasiswa Kamboja yang belajar di Perancis juga berpengaruh dalam kariernya. Terutama dengan orang radikal seperti Thiounn Mumm. Juga dengan Ieng Sary, sahabatnya sejak di tanah air. Paris lebih dari satu abad dikenal sebagai pusat intelektual. Pada tahun 1949, artis, politikus, pengarang, filsuf, musikus campur aduk di sekolah-sekolah eksistensialisme, pasca-impresionalisme, Gaullisme, komunisme, misalnya. Perkembangan baru dalam bidang-bidang itu membuat daya tarik Paris, dengan tradisi liberal dan pemikiran revolusionernya, begitu kuat di mata kaum muda yang berkutat dalam studi. Partai politik dan koran yang menjadi kaki tangannya tumbuh subur dengan spektrum ideologinya. Debat ideologis hidup subur. Untuk mahasiswa segenerasi Saloth Sar, awal tahun 1950-an di Paris penuh dengan diskusi politik, kesenian, filsafat antara sesama teman sampai larut malam. Pada tahun 1951. Sar sudah kepincut komunisme, dan optimis tentang potensi gerakan komunis. Saloth Sar tak pernah meninggalkan keyakinan komunismenya dan tak sekali pun menyesali keputusannya menjadi seorang komunis. Di Perancis Sar sering merasa kesepian. Meski fasih berbahasa Perancis, ia tak punya hubungan dengan negara itu. Tak seperti banyak rekannya yang mengawini perempuan Perancis, Sar tak banyak berusaha untuk berasimilasi. Kebanyakan temannya orang Khemer. Bisa jadi, di lingkungan asing inilah perasaan kebangsaan Sar menjadi lebih kuat ketimbang saat di tanah air. Aksi pertama Sar di Paris -- agak mengejukkan -- bersifat petualangan. Dalam liburan musim panas tahun 1950, bersama 17 sukarelawan Kambodja dan Perancis lainnya, Sar menyumbangkan tenaga di negara komunis Yogoslavia yang saat itu baru memutuskan persekutuannya dengan Uni Soviet. Langkah Sar menunjukkan saat itu ia belum menjadi anggota Partai Komunis Perancis yang dikenal sangat pro-Stalin. Menjadi sukarelawan mungkin menyenangkan untuk melewatkan liburan musim panas. Apapun motifnya, kenyataannya Saloth Sar selama sebulan menjadi buruh di Yogoslavia. Kesan Saloth Sar di Yogoslavia mungkin senada dengan yang dirasakan oleh Ieu Yang, rekannya. Ieu Yang menulis surat ucapan terima kasih pada pejabat Yugo sembari menyebutkan pengalamannya dengan ungkapan-ungkapan kekaguman, dengan kalimat bombastis. "Di mana saja," tulis Yang, "di republik Federal Yugoslavia menjadi tempat kerja besar. Di mana pabrik, jalan rel kereta, dan pengairan dibangun. Upaya ini patut dipuji kerena merupakan kekuatan seluruh rakyatnya yang bersatu di sekeliling pemimpinnya, yang memberi kesempatan memperoleh kemenangan. "Ketika Sar kembali ke Paris untuk pendaftaran ulang, pelajaran elektro pasti sudah tampak tak relevan lagi setelah apa yang dialaminya di Yugoslavia. Saloth Sar dan para mahasiswa Kamboja lain di Perancis mengikuti perkembangan politik di tanah air. Pada 1950, didorong oleh kemenangan komunis di Cina, Partai Komunis Indocina, mereka memutuskan untuk mendirikan Partai Komunis Laos dan Kamboja. Langkah ini merintis jalan dan menjadi landasan bagi karier panjang Sar di Partai Komunis Kamboja nantinya. Baru setahun kemudian, secara diam-diam, Partai Komunis Indocina secara resmi dipecah tiga. Partai Buruh Vietnam menjadi saudara tua, dan yang muncul ke permukaan secara terbuka. Sedangkan partai Komunis Kamboja dan Laos tetap dirahasiakan. Berbeda dengan anggaran dasar Partai Buruh Vietnam, Partai Komunis Kamboja tak menyebut-nyebut Marx dan Lenin. Orang Kamboja yang ikut bergabung ke dalam organisasi rahasia ini cuma diberi tahu bahwa tujuan kelompok ini untuk mengusir penjajah Perancis dari bumi Indocina. Agenda komunis jangka panjangnya sengaja tak ditonjolkan. Sementara itu Ieng Sary sudah menyusul Sar di Perancis. Sebelumnya, selagi di tanah air, Sary terlibat aksi mogok mahasiswa di Lycee Sisowath. Oleh Sary, Sar dikenalkan dengan Keng Vannsak, yang dianggap sebagai mentor Sary. Vannsak akhirnya juga menolong Sar, antara lain menolong mencarikan tempat tinggal baru bagi Sar. Sar tinggal di apartemen itu sampai saat pulang ke tanah air. Menurut Vannsak, yang sering bertemu Sar di Paris, Saloth Sar melewatkan banyak waktunya selama di Paris dengan membaca. Juga senang nonton bioskop. Tak diketahui apa saja yang dibaca Sar atau dengan siapa ia nonton. Yang pasti, Sar tertarik pada sastra Perancis. Sudah ketika menjadi guru di Phnom Penh, ia hafal banyak karya penyair ternama Perancis abad ke-19 (Victor Hugo, Arthur Rimbaud, Verlaine, Vigny) di luar kepala. Kemampuannya ini membuat kagum murid-muridnya. Salah seorang pengarang favorit Sar adalah filsuf abad ke-18, Jean-Jacques Rousseau. Mungkin menarik jika diketahui pengarang siapa lagi yang mempengaruhi Sar. Namun ia tak pernah menyebut seorang pun, kecuali tulisan Mao Zedong, setelah Mao meninggal. Kuat dugaan, pada tahun 1952, Sar membaca -- dan yang kemudian mempengaruhi pemikirannya -- koran-koran terbitan Partai Komunis Perancis: Lihumanite, Les Cahiers de Communisme, dan sebagainya. Ia juga akrab dengan tulisan Stalin, khususnya Sejarah Partai Komunis Uni Soviet yang saat itu luas beredar. Pada 1951, Sar bertemu dengan istri pertamanya, Khiu Ponnary, yang datang ke Perancis dengan adik perempuannya, Khieu Thirith. Ponnary belajar sastra Khmer, dan adiknya sastra Inggris. Thirith kemudian kawin dengan Ieng Sary. Segera setelah tiba di Perancis Ieng Sary membentuk kelompok politik. Pada awal tahun 1951, sejumlah pemuda Kamboja berkumpul di apartemen Vannsak, membahas ajaran-ajaran Marx. Saloth Sar berpartisipasi dalam kelompok itu karena persahabatannya dengan sejumlah tokoh radikal. Pierre Brocheux, anggota Partai Komunis Perancis yang mengenal banyak mahasiswa Kamboja di Cite Universitaire, menyebut kelompok diskusi itu sebuah "lingkar luar" aktivitas komunis. Maksudnya, kelompok itu diawasi partai, meski bukan organ partai. Diskusi umumnya dipimpin oleh Ieng Sary. Biasanya menggunakan bahasa campuran Perancis-Khmer. Mengenai partisipasi Saloth Sar dalam kelompok diskusi itu, ada silang pendapat. Pada tahun 1980, setelah Pol Pot diidentifikasi sebagai Saloth Sar, Vannsak mengatakan bahwa Sar secara tak tetap ikut dalam diskusi itu, tapi jarang tampil ke muka, dan tak meninggalkan kesan apa pun pada sesama rekannya. Namun, pada tahun 1975-1976 (sebelum diketahui bahwa Perdana Menteri Pol Pot sebenarnya Saloth Sar), ada sumber yang bicara pada wartawan Francois Debre. Sumber yang juga ikut dalam kelompok diskusi itu mengenang Saloth Sar sebagai "pemuda yang paling cerdas, yang paling meyakinkan. Dan dialah yang menghidupkan acara debat dan dikenang oleh muka-muka baru dalam kelompok diskusi." Sumber Debre itu mengutip ucapan-ucapan Sar dalam kelompok diskusi: "Tanpa partai yang kuat dan tanpa pengarahan kuat partai, tak ada teori yang dapat diterapkan, dan musuh sosialisme bakal mengambil untung dari suasana seperti itu untuk mengganti kepemimpinan." Kalimat yang mungkin ditemukan Sar dalam buku Stalin Sejarah Partai Komunis Uni Soviet. Konon, Sar melanjutkan dengan: "Saya akan mengarahkan organisasi revolusioner. Saya akan menjadi sekjennya. Saya akan mengontrol kementerian, dan saya juga akan mengawasi agar mereka tidak melenceng dari garis yang sudah ditetapkan oleh Komite Sentral sesuai dengan kepentingan rakyat." Ketika Debre menulis bukunya, baik ia dan sumbernya belum mengetahui siapa Pol Pot sebenarnya. Waktu itu sumber itu menyangka Pol Pot adalah Rath Samoeun, mahasiswa Kamboja yang dikenal radikal. Pada tahun 1952, dengan dukungan Perancis, Pangeran Sihanouk membubarkan kabinet dan parlemen Kamboja dan mulai memerintah dengan dekrit. Itu setelah kubu konservatif kalah dalam pemilu Kamboja. Inilah langkah Sihanouk masuk dalam panggung politik. Sihanouk lalu menjanjikan kemerdekaan Kamboja dalam waktu tiga tahun. Langkah ini jelas tak sesuai dengan rencana Perancis, yang menyangka Sihanouk masih sebagai bonekanya. Kudeta Sihanouk mengilhami tulisan politik pertama Saloth Sar, sebuah esei delapan halaman berjudul "Monarki atau Demokrasi?" Esei ini diterbitkan sebagai isu khusus dalam majalah mahasiswa Khmer, Khmer Nisut, di bawah nama pena Khmer Daom (artinya, asli Khmer). Vannsaklah yang sibuk mencetak artikel ini untuk memprotes aksi Sihanouk di Phnom Penh. Khmer Daom menuding Sihanouk sebagai raja absolut yang merupakan "orang yang tak berbuat apa pun untuk mendapat penghasilan kecuali mengeksploitasi mayoritas rakyatnya di tiap tingkatan. Kerajaan merupakan doktrin yang tak adil, yang harus dilenyapkan." Saat menulis esei itu, Sar tak lagi berstatus mahasiswa. Seperti yang diceritakan Pol Pot pada tahun 1978: "Saya menelantarkan studi, dan pemerintah mencabut beasiswa saya." Pemerintah membantah bahwa pencabutan itu berkaitan dengan aktivitas politik Sar. Tapi ada banyak mahasiswa yang dicabut beasiswanya karena aktivitas politiknya, termasuk Ieng Sary, yang melanjutkan hidup di Perancis dengan duit pinjaman. Setelah menerbitkan esei itu, Sar masih tinggal lima bulan di Paris. Namun, masih menjadi pertanyaan, motivasi Sar bergabung dengan partai komunis. Dalam tahun-tahun sebelumnya, Sar belum terlibat aktivitas politik. Eseinya dalam Khmer Nisut menunjukkan ketidaksistematisan penulisan, dan tidak seperti sesama rekan mahasiswa lain, Sar tak banyak berpengaruh pada lingkungan mahasiswa. Yang tampaknya menarik Sar pada partai adalah struktur organisasinya yang memungkinkan orang yang loyal menanjak di dalamnya. Untuk selanjutnya, meski partai tempat ia mengabdi berubah nama atau "menghilang", Saloth Sar tetap tinggal sebagai seorang pengabdi komunisme. SETELAH VIETNAM MENYERBU RATUSAN ribu rakyat Kamboja pontang-panting menghadapi serbuan Vietnam. Hanya sejumlah kecil yang berhasil menyelamatkan diri, seperti halnya Pol Pot. Ketika pasukan Vietnam merangsek ke jalan-jalan dan menduduki kota-kota, lebih dari 30.000 pasukan Khmer Merah (waktu itu bernama resmi Kamboja Demokratik) ditambah sekitar 100.000 gabungan petani dan para wajib militer, terpaksa mundur masuk hutan di sebelah barat laut. Korban eksodus yang jumlahnya ribuan itu banyak yang tidak selamat. Bukan hanya karena perang, juga karena malaria dan kelaparan. Menjelang tahun 1979, hutan basis mereka itu memang sarang malaria. Ketika itu keberadaan Pol Pot sendiri sepanjang tahun itu tak seorang pun yang mengetahui. Sementara itu, kekacauan jenis lain, setelah penyerbuan itu, muncul. Para kader komunis yang berhasil melarikan diri dari desa-desa mereka ada yang segera bergabung dengan pasukan yang mengundurkan diri. Atau mereka bekerja di mana saja. Yang tak segera melarikan diri bisa diburu penduduk yang marah. Sementara itu, orang-orang segera mencari kerabat yang terpisah, mereka segera mencari tempat tinggal. Namun banyak sekali yang terkecoh desas-desus makmurnya Thailand. Situasi yang kacau juga menyebabkan panen telantar, dan panen tahun 1979 praktis gagal. Kelaparan segera menyergap beberapa daerah. Phnom Penh segera dibikin Vietnam sebagai pusat pemerintahan boneka Kamboja, yang disebut Republik Rakyat Kamboja. Jajaran petinggi negara boneka ini terdiri dari para kader Kamboja Demokratik yang dulu melarikan diri ke Vietnam (1977-1978), dan mereka yang sudah mengungsi sejak tahun 1950-an. Namun, beberapa tahun kemudian orang-orang nonkomunis yang selamat dalam era Pol Pot juga diberi kursi dalam pemerintah. Hingga tahun 1989, rezim ini diperkuat dengan 200.000 pasukan Vietnam, dan diawasi ketat oleh para kader Vietnam. Rakyat Kamboja seakan lumpuh, ketika Vietnam mengambil alih seluruh kekuasaan. Pol Pot baru muncul dari persembunyiannya menjelang akhir tahun 1979. Ia bersedia dipotret di sebuah kamp pertahanan di sebelah timur Thailand. Ia tinggal di situ sepanjang tahun 1980-an. Kamp itu pada tahun 1990 dikenal dengan nama Kantor 87, mengikuti nama sandi "870" yang secara resmi ditetapkan sebagai komite sentral. Ada kalanya Pol Pot memindahkan kantor pusat masuk ke pedalaman Kamboja. Dari basis-basis itu ia mengawasi bangkitnya kembali pasukan Khmer Merah. Januari 1979, dua pekan setelah Phnom Penh jatuh, Thailand, yang ketakutan diserbu Vietnam, mengadakan perjanjian dengan Cina. Thailand setuju memberikan perlindungan kepada Khmer Merah, yang mendapat sokongan senjata dan peralatan dari Cina, jika negara Tirai Bambu itu bersedia menurunkan bantuannya kepada Partai Komunis Thailand yang bertahun-tahun bergerilya mengganggu angkatan bersenjata Thailand. AS, yang menjadi rekan Cina dalam mempengaruhi kebijaksanaan politik di kawasan Asia, tak ambil peduli dengan persetujuan itu. AS mendukung delegasi Pol Pot di PBB. Hampir semua negara rekan AS maupun Cina, termasuk negara anggota ASEAN, dalam hal ini anti-Vietnam. Bagi Pol Pot, perlindungan terhadap pribadinya maupun dukungan kekuatan pihak luar merupakan kekuatan tersendiri untuk membangun kekuatan militernya, mengorganisasi pendukungnya, untuk merebut kembali kekuasaannya. Menolak bantuan luar negeri di kala ia tak punya basis teritorial sama saja dengan bunuh diri secara politis. Maka ia mengubah pendiriannya: mengorbankan prinsip berdiri di atas kaki sendiri dengan keselamatan hidup. Ini tak dirasakannya terlalu pedih dalam situasi seperti itu karena tujuan dia dan para pelindungnya sama: mendepak Vietnam dari bumi Kamboja. LADANG PEMBANTAIAN ITU Berita-berita tentang kekejaman di Kamboja di masa Khmer Merah sudah meruyak sejak tahun 1977. Francois Ponchaud, seorang misionaris Perancis yang fasih berbahasa Khmer, mengumpulkan laporan pengungsi dan berita radio. Bukunya yang berjudul Cambodia: Year Zero sangat menyentuh dan disambut hangat banyak pembaca, meski banyak pula yang skeptis, menuduh buku itu membantu tujuan antikomunis AS. Baru sesudah tahun 1979, temuan Ponchaud terbukti nyata. Apa yang tertulis di situ menakutkan orang yang pernah berpikir bahwa Kamboja adalah negeri yang aman dan mempesona. Sebelum tahun berganti, Pusat Interogasi S-21 di masa Khmer Merah dibuka menjadi Museum Pembasmian Etnis. Sejak itu masalah makin jelas: Revolusi Kamboja merupakan petaka dengan secuil warisan dan jutaan korbannya. Tidak diragukan bahwa Pol Pot mengetahui adanya S-21 dan memonitor perkembangannya. Ia mungkin mendapat informasi tentang pembunuhan-pembunuhan itu, tentang wabah kurang gizi, tentang kondisi yang menghebohkan di negaranya. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, sebagai pemimpin perang Pol Pot melihat sendiri, namun tidak mampu, atau tidak bersedia, merasakan kematian dan penderitaan rakyatnya. Ketika ditanya wartawan berapa jumlah korban yang meninggal akibat kebijaksanaannya, Pol Pot mengelak. Dalam satu kesempatan ia menyebut jumlah korban "beberapa ratus". Di kesempatan lain disebutnya "beberapa ribu". Pengadilan terhadap Pol Pot dan Ieng Sary in absentia, Agustus 1979, menjatuhkan hukuman mati pada dua orang itu. Para aktivis hak asasi manusia di Barat berusaha lebih keras untuk membawa para tertuduh itu ke pengadilan tinggi internasional di Belanda. Tapi pemerintah Thailand tak bersedia menyerahkan Pol Pot. Para pelindungnya, apalagi. Washington dan Beijing lebih tertarik menghukum Vietnam ketimbang mengantarkan Pol Pot ke meja hijau. Untuk sementara Pol Pot menjadi berita sensasi. Beberapa pengamat menilainya sebagai fasis pembantai yang sejajar Hitler. Sementara pengamat lain mencapnya sebagai seorang komunis pembantai seperti Stalin. Akhirnya, pada akhir tahun 1979, nama Pol Pot berkonotasi dengan pemusnah bangsa atau sumber kekacauan. Namun, Pol Pot tetap Pol Pot bagi para pendukungnya. Ia yang paling benar. Pemimpin-pemimpin di Beijing menilai Pol Pot sebagai seorang nasionalis, seorang sekutu, seorang revolusioner. Thailand juga melihat Pol Pot sebagai seorang yang mudah bekerja sama dan seorang militer yang piawai. Meski kemudian Amerika malu setelah film The Killing Fields selesai dibuat tahun 1985, yang menggambarkan kejamnya Khmer Merah. Namun para pelindung kurang berani mendepak Pol Pot. KHMER MERAH YANG TERSEMBUNYI Pada tahun 1981, AS dan sekutunya mendukung gerakan koalisi pemerintah anti-Vietnam yang akan menggantikan, atau menyembunyikan, delegasi Khmer Merah di PBB. Koalisi terbentuk pada pertengahan tahun 1982, yang tentu saja, dilihat dari kekuatan militernya, didominasi oleh kelompok Pol Pot. Anggota yang lain adalah faksi yang dipimpin oleh Pangeran Sihanouk, yang lama hidup di pengasingan di Beijing, dan satu faksi lagi yang dipimpin oleh bekas Perdana Menteri Son Sann yang lama hidup di Perancis. Maka negara Kamboja Demokratik tetap bisa mempertahankan diri sebagai negara yang diakui dunia, dan para diplomatnya tetap bertahan berkantor di PBB. Tapi kelompok tiga faksi itu di lapangan saling memandang rendah. Pasukan Pol Pot pada kenyataannya lebih terampil, punya peralatan lebih bagus, dan motivasiya lebih terarah ketimbang pasukan yang dipimpin Sihanouk maupun Son Sann. Tapi hingga tahun 1990 mereka belum mampu mengamankan sejengkal pun tanah Kamboja. Mereka selalu terpukul oleh pasukan Vietnam, yang dalam serangan-serangan mendukung pasukan Republik Rakyat Kamboja dari belakang. PENYESALAN YANG BUKAN PENYESALAN Pada bulan Desember 1979 Pol Pot memberikan wawancara kepada beberapa wartawan dari Jepang, Swedia, Cina, dan AS. Namun yang paling menarik adalah laporan empat wartawan Jepang yang menemui Pol Pot dua hari di "kampnya di hutan Kamboja". Yang disampaikan oleh Pol Pot dengan wajah yang sulit tersenyum itu, menurut laporan wartawan Jepang itu, adalah sebuah sikap optimistis. Ia mengelak pasukannya kalah di Kamboja. Katanya, jumlah pasukannya lebih dari 50.000, mereka tersebar bagaikan mata jala menyelimuti Kamboja. Mereka juga telah memukul balik tentara Vietnam. Ketika ditanya soal pembunuhan demi pembunuhan di negaranya ketika ia berkuasa, Pol Pot menjawab, "Hanya beberapa ribu orang Kamboja yang mati. Itu karena kesalahan mereka dalam mengartikan kebijaksanaan kami dalam mengupayakan kehidupan yang makmur bagi rakyat." Lalu tambahnya, Vietnam melemparkan kesalahan pada pundaknya, yakni tentang "jutaan" korban yang meninggal "di tahun-tahun terakhir ini". Dari tahun 1976 hingga 1978, "Ada enam kudeta menentang pemerintah kami. Bila kami tidak menghukum komplotan itu, beberapa ribu orang akan mati,"katanya. Satu-satunya penyesalan yang keluar dari mulut Pol Pot yakni begitu banyaknya duit yang terhambur dalam masa pemerintahannya. Ia juga mengakui, untuk pertama kalinya, nama aslinya adalah Saloth Sar. Beberapa hari kemudian Pol Pot menyambut awak televisi ABC dari Amerika. Ia menggunakan kesempatan itu untuk mencari bantuan mengenyahkan Vietnam dari Kamboja. Vietnam disebutnya sebagai pengibas pemusnah bangsa. Itu tindakan lebih kejam daripada Hitler, katanya. "Hitler membunuh Yahudi dan mereka yang menentangnya. Vietnam membunuh penentang dan orang tak berdosa yang tidak bersedia bergabung," kata Pol Pot. Tak lama kemudian, sesudah pertemuan komite sentral, radio Khmer Merah mengumumkan pensiunnya Pol Pot, dan naiknya Khieu Samphan sebagai perdana menteri. Dan sejak itu Pol Pot tak bersedia diwawancarai maupun dipotret. Tahun 1990, sebuah jaringan televisi Amerika menawarkan US$ 300.000 untuk sebuah wawancara khusus. Pol Pot menolak. Ada sebuah kasus, di awal tahun 1981, setelah sekitar setahun pensiun, Pol Pot pernah berbicara dengan para pendukungnya di Phnom Malai. Seorang yang ikut serta dalam pertemuan itu kemudian diwawancarai pada tahun itu juga. Ceritanya: "Pol Pot berbicara sebagai wakil dari militer. Katanya, ia tahu bahwa banyak orang di negeri ini (Kamboja) membencinya, dan menilainya sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan. Ia mengatakan bahwa ia mengetahui banyak orang mati. Ia hampir jatuh dan menangis ketika mengatakan hal tersebut. Ia juga mengatakan bahwa ia harus menerima tanggung jawab itu karena barisan tampaknya terlalu bergerak ke kiri, dan karena ia tak bisa mengambil jalur yang layak untuk mengontrolnya. Ia bagaikan seorang kepala keluarga yang tidak mengetahui kemauan anak-anaknya. Ia sangat percaya kepada mereka: membiarkan (Chhim Samauk) memperhatikan urusan komite sentral, (Savan) memperhatikan kelompok intelektual, dan (Sao Phim) urusan pendidikan politik.... Orang-orang ini sangat dekat dengannya. Mereka mendapatkan kepercayaannya secara penuh. Namun pada akhirnya mereka membuat semuanya berantakan. Seharusnya mereka mengatakan tidak benar. Yang dikatakan selalu baik. Orang ini atau itu adalah pengkhianat. Pada akhirnya justru merekalah pengkhianat sebenarnya. Masalah yang utama adalah adanya kaderisasi dari pihak Vietnam." Dalam penampilan itu Pol Pot sangat bagus. Penyesalan dengan tetesan air mata itu meyakinkan orang yang mendengarkannya, tapi tampaknya tak cukup kuat untuk dijadikan alasan buat dia sendiri untuk meninggalkan politik. Mungkin saja itu sebuah penyesalan yang tulus. Toh ia masih saja mengatakan keheranannya, mengapa begitu banyak orang terkena tipu, dan begitu banyak yang tetap tinggal di kantor. Sulit dicerna penyesalan seperti itu. POL POT MENGHILANG Sejak tahun 1981 hingga akhir tahun 1986 Pol Pot menghilang dari segala bentuk pemberitaan. Tak ada tulisan maupun pernyataan tentang dirinya. Anekdot pun tak muncul. Kecuali sebuah isu bahwa ia terbaring di sebuah rumah sakit di Cina pada tahun 1985. Isu itu tersebar di mana-mana, juga di Thailand, bahwa ia sakit keras. Padahal, yang diketahui orang, Pol Pot selalu berada di kampnya yang selalu dijaga sangat ketat. Pekerjaannya tetap saja, menyiapkan pasukan, dari gerilyawan hingga menjadi angkatan bersenjata yang besar. Hingga tahun 1985, kabarnya Pol Pot tetap mengomandoi langsung pasukannya, meski pada waktu itu ada pengumuman tentang pengunduran dirinya. Kabarnya, ia menjadi seorang direktur sebuah institut pertahanan nasional -- tak seorang pun tahu institut macam apa ini. Sementara itu, ia tetap membingungkan dan ditakuti lawan-lawannya. Kehadirannya malah dimistikkan oleh legenda Kamboja. Konon, ia bisa menghilang atau muncul di berbagai tempat dan waktu. Bagaikan pahlawan legenda Kamboja. Pada tahun 1980-an, hampir semua orang Kamboja berusia di atas 20 tahun ketakutan bila Pol Pot berkuasa kembali. Semuanya takut. Ia "kembali" di Kamboja lewat jalan yang tak terduga: para gerilyawan yang menjarah di malam hari, dan ledakan ranjau. Ranjau sebesar buah apel bikinan Cina itu hanya berbunyi "klik" ketika terinjak kaki. Begitu kaki diangkat, selesailah semuanya. Ledakan yang keras meluluhlantakkan tubuh. Ribuan musuh Pol Pot, serdadu, petani, wanita, dan anak-anak menjadi serpihan. Meski yang ditargetkan, katanya, adalah orang Vietnam. Sepanjang tahun-tahun itu Pol Pot menghabiskan waktunya dengan para pendukungnya. Ia terlindung dari segala macam berita buruk. Meski ada tiga kejadian penting dalam kehidupan pribadinya. Istrinya, Khieu Ponnary, menderita stress berat dan dirawat di rumah sakit di Beijing pada awal tahun 1987. Pol Pot lalu menikah lagi, atas persetujuan istrinya. Istri barunya berusia 30-an tahun, bernama Sar (putih) -- seperti nama dirinya itu -- yang pada tahun 1988 memberinya anak perempuan. Keluarga ini tinggal di Kantor 87. Pol Pot, menurut lacakan para penyelidik, sangat menyayangi putri ciliknya itu. Ketidakjelasan seputar Pol Pot sedikit tersingkap pada tahun 1988, ketika dokumen setebal 39 halaman yang disiapkan bulan Desember 1986 diselundupkan dari kamp Khmer Merah, dan jatuh ke tangan kedutaan besar AS di Bangkok. Isinya tentang pengaderan partai, sejarah Khmer Merah, dan yang banyak analisa "kemenangan dan kesalahan". Meskipun dokumen itu tidak bernama, diduga kuat penulisnya adalah Pol Pot. Sejarah singkat Khmer Merah menurut Pol Pot sedikit mencengangkan. Ulasan untuk merasionalkan kekalahan diungkapkan bagus sekali. Hampir seluruh isi dokumen menyerang pandangan "beberapa" pihak -- pihak yang mana tidak dijelaskan. Bahwa kekuatan di luar Khmer Merah ada yang melanggar hak asasi manusia, jelas diungkapkan. Menjelang tahun 1986, diingatkan oleh Pol Pot bahwa kelompok nonkomunis telah menikmati dukungan para pengungsi yang ada di luar negeri dan di kamp Thailand. Dicatat oleh Pol Pot bahwa pada tahun 1975 Khmer Merah "untuk pertama kalinya dalam dua ribu tahun sejarah manusia, dari pedalaman mengambil kekuasaan negara". Ini belum pernah terjadi "sejak Revolusi Perancis". Seandainya dokumen yang ditemukan itu bisa dijadikan panduan, kelompok usia para pengikut Pol Pot adalah mereka yang berusia antara 20-an hingga 30-an tahun. Mereka kebanyakan miskin, pernah menjadi serdadu di tahun 1970-an. Pol Pot sendiri tak berbicara tentang dirinya sendiri. Namun semua orang mengerti apa maksud tulisannya, bahwa "dari atas ke bawah kita agak berlebihan". Tujuh tahun berikutnya, tak ada waktu lagi untuk menyatakan penyesalan. Sebab, "Dalam sejarah dunia tak pernah ada sebuah negara yang tidak membuat kesalahan." Sementara itu, Vietnam mencoba mencari jalan memperbaiki ekonominya, serta mengurangi sumber dana pertahanan. Akhirnya para pemimpinnya berharap agar penarikan pasukannya dari Kamboja akan melunakkan hubungan yang tegang dengan AS. Memang jumlah pasukan Vietnam di Kamboja mulai dikurangi. September 1989, 80.000 pasukannya secara resmi ditarik. Penarikan ini, ironisnya, menguatkan Phnom Penh. Rezim Phnom Penh dengan hati-hati meluluskan tuntutan dari masyarakat agar menciptakan suasana rileks. Yakni dalam kontrol ekonomi dan peribadatan. Dekat sebelum penarikan tentara Vietnam, orang Kamboja diperbolehkan jual-beli rumah dan tanah, dan Budha dinyatakan sebagai agama negara. Di sisi lain, penarikan tentara Vietnam dari Kamboja mendorong gerilyawan koalisi tiga faksi merebut Pailin, untuk mendirikan basis ekonomi. Tahun 1990 cita-cita itu terlaksana. Kehidupan ekonomi di wilayah itu pun berkembang. Bisnis batu mulia dari Thailand sepanjang perbatasan membaik. Begitu pula timah maupun hasil hutan. Pada tahun 1992, faksi Khmer Merah diduga mengadakan perjanjian dengan para penanam modal asing yang bernilai lebih dari US$ 100 juta, yang membuat faksi ini makin kuat keuangannya. Para pemimpinnya meneruskan bisnis ini dengan para wiraswasta Thailand di sepanjang perbatasan. Sedangkan militer Thailand tetap mendukung Khmer Merah. Sementara itu, para negosiator mulai mendapatkan tekanan dari Perancis, Australia, dan Indonesia, yang ingin segera memecahkan jalan buntu yang dibuat oleh Cina, Thailand, dan AS. Pada tahun 1987-1991, beberapa konperensi dan pertemuan dilaksanakan anggota faksi-faksi bertempat di Perancis, Thailand, dan Indonesia. Khmer Merah membuang benderanya dan menyisihkan lagu kebangsaannya. Republik Rakyat Kamboja mengubah namanya menjadi Negara Kamboja dan mengganti benderanya. Anggota tetap Dewan Keamanan PBB berjanji memberikan dukungan untuk tercapainya kompromi politik. Dan PBB menawarkan sebuah tim ke Kamboja untuk mengawasi masa peralihan sampai tercapainya bentuk pemerintahan yang dikehendaki. Pada tahun 1991 sebuah dewan nasional tertinggi untuk Kamboja dibentuk dengan anggota terdiri dari tiga faksi koalisi dan rezim Phnom Penh. Perjanjian Keamanan Kamboja yang ditandatangani di Paris bulan Oktober 1991 menyepakati gencatan senjata dan lain-lain. Sementara itu Pol Pot dikabarkan optimistis, "lancar dan bersih", dan tidak bingung. SETELAH 1988 Jejak Pol Pot masih saja diburu wartawan. Isu yang berkembang sejak tahun 1988 antara lain mengatakan Pol Pot terlihat sedang menggendong putrinya, sedang menggeletak di rumah sakit di Beijing, atau sedang bepergian ke basis-basis militernya dengan mobil berjendela hitam. Segala cara yang ditempuh wartawan untuk mendekati ke Pol Pot gagal. Sebuah potret keluarga yang secara kebetulan dilihat di sebuah kios foto di Beijing tahun 1989 memperlihatkan rambut Pol Pot lebih putih dibandingkan dengan ketika potret yang diambil sepuluh tahun sebelumnya. Laporan para penyelidik pada tahun 1989-1990 menyebutkan bahwa gagasan Pol Pot tentang Kamboja, tentang dirinya sendiri, tentang faksinya yang akan kembali merebut kekuasaan, tetap tak berubah. Modus operandinya, konon, sesempurna pada tahun 1950-an. Untuk mengerti Pol Pot pada awal tahun 1990-an, penting mengulang kembali bahwa ia telah memberikan pelajaran dalam 35 tahun tak pernah berhenti. Para penyelidik juga menggambarkan bahwa kantor pusat Pol Pot, Kantor 87, adalah suatu kamp tertutup berbentuk oval beberapa kilometer di pedalaman Thailand dekat Kota Trat. Luas kawasan itu sekitar 300 x 500 meter, dikelilingi pagar kawat berduri, dijaga lebih dari seratus serdadu Kamboja. Jalan menuju ke sana dijaga oleh pasukan Thai. Kamp tertutup itu terdiri dari sebuah rumah untuk Pol Pot, satu lagi untuk istri dan putrinya, enam barak ruang tamu siswa, satu bangunan dapur, dan kafetaria. Beberapa pondok kecil untuk para penjaga mengelilingi rumah Pol Pot. Kamp tertutup ini mirip rumah seorang biksu. Tempat kursus mirip "pertapaan" dari agama Budha. Boleh dikata Pol Pot bagaikan "rahib hutan" yang cakap bermeditasi. Secara berkala "Kakek 87" -- begitu sebutan Pol Pot kemudian -- memberikan kursus kepada para komandan batalyon, brigade, dan divisi. Kursus itu berlangsung 14 hari. Para siswa belajar delapan jam di kelas, mereka juga diwajibkan belajar lima jam lagi untuk diskusi politik setiap petang. Kursus itu diakhiri dengan dua hari berpesta di kafetaria, sebelum para siswa kembali ke pasukan masing-masing. Dalam kursus itu, pemimpin teras Khmer Merah, termasuk Son Sen, Ta Mok, Khieu Samphan, dan Non Chea, memberikan kuliah sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Pol Pot adalah guru favorit mereka semua. "Ia lucu dan hangat kepada para siswa. Ia memberikan kuliah tanpa catatan," kata seorang siswanya. Dalam kuliahnya Pol Pot berbicara tentang berkuasa kembalinya Khmer Merah. Ia juga mengusulkan suatu siasat beberapa bulan mendatang. Menurut Pol Pot siasat selalu bergerak dari politik ke militer dan berputar kembali. Metode mengajar Pol Pot dari masalah umum ke detail, tanya-jawab model Socrates. Misalnya, tiba-tiba ia bertanya, "Bagaimana caranya agar kita dicintai rakyat?" Beberapa komandan brigade dan batalyon memberikan jawaban, caranya antara lain dengan menunjukkan betapa faksi lain korupsi dan memperlihatkan betapa patriotisnya Khmer Merah. Yang lain berpendapat, kuncinya adalah di ekonomi.... Namun Pol Pot tetap menggelengkan kepalanya, tidak puas dengan jawaban-jawaban tadi. Kemudian ada seorang komandan batalyon yang duduk di jajaran paling belakang mengacungkan tangannya menjawab. "Kita harus menempatkan diri sederajat dengan mereka, seperti orang yang termiskin, maka orang-orang akan mendatangi kita dan mencintai kita". "Ya," teriak Pak Guru, senang bahwa siswa itu menjawab tepat. Pol Pot, konon, tak lagi menyebut-nyebut Marx, Lenin, Stalin, maupun Mao. Juga kata partai, sosialisme, atau revolusi tak lagi terdengar ia ucapkan. Yang lebih penting, menurut Pol Pot, adalah bagaimana melahirkan kembali Kamboja untuk masuk kawasan Asia Tenggara pada tahun 1990-an atau sesudahnya. Kawan maupun lawan bisa berubah, namun dunia tetap sama, dunia tahun 1960-an dan 1970-an. Visi Pol Pot tentang dunia sama saja dengan kekuatan baik dan buruk yang merupakan bagian dari ajaran Budha. Indoktrinasinya sederhana dan retorikal. Referensinya tidak tertulis dalam buku. Pol Pot hanya berpikir tentang Kamboja dan bagaimana memperbaiki gagasannya. Sangat disiplin, sedikit waktu untuk istirahat, tepat waktu, bersedia dikritik. Para komandan brigade dan batalyon diharapkan menyampaikan penyegaran ini ke unit di bawahnya, juga ke warga desa-desa Kamboja hingga revolusi berhasil. Dan rakyat kuat menahan serangan. Ada lagi kesaksian seseorang bagaimana Pol Pot mampu menghanyutkan para pendengar ceramahnya. "Pol Pot membuat orang sangat terkesan pada saat pertama, sesudah itu mereka ingin datang kembali. Siapa saja yang hadir dalam seminarnya merasa disegarkan oleh kuliahnya, penjelasannya, dan visinya. Ia bagaikan ayah bagi kita semua. Setiap orang ingin memberikan beberapa tahun hidupnya agar ia bisa hidup lebih lama," katanya. Dua tahun kemudian Pol Pot berbicara lebih mendalam tentang perannya selanjutnya. "Saya sekarang sudah tua dan cacat. Saya tahu bahwa orang di Kamboja takut dengan saya. Maka, bila kita telah bebas dari Vietnam dan aman, saya akan pensiun bila diinginkan oleh para kamerad. Tapi bila sekarang para kamerad tidak dapat mengusir Vietnam, bagaimana saya bisa berdiam diri? Saya harus membagi pengalaman dan pengetahuan saya dengan kalian. Bila Vietnam pergi dan kita berhasil mempertahankan negara kita..., saya akan pensiun. Dan bila saya mati, saya akan mati dengan tenang...." Ketika Pol Pot berbicara, begitu banyak siswa yang mencucurkan air mata. Sedangkan yang lain bersumpah untuk melanjutkan perjuangannya hingga mati untuk mewujudkan cita-cita Pol Pot. Pada akhir tahun 1991, Pol Pot tetap sebagai komandan Khmer Merah. Bahwa ia mengundurkan diri hanya sebagai siasat seperlunya. Di mata pendukungnya, ia tetap "Kakak Nomor Satu".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus