Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Alwi Dahlan, guru besar ilmu komunikasi UI dan mantan Menteri Penerangan, meninggal pada Rabu, 20 Maret 2024.
Dia doktor ilmu komunikasi pertama di Indonesia setelah menempuh studi di Amerika Serikat.
Terus aktif menulis hingga usia 90 tahun, termasuk buku cerita yang belum rampung.
Salat jenazah itu berlangsung secara khidmat di ruang tengah rumah duka, Jalan Puri Mutiara III, Jakarta Selatan, pada Rabu siang, 20 Maret 2024. Alwi Dahlan, guru besar ilmu komunikasi Universitas Indonesia yang juga Menteri Penerangan pada akhir masa pemerintahan Presiden Soeharto, terbaring di keranda. Usianya 90 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan anggota keluarga dan kerabat mensalatkannya. Elita, istri almarhum, salat di saf paling belakang, keenam. Dia tidak menyangka suaminya pergi pada pagi itu. “Pagi itu baru saja saya suapi dua bungkus Energen,” kata Elita, 72 tahun, kepada Tempo di rumah duka pada Kamis, 21 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasangan itu hidup bersama selama 52 tahun. Di mata Elita, Alwi sosok yang humoris dan romantis. Dia tak pernah alpa mengucapkan terima kasih atas setiap hal. “Kalau ditanya, ‘Masakan saya enak, enggak?’, dia bilang, ‘Enak.’ Padahal kadang saya pikir enggak,” kata Elita.
Alwi Dahlan (kiri) bersama Cosmos Batubara saat Sidang Istimewa MPR di Jakarta, 1998. Dok. TEMPO/Robin Ong
Alwi Dahlan relatif bugar pada usia senjanya. Permasalahan kesehatannya sebatas pengapuran sendi di kaki sehingga mesti berkursi roda. Namun pikirannya tetap tajam. Hingga tahun lalu, dia masih mengisi kuliah pembuka untuk mahasiswa baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, tempatnya menjadi guru besar pada 1997. “Suaranya masih jelas dan ingatannya masih bagus. Saya juga heran, kok enggak pikun?” kata Billy Sarwono, mantan murid Alwi yang juga menjadi guru besar ilmu komunikasi UI.
Billy bagian dari tim dosen yang dikoordinasi oleh Alwi. Mereka satu tim sejak 2014, saat Alwi aktif mengajar mata kuliah di jenjang master dan doktor FISIP UI. Alwi undur diri dari ruang kelas sejak pandemi Covid-19 melanda, tapi dia tetap mengajar via online. Mata kuliah yang diampu Alwi di antaranya seminar perspektif, teori komunikasi, dan seminar teknologi komunikasi.
Ilmu komunikasi menjadi bagian dari hidup Alwi. Selepas lulus dari SMA Negeri 2 Bukittinggi, Sumatera Barat, pria kelahiran Padang itu merantau ke Jakarta untuk kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Di kampus yang saat itu berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, dia aktif dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia bersama Emil Salim, Nugroho Notosusanto, dan kawan-kawan.
Alwi belum merampungkan studinya saat berangkat ke Amerika Serikat pada 1958 untuk memenuhi US National Student Organization berkat aktivitasnya di pers kampus. Dia mengambil kesempatan itu untuk merampungkan studi sarjananya di American University di Washington, lalu berlanjut meraih gelar master ilmu komunikasi di Stanford University dan S-3 di University of Illinois Urbana-Champaign pada 1967.
Billy mengatakan saat itu hanya segelintir orang Indonesia yang menekuni ilmu komunikasi. Alwi kemudian kembali ke Tanah Air sebagai doktor ilmu komunikasi pertama di Indonesia dan kembali ke rumah awalnya, UI.
Billy dua kali menjadi mahasiswa Alwi, di tingkat S-1 dan S-3. Satu hal yang tak ia lupakan adalah bagaimana Alwi selalu memberikan materi yang lebih banyak ketimbang yang tertera pada silabus, sering kali lewat dari jam perkuliahan. Alwi selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa mahasiswanya membaca.
Menurut Billy, gurunya itu selalu menekankan pentingnya penerapan ilmu komunikasi, seperti dalam mengkritik kebijakan demi kepentingan publik. Alwi orang yang mengenalkan teori jaringan yang diusung Lawrence Kincaid di Indonesia. Studi ini menjelaskan pentingnya distribusi informasi sebelum era Internet.
Meski demikian, Alwi juga menempa anak-anak didiknya untuk tidak begitu saja percaya pada teori. Setiap teori harus dipertanyakan logika dan dasar argumennya. “Ia dikenal sebagai positivistik,” ujar Billy.
Biodata Alwi Dahlan
Jauh sebelum menjadi pengajar ilmu komunikasi, Alwi seorang penulis. Karyanya bukan kaleng-kaleng. Dia ada di balik film legendaris Tiga Dara (1956) yang digarap pamannya, Usmar Ismail, dan delapan film lain. Dia juga meraih penghargaan penulis skenario terbaik dalam Festival Film Indonesia 1955 lewat Harimau Tjampa.
Selain itu, Alwi menulis buku cerita anak, Pistol Si Mancil, terbitan Balai Pustaka. Buku ini kemudian diadaptasi menjadi film Djendral Kantjil pada 1958.
Hingga pengujung hayatnya, Alwi tetap menulis. “Beliau sedang menulis buku Anak Tiga Bendera,” ujar Billy. Anak Tiga Bendera menceritakan remaja yang tumbuh pada pengujung masa pemerintahan Hindia-Belanda, sepanjang pendudukan Jepang, serta mengalami revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan.
Alwi, Billy melanjutkan, menulis buku ini sejak 2011. Namun buku itu tak kunjung rampung karena si penulis selalu menambahkan hal baru yang ia anggap menarik.
Pemakaman Alwi Dahlan di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, 20 Maret 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti
Fitri, anak semata wayang Alwi, mengatakan ayahnya masih lancar mengetik dan membaca dari laptop hingga pengujung hidupnya. “Sebelum sakit, (almarhum) sering menulis di ruangan itu,” ujarnya sembari menunjuk sudut ruang tengah di dekat kolam renang. Fitri yakin kegemaran membaca dan menulis itulah yang membuat ingatan ayahnya terus tajam.
Laptop itu kini tidak bertuan. Senin lalu, Alwi merasa tidak enak badan. Sejak saat itu, dia terbaring lemas. Alwi berpulang pada Rabu lalu, sekitar pukul 08.00. Pencinta sate dan soto Padang itu kini terbaring di permakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo