Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dimarifa Dy
Hikayat Orang-orang Biasa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
orang-orang biasa yang berjalan dalam hutan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
cukup percaya diri, beberapa rasi dan pohon
ibu memberinya sebotol jewawut
bapak membekalinya daun jeruk purut
lainnya mengisi ransel itu dengan rempah-rempah
yang tak bisa dibedakan mulanya
mereka diajak berpetualang dari siasat
diceritakan sebentar anak-anak tersesat
Hansel mengendap-endap rumah penyihir
Gretel menahan diri untuk tidak menyingkir
perempuan tua tersenyum ramah
membuat bangsal pelancong, berwarna lampion
dari rumah permen dan kue balon
ketika daun-daun itu berubah menjadi teh
cukuplah. Kita tidak perlu berdiri di tebing batu
mengumumkannya
cerita selanjutnya sedikit membakar
muncul dari cinta berdebar, terus menebar
berdiri sebagai keramat paling depan
bersikeras terhadap hal yang tak relevan
menyalakan kembang api, menyerahkan akal
asal-muasal sang anjing penjelmaan dewa
jatuh cinta kepada tuan putri kesepian
sungguh Dayang Sumbi tak pernah menjatuhkan
benang
dia hanya ingin kawin dengan orang yang disukai
kemungkinan pertama dibuatkan jubah
dihancurkan, dibentuk, dihancurkan lagi
yang kedua konspirasi kayangan
seperti yang dikisahkan oleh skylark
‘Aku merindukan banyak hal!
Juga masa kecil yang sengsara itu’
perlahan-lahan orang biasa kehilangan kenangan
sepanjang perasaan
mereka hentikan pikiran dari pemikiran begitu
para pelapak habis kesabaran
orang biasa yang membuka jalan-jalan
sepanjang gedung yang terus berubah
sebagian gembira tersesat tengah-tengah
sebagian bingung, mereka tidak bergerak!
kembang api menyala indah
perempuan tua terus berkomat-kamit
mulanya mereka disuap rempah-rempah
lalu semangkuk pasta saus carbonara
oh mungkin juga sirloin setengah welldone
rekonsiliasi mitos-mitos berbagai wahana
sekalipun para pemuka tidak begitu senang
sekalipun mengganti penjaga stan ramalan
mereka terlalu pemalu untuk mengaku
banyak hal yang mereka tidak mahfum
berjalan beriringan, berteriak-teriak parau
dalam bangunan-bangunan lekang
mereka tak ingat jalan pulang
Agustus 2024
Narendra Brahmantyo K.R.
Musim Ketiga yang Tak Serupa Kita Hendaki
: Gombong, 1830
/1/
kubayangkan tibanya musim ketiga,
hitam kukus jerami
memanggil helikopter londo datang kemari
sebab di dalam sana ada tuan putri
sepulangnya menuju londo,
menyudahi panjang musim Mataram
bila ia di bawah sini
sejarak apa kami kemudian?
bila aku hanyalah pribumi
jengkiku berkejaran malam
memikul berkarung hari dari musim yang kupanen sendiri
sementara tuan putri,
berkelilinglah ia di tanah Roma
sambil melerai deru delman
dengan amanat tafsir seorang kusir:
musim ketiga belum terbenam bersama petang ini
Tuhan mengabulkan Bagelen oleh jati diri
sebab, bilamanapun delman ini berhasil menjajaki pagi,
ujung timur masih terjaga
dari petanda musim kopra
dan sementara padaku,
sebulan terakhir di musim rendeng tanah Bagelen
lahan ditanamku telaten.
kemuning cahaya pagi
berangkatnya panen dari musim padi-padi
—setamsil koin sen gulden—
ada lubang kecil di tengah matahari esok pagi
dari dalamnya, musim berdatangan
meruangi langit dan tanah Bagelen
namun, bilamana musim rendeng tak direstu ibumu
apalah sudah yang hendak kugugu
/2/
biarlah di kota ini,
musim ketiga dibawaku
—indigo dan tembakau—dari hasil yang tak direstui ibuku
kukatakan “sesekali” demi tuan putri
agar coba kutunaikan kepulangannya dari Hindia Belanda
Sebab itu permintaan ayahnya—Van Den Bosch—
kemenangannya adalah sejumlah ongkos
mengurung peparu Diponegoro
lewat rusuk-rusuk benteng stelsel
kuyakini, muasalnya matahari adalah gulden
barat ialah Londo
terang tempatnya kembali
terbenamnya rendeng, terbitnya ketiga esok hari
bersama keluargamu,
kutinggalkan kemuning pagi hasil panen padi-padi
/3/
lantas di tahun-tahun lepas
ibunya jadi merestu aku
setelah tuan putri berkunjung pada gubuk
nasi beserta lauk-pauk
mengebaki sejarah di atas daun pisang:
dulu, kami menanak nasi di atas tungku peperangan
dan lambung kami terapit
di lumbung Gubuk Kemit
bertahun selepasnya, dibangunlah Fort Cochius
dari restu ibunya itu
sebagai tempatku bertinggal
atas seluruh mahar bumi Bagelen
/4/
tapi, betapa patah hatiku
kala esok, di ambang pintu
pendatang Cina ternyata itu baru direstu
di teras-teras Fort Cochius
tenda mengitar yang telah kupasang
jadi sungsang:
tiang-tiangnya tetiba memancang singkong
kacang direbus di dalam hunian kopra
dan kemuning-kemuning padi
macam menjaga muslihat di musim ketiga
oh, tuan putri
aku adalah hujan yang tiba mertamu di Fort Cochius
setelah upacara nikahan, Ibumu mengajakmu ke tanah mertua.
melalui jalan kesultanan,
kau membawa jati diri Bagelen yang tak dianggap apa-apa
ke tanah Cilacap sana:
rel-rel kereta uap yang kuperbuat di sela restu ibumu
yang telah lama berlalu
/5/
di kejauhan, cerobong asap yang memberi jejak pergi tuan putri
membawaku kembali di hadapan bebakar jerami
tempatku berdiri.
darinya, aku mengenang jejak pergi musim padi
sebagai musim ketiga membumbung pekat jelaga
macam restu yang tak dapat dijaga
menanggung pengap abad ketiga
dan dari dalam helikopter menuju londo
kuharap kau sekali bertanya pada koin gulden yang kaupegang
perihal kapan
musim padi beranjak terbit dari barat
Yogyakarta, 3 Juni 2024
Dimarifa Dy. Lahir di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Menyukai film, membaca buku, dan menulis puisi.
Narendra Brahmantyo K.R. lahir di Klaten, Jawa Tengah, 11 April 2003. Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Berkegiatan di Lembaga Pers Mahasiswa Poros dan Komunitas Sastra Luaruang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo