GANESA tampil keren. Dalam foto tiga perempat badan, putra Syiwa yang berwajah gajah dan bertangan empat itu tampak anggun, artistik, dengan guratan kasar keemasan. Fotografer Tara Sosrowardoyo berhasil menyajikan sosok patung batu Ganesa yang berabad usianya itu sehingga tampak lebih indah dari tampang aslinya di salah satu sudut Museum Nasional Jakarta. Gambar Ganesa itu hanyalah salah satu dari sekitar 160 foto indah yang menghiasi buku Pusaka Art of Indonesia. Buku berukuran 25 x 32 cm dengan cetakan mewah itu diluncurkan ke pasar Senin pekan lalu, ditandai dengan upacara penyerahan buku dari Menteri Sosial Haryati Soebadio kepada Nyonya Tien Soeharto di Museum Nasional. Dari bentuk kemasannya, Pusaka Art of Indonesia ini dapat digolongkan sebagai coffee table book, buku yang lazim untuk hiasan meja. Selain memberi kesan mewah, buku itu memang sarat dengan gambar-gambar menawan. Tapi isi teksnya tak bisa dianggap enteng. Arkeolog senior, seperti Prof. Edi Sedyawati, Bambang Sumadio, R. Soekmono, antropolog Suwati Kartiwa, termasuk dalam deretan penulisnya. Prof. Haryati Soebadio menjadi editor. Buku ini mengetengahkan benda-benda bersejarah, yang memiliki bobot seni tinggi, koleksi Museum Gajah. Foto-fotonya digelar dan menyita sebagian besar dari 240 halamannya. Para penulis "membingkai" foto-foto itu dengan latar belakang sejarah dan ulasan. Walhasil, buku mewah itu tak tergelincir menjadi sekadar katalog koleksi museum. Pusaka Art of Indonesia bukanlah buku pertama yang mengulas benda-benda seni Museum Gajah. Buku serupa pernah diterbitkan oleh Berneth Kempers yang ketika itu menjabat Direktur Museum Nasional akhir 1950-an. Tapi, buku baru ini tak bisa disebut pengulangan. "Banyak koleksi baru yang belum muncul di buku Kempers," kata Edi. Lagi pula, katanya, dalam buku baru itu ada interpretasi-interpretasi baru. Ada lima bagian termasuk pengantar dalam buku ini. D.D. Bintarti, Kepala Departemen Prasejarah Pusat Riset Arkeologi Nasional, menulis bab pertama mengenai masa prasejarah Indonesia. Foto-foto bagian ini sungguh hidup. Di situ ada foto asesori perunggu yang berbentuk badan manusia dengan pola primitif, temuan di Bangkinang, Sumatera Selatan. Lantas ada mata kapak tembaga dari Pulau Roti, Nusa Tenggara Timur. Bagian kedua berbicara tentang candi dan seni tiga dimensi. Arkeolog kawakan R. Soekmono membahas candi, mulai dari sejarah sampai sebarannya. Bagian ini disambung dengan uraian tentang seni tiga dimensi oleh Edi Sedyawati. Kedua arkeolog ini berbicara tentang karya abad ke-5-15. Memang tak ada yang istimewa dari tulisannya. Maklum, seperti diakui oleh Edi Sedyawati, tulisan ini hanya dimaksudkan untuk memperkenalkan khasanah percandian dan seni tiga dimensi untuk awam. Seni tiga dimensi yang dimaksud antara lain patung, makara, termasuk bejana emas bergambar epos Ramayana yang ditemukan petani Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah, tahun 1990. "Sasarannya memang bukan ahli arkeologi atau sejarawan," ujarnya. Namun, kata Edi, peminat sejarah seni bisa memetik manfaat. Dua bab berikutnya menyajikan pemandangan karya seni bersejarah Indonesia yang berasal dari babakan sejarah modern abad ke-16-19. Di sini digelar bermacam benda seni, dari patung kayu bergaya primitif buatan orang Irian sampai senapan model Eropa yang dipakai di Indonesia. Secara umum buku ini memang mengulas serba sepintas tentang proses sejarah benda-benda seni Indonesia. "Kekuatan buku ini pada perwajahannya," ujar Bambang Soemadio, bekas Kepala Direktorat Museum, yang menulis bagian pengantar buku ini. Fotografer kelahiran New York, Tara Sosrowardoyo, ini tak menganggap semua karya di buku itu istimewa. Tara menilai sejumlah fotonya biasa saja, namun tampak cantik di buku. "Karena perancang artistik dan grafisnya piawai," katanya. Rancangan grafis dan artitistik digarap oleh dua orang Perancis yang didatangkan oleh penerbitnya, Archipelago Press. Pusaka Art of Indonesia ini lahir dari kerja sama Archipelago Press dan Museum Nasional. Biayanya sebagian dari sponsor, termasuk Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial, penyelenggara SDSB. Buku ini dijual ke seluruh dunia. Di Indonesia harganya Rp 114 ribu. Putut Trihusodo dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini