Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Ted van der Hulst Melampaui Ragawi

Fotografer asal Belanda, Ted van der Hulst, menampilkan karya-karya fotografi sebagai subyek yang apa adanya.

22 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH foto pilihan tentang orang-orang cebol terpampang menggugah renungan di Agung Rai Museum of Art (ARMA), Ubud, Gianyar, Bali. Pameran yang resmi dibuka pada 28 Desember 2022 dan berlangsung hingga 18 Januari 2023 ini seakan-akan menegaskan kembali apa itu realitas atau fakta senyatanya dari sebuah peristiwa. Ted van der Hulst, sang fotografer dari Belanda, memang mengelak menampilkan kemolekan; sosok-sosok yang divisualkan bukanlah obyek yang sengaja diperindah atau dipuitiskan, melainkan dihadirkan sebagai subyek yang “apa adanya”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengedepankan stilistik yang realistik, 22 karya fotografi Van der Hulst mengungkap gambaran keseharian orang-orang berpostur pendek yang tergabung dalam Yayasan Orang Cebol Indonesia (YOCI). Setiap malam, secara berkala, mereka menyuguhkan hiburan pertunjukan tinju Midget Fun Boxing di kawasan wisata Kuta bagi para pelancong lintas bangsa. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan kali ini saja Van der Hulst, yang lahir di Utrecht, Belanda, pada 1982, menggali tema karya seni fotonya sebagai sebentuk seruan kepedulian. Pada 2017, ia pernah menyajikan serangkaian foto tentang kehidupan orang utan muda yang diselamatkan kemudian secara bertahap beradaptasi untuk kembali hidup di habitat aslinya di hutan. Seri foto esainya ini tidak hanya dipresentasikan melalui berbagai pameran, tapi terangkum pula dalam sebuah buku bertajuk Dennis

Van der Hulst mengenal dan mencintai fotografi sejak kanak-kanak. Setamat mendalami seni fotografi di Fotovakschool Amsterdam (2012), ia bekerja di MRA, menyuguhkan foto-fotonya untuk majalah Harper's Bazaar, Cosmopolitan, dan Esquire seraya mengajar fotografi di LaSalle College, Jakarta. Beberapa tahun belakangan, ia memilih bermukim di Bali, mengembangkan seni fotonya dengan beragam penemuan tematik yang lebih menarasikan sisi human interest

Pameran fotografi bertajuk Aristocrats karya Ted van der Hulst di ARMA (Agung Rai Museum of Art), Ubud, Gianyar, Bali, 28 Desember 2022. Aimery Joessel

Seri foto teranyarnya di ARMA ini menggambarkan pula ketekunannya dalam mengeksplorasi stilistik-estetik fotografi tanpa sentuhan editing digital atau pulasan kecanggihan aplikasi ala Photoshop. Ia menghindari efek khusus dan citra digital, memilih membiarkan lensa dan kamera bekerja untuk menjaga foto tetap autentik dan realistik. 

Disiplin bentuk itu memposisikan setiap obyek bidikan kameranya sebagai sang subyek yang mengemuka senyatanya. Tentu saja upaya mengubah obyek menjadi subyek tersebut ia wujudkan berkat kepiawaian dan kreativitas memotret dengan lampu studio dan tripod. Rekayasa pose atau sudut pandang (angle) justru bertujuan menjaga kewajaran sebuah momen kehadiran atau fokus peristiwa yang hendak diungkapkan. 

Pameran yang dikuratori oleh Bruce Carpenter ini mengambil tajuk “Aristocrats”, secara maknawi menyuratkan sesuatu yang ironis bila semata ditautkan pada pilihan foto-foto sosok cebol yang ditampilkan. Aristocrats atau aristokrat merujuk pada keberadaan kalangan bangsawan atau ningrat terpandang dengan kelas sosial tersendiri. Sedangkan orang-orang cebol justru mengingatkan hal sebaliknya; bahkan dalam catatan historis kerajaan-kerajaan di Nusantara dan belahan Eropa, mereka kerap diperankan sebagai punakawan atau abdi dalem. 

Ted van der Hulst mengungkapkan bahwa dia mempelajari dan memahami latar historis tersebut. Seri foto esai ini melalui proses penciptaan yang terbilang panjang, seturut pengamatannya yang mendalam bagaimana obyek bidikan itu diresapi sebagai subyek yang hendak diungkapkan sisi humanismenya. Sosok-sosok sumber inspirasi (baca: kerap tergelincir menjadi obyek eksploitasi) di tangan Van der Hulst terbukti luluh menjadi subyek—sebuah sublimasi penciptaan. Pilihan stilistik yang realistik itu sejalan dengan pandangannya; orang-orang cebol mesti diapresiasi layaknya manusia kebanyakan, tidak melulu dilihat bentuk fisiknya yang unik atau berbeda sehingga diperlakukan diskriminatif. 

Kecanggihan teknologi fotografi tetap dipertahankan sebagai sebatas perangkat pengolah stilistika dan estetika. Obyek yang menjadi subyek sejalan dengan upaya pendekatan atau keterlibatan kreator sebagai sesama manusia yang menyadari pentingnya berbagi empati dan simpati. Ia berteman dengan para orang cebol, saling mengunjungi, berbincang hangat, dan secara intens menghayati persahabatan nan guyub ini.

Menariknya, foto-foto orang-orang cebol dalam berbagai latar alami keseharian mereka dapat dikedepankan sebagai subyek dengan dunia batin personalnya. Foto-foto itu menyentuh lapis rasa pemirsa justru karena tidak semata mengejar kesan ragawi yang imajinatif. Lihat saja bagaimana dua sosok dengan jubah tinjunya hadir alami atau realistik melalui tatapan pandangan mereka yang sugestif. 

Foto karya Ted van der Hulst dalam pameran Aristocrats, di ARMA (Agung Rai Museum of Art), Ubud, Gianyar, Bali. Repro

Demikian juga foto Boncel, pendiri serta pemimpin YOCI, yang tengah menimang bayi didampingi sesosok perempuan, dapat dibaca sebagai pasangan, melahirkan aneka tafsir justru karena kewajaran pose dan latar keseharian alami yang dikedepankan. Mereka tengah duduk di atas ranjang di sebuah kamar sederhana, mencerminkan kehidupan mereka yang bersahaja. Tatapan mata mereka yang menerawang gamang seperti menyiratkan pengharapan yang bimbang akan masa mendatang.

Foto dengan pose orang tengah becermin adalah hal yang biasa, ragam komposisi yang berulang dihadirkan fotografer. Namun Van der Hulst berhasil menghindari klise tersebut, sosok perempuan cebol yang tengah becermin menyarankan labirin kemungkinan kejadian, tersebab sosok perempuan pada kaca terlihat samar. Handuk yang melilit tubuh mungilnya begitu ekspresif mewujudkan sosok nyata yang memunggungi pemirsa; membiaskan tanya siapa dia, siapa juga kita. 

Foto sosok berkostum Superman, atau wajah-wajah bertopeng dengan riasan rajah tertentu, jauh dari kehendak menciptakan parodi atau kesan lucu. Foto-foto itu malah berhasil mengekspresikan gambaran kehidupan komunitas orang cebol yang survive meski berkali-kali mengalami diskriminasi. Tatapan mata mereka memancarkan kepercayaan diri; perisakan dan celaan keseharian dari khalayak tidak membuat mereka tenggelam dalam kesedihan atau keterpurukan. 

Bruce Carpenter mencatat bahwa orang cebol Indonesia cenderung mencari perlindungan kepada sesama mereka. Terbentuknya berbagai komunitas yang mewadahi keberadaan mereka hakikatnya berfungsi sebagai keluarga besar; menawarkan perlindungan, persahabatan, dan penghasilan. Sebagaimana Midget Fun Boxers yang didirikan Boncel pada 2010, yang bermula dari kelompok Boncel-Boncel Antik Group yang didirikan pada 2001. Pada 2008, ia membuat perkumpulan baru bernama Persatuan Orang Cebol Indonesia yang belakangan bertransformasi menjadi Yayasan Orang Cebol Indonesia seturut hijrah mereka dari Jakarta ke Bali pada 2012. 

Kesanggupan mereka untuk survive dalam komunitas, kisah keuletan dan totalitas penghayatan pada kehidupan keseharian masing-masing, dapat diapresiasi sebagai sebentuk capaian kearistokratan tersendiri. Tidak berlebihan kiranya bila Carpenter dan Van der Hulst membingkai pameran ini dengan tajuk “Aristocrats”. 

Foto karya Ted van der Hulst dalam pameran Aristocrats, di ARMA (Agung Rai Museum of Art), Ubud, Gianyar, Bali. Repro

Bukan satu kebetulan bila tajuk tersebut dipilih. Ini bertaut secara historis dengan peran pengabdian seorang fotografer sohor, Diane Arbus, yang sedini 1940-an telah mendedikasikan penciptaannya untuk seruan kepedulian. Karya-karyanya mempresentasikan orang-orang yang hidup di jalanan Kota New York, Amerika Serikat, di antaranya pecandu narkotik, kaum waria, pemain sirkus, termasuk orang-orang cebol dan mereka yang terpinggirkan oleh berbagai diskriminasi sosial. Secara khusus Diane Arbus mengapresiasi daya hidup dan kreativitas orang-orang cebol yang dinilainya telah berkuasa melampaui pengalaman traumatis kehidupan; mereka adalah bangsawan, “they're aristocrats”.

Pesan itulah yang hakikatnya lanjut dilantunkan pameran “Aristocrats” di ARMA. Sebagaimana diungkapkan Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar Wayan Kun Adnyana sewaktu membuka pameran, yang menegaskan bahwa “perbedaan atau berbeda bukan berarti abnormal, melainkan sebuah keistimewaan”. Ted van der Hulst meyakini teman-teman Midget Fun Boxing memiliki karakter mulia, daya sensitivitas batin tinggi, serta kepribadian penuh empati kepada sesama. Maka, melampaui keindahan, seri fotonya adalah penegasan kepedulian.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus