BIARPUN tambah gemuk, Arswendo tetap Arswendo. Dia tak berubah. Filsafat hidup dan kesadaran sejarahnya juga masih yang dulu: hidup ini sebuah kejenakaan. Dan Tuhan itu baginya Mahajenaka. Dalam keadaan apa pun, dari sudut itulah dia memandang dunia. Maka, di mana pun "ditaruh", Wendo tetap jenaka, tertawa, dan membuat lingkungan ikut tertawa. Memang cocok dia membidangi dunia lawak. Sejak membuka halaman pertama buku ini, Anda sudah wajib ketawa kecuali bila sakit gigi ketika mendengar ia ngungun (bergumam heran): "Menjadi terdakwa di pengadilan tak ubahnya seperti menjadi pengantin. Diam disangka angkuh. Banyak senyum dituduh tidak serius. Bersikap serius disangka tegang. Bersikap santai disangka meremehkan." Penghayatannya yang intens dan tuntas atas segenap warna hidup di penjara membuat Wendo berkesimpulan: "Penyesalan akan terjadi," katanya, "bila seseorang tak mampu mengubah keadaan yang menyedihkan menjadi sebuah kegembiraan." Sikap jenaka, bagi napi, merupakan cara ampuh untuk membunuh waktu tanpa dia sendiri ikut terbunuh. Bukankah ini "strategi" tiap-tiap napi yang masih tetap mendambakan kebebasannya? Kita pun tak heran bila ketika sebuah "kejenakaan" tiba- tiba merampas kebebasan Wendo dan mengubah total nasibnya dari seorang pemimpin redaksi menjadi napi dia hanya kaget sejenak. Sesudah itu "normal" kembali. Dia membuktikan kenormalan itu dengan karya terbarunya: Menghitung Hari: Hikmah Kebijaksanaan dalam Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan. Buku ini sendiri merupakan salah satu "hikmah" yang diperolehnya setelah mendekam di bui sejak akhir 1990 hingga Agustus 1993. Di buku ini Wendo menyajikan berbagai anekdot yang dapat membuka mata kita tentang kehidupan di "dalam". Sebagian besar dari yang dialaminya sendiri, dan selebihnya hasil nguping kiri-kanan (maklum wartawan), di antara para napi. Banyak kisah yang membuat kita tersenyum karena berhasil menyentuh "urat geli" kita. Tapi tak sedikit yang membuat kita merasa trenyuh, nelangsa, dan prihatin atau iba (tanpa dapat berbuat sesuatu) bahwa hal itu terjadi dan mungkin masih akan terus terjadi, di penjara kita. Efek seperti itu muncul, tentu saja, karena kelihaian Wendo meramu dan mengolahnya menjadi "hidangan" unik sebagaimana kita temukan di buku ini. Sudah tentu ada pula kearifan baru dan tambahan kematangan yang disembunyikan di balik sikapnya yang tetap kebadung-badungan itu. Pilihan subjudul yang dipakai di buku ini: "Hikmah Kebijaksanaan" sudah mengundang senyum kita. Kecuali serius bicara mengenai perkara "hikmah" di balik banyak macam penderitaan yang jauh lebih banyak dari selayaknya ia tentu saja, juga sengaja membuat asosiasi dengan "hikmah kebijak- sanaan", sebagaimana tercantum di Pancasila. Bagaimana kita harus bersikap terhadap buku Wendo yang satu ini? Penerbit sendiri, dalam kata pengantarnya, memberi kita kebebasan memilih apakah sekadar sebagai bacaan pelipur lara, atau sekaligus ingin memetik mutiara hikmah dari apa yang disebut Wendo "hikmah kebijaksanaan" itu. Bila kita harus memperlakukan buku ini sesuai dengan maqom- nya, yang pertama, ia harus dilihat sebagai "keripik" kejenakaan yang enak dimakan di mana saja, dan, yang kedua, buku ini membangkitkan kesadaran mengenai kebrengsekan sistem kepenjaraan kita, sistem hukum tak memihak kaum tertindas. Tentu saja wajar bila karenanya gugatan (biarpun tersembunyi) terdengar satiris: "Katanya Indonesia adil makmur. Di mana adilnya, dan di mana makmurnya?" kata seorang napi. "Saya menjambret jam tangan kena sepuluh bulan, sedang Pak Anu korupsi ratusan juta cuma kena enam bulan." Bukankah praktek macam itu mengundang logika lain yang lebih konyol dan seram, tapi tak mustahil terjadi? Maka, korupsilah besar-besaran dan kau aman. Jangan sekadar menjambret tapi sengsara. Dalam situasi macam ini, lembaga pemasyarakatan mus- tahil menginsafkan para terhukum. Sebaliknya, hampir pasti para terhukum malah belajar lebih canggih dalam tindak kejahatan yang akan dipraktekkan segera setelah lepas. Buku ini, dengan kata lain, bukan hanya berisi perkara enteng seperti keripik humor belaka, melainkan juga "filsafat" dan perenungan yang inspiring. Dan bagi saya ia menjangkau pula wilayah lain: wilayah kesadaran agama kita. Orang yang sok saleh selama ini sering mudah mengobral nasihat: sabar, dan tawakallah. Orang sabar kekasih Tuhan. Bagi Wendo, yang mengerti dan persis merasakan sendiri bagaimana nasib diinjak dan ditindas tanpa dapat membalas hatta dengan ucapan sekalipun semua merupakan kesalehan dan moralitas hampa.Mohamad Sobary
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini