Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi 'Hikayat Orang Biasa' Dimarifa Dy dan 'Gombong' Narendra Brahmantyo

Dimarifa Dy dan Narendra Brahmantyo menulis puisi serta kerap mengikuti lomba dan memenanginya.
  

7 Desember 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hikayat Orang Biasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dimarifa Dy

Hikayat Orang-orang Biasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

orang-orang biasa yang berjalan dalam hutan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

cukup percaya diri, beberapa rasi dan pohon

ibu memberinya sebotol jewawut 

bapak membekalinya daun jeruk purut

lainnya mengisi ransel itu dengan rempah-rempah

yang tak bisa dibedakan mulanya

 

mereka diajak berpetualang dari siasat

diceritakan sebentar anak-anak tersesat

Hansel mengendap-endap rumah penyihir

Gretel menahan diri untuk tidak menyingkir

 

perempuan tua tersenyum ramah

membuat bangsal pelancong, berwarna lampion

dari rumah permen dan kue balon

ketika daun-daun itu berubah menjadi teh

cukuplah. Kita tidak perlu berdiri di tebing batu 

mengumumkannya

 

cerita selanjutnya sedikit membakar

muncul dari cinta berdebar, terus menebar

berdiri sebagai keramat paling depan 

bersikeras terhadap hal yang tak relevan

menyalakan kembang api, menyerahkan akal

 

asal-muasal sang anjing penjelmaan dewa

jatuh cinta kepada tuan putri kesepian

sungguh Dayang Sumbi tak pernah menjatuhkan

benang

dia hanya ingin kawin dengan orang yang disukai

 

kemungkinan pertama dibuatkan jubah

dihancurkan, dibentuk, dihancurkan lagi

yang kedua konspirasi kayangan

seperti yang dikisahkan oleh skylark

‘Aku merindukan banyak hal!

Juga masa kecil yang sengsara itu’

 

perlahan-lahan orang biasa kehilangan kenangan

sepanjang perasaan

mereka hentikan pikiran dari pemikiran begitu

para pelapak habis kesabaran

 

orang biasa yang membuka jalan-jalan

sepanjang gedung yang terus berubah

sebagian gembira tersesat tengah-tengah

sebagian bingung, mereka tidak bergerak!

kembang api menyala indah

perempuan tua terus berkomat-kamit

 

mulanya mereka disuap rempah-rempah

lalu semangkuk pasta saus carbonara

oh mungkin juga sirloin setengah welldone

rekonsiliasi mitos-mitos berbagai wahana

sekalipun para pemuka tidak begitu senang

sekalipun mengganti penjaga stan ramalan

 

mereka terlalu pemalu untuk mengaku 

banyak hal yang mereka tidak mahfum

berjalan beriringan, berteriak-teriak parau

dalam bangunan-bangunan lekang

mereka tak ingat jalan pulang

Agustus 2024

 

Narendra Brahmantyo K.R.

Musim Ketiga yang Tak Serupa Kita Hendaki

: Gombong, 1830

 

/1/

kubayangkan tibanya musim ketiga,

hitam kukus jerami 

memanggil helikopter londo datang kemari 

sebab di dalam sana ada tuan putri 

sepulangnya menuju londo, 

menyudahi panjang musim Mataram 

 

bila ia di bawah sini

sejarak apa kami kemudian? 

bila aku hanyalah pribumi 

jengkiku berkejaran malam 

memikul berkarung hari dari musim yang kupanen sendiri

 

sementara tuan putri, 

berkelilinglah ia di tanah Roma

sambil melerai deru delman 

dengan amanat tafsir seorang kusir:  

           musim ketiga belum terbenam bersama petang ini 

           Tuhan mengabulkan Bagelen oleh jati diri  

           sebab, bilamanapun delman ini berhasil menjajaki pagi, 

           ujung timur masih terjaga 

           dari petanda musim kopra 

 

dan sementara padaku, 

sebulan terakhir di musim rendeng tanah Bagelen 

lahan ditanamku telaten. 

kemuning cahaya pagi

berangkatnya panen dari musim padi-padi 

—setamsil koin sen gulden—

ada lubang kecil di tengah matahari esok pagi 

dari dalamnya, musim berdatangan 

meruangi langit dan tanah Bagelen 

 

namun, bilamana musim rendeng tak direstu ibumu

apalah sudah yang hendak kugugu 

 

/2/

biarlah di kota ini, 

musim ketiga dibawaku 

—indigo dan tembakau—dari hasil yang tak direstui ibuku

kukatakan “sesekali” demi tuan putri 

agar coba kutunaikan kepulangannya dari Hindia Belanda

              Sebab itu permintaan ayahnya—Van Den Bosch—

              kemenangannya adalah sejumlah ongkos 

              mengurung peparu Diponegoro 

              lewat rusuk-rusuk benteng stelsel 

 

kuyakini, muasalnya matahari adalah gulden 

barat ialah Londo

terang tempatnya kembali 

terbenamnya rendeng, terbitnya ketiga esok hari

            bersama keluargamu,

            kutinggalkan kemuning pagi hasil panen padi-padi

 

/3/

lantas di tahun-tahun lepas 

ibunya jadi merestu aku 

setelah tuan putri berkunjung pada gubuk

nasi beserta lauk-pauk 

mengebaki sejarah di atas daun pisang: 

             dulu, kami menanak nasi di atas tungku peperangan 

             dan lambung kami terapit  

             di lumbung Gubuk Kemit

 

bertahun selepasnya, dibangunlah Fort Cochius

dari restu ibunya itu 

sebagai tempatku bertinggal 

atas seluruh mahar bumi Bagelen 

 

/4/

tapi, betapa patah hatiku 

kala esok, di ambang pintu 

pendatang Cina ternyata itu baru direstu

di teras-teras Fort Cochius 

tenda mengitar yang telah kupasang 

jadi sungsang:

           tiang-tiangnya tetiba memancang singkong

           kacang direbus di dalam hunian kopra 

           dan kemuning-kemuning padi 

           macam menjaga muslihat di musim ketiga

 

oh, tuan putri

aku adalah hujan yang tiba mertamu di Fort Cochius

setelah upacara nikahan, Ibumu mengajakmu ke tanah mertua.

melalui jalan kesultanan,

kau membawa jati diri Bagelen yang tak dianggap apa-apa 

ke tanah Cilacap sana: 

         rel-rel kereta uap yang kuperbuat di sela restu ibumu 

         yang telah lama berlalu  

 

/5/

di kejauhan, cerobong asap yang memberi jejak pergi tuan putri 

membawaku kembali di hadapan bebakar jerami 

tempatku berdiri. 

darinya, aku mengenang jejak pergi musim padi 

sebagai musim ketiga membumbung pekat jelaga 

macam restu yang tak dapat dijaga 

menanggung pengap abad ketiga

 

dan dari dalam helikopter menuju londo

kuharap kau sekali bertanya pada koin gulden yang kaupegang  

perihal kapan 

musim padi beranjak terbit dari barat

 

Yogyakarta, 3 Juni 2024

Dimarifa Dy. Lahir di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Menyukai film, membaca buku, dan menulis puisi.  

Narendra Brahmantyo K.R. lahir di Klaten, Jawa Tengah, 11 April 2003. Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Berkegiatan di Lembaga Pers Mahasiswa Poros dan Komunitas Sastra Luaruang. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dimarifa Dy.

Dimarifa Dy.

Pengarang yang lahir di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Menyukai film, membaca buku, dan menulis puisi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus