Bahasa Pers Kita SLAMET DJABARUDI SETELAH dirawat dua hari, terdakwa mulai berusaha menggugurkan kandungan korban. Itulah kutipan kalimat yang mengawali paragraf sebuah berita, yang belum lama ini dimuat sebuah media massa. Siapa yang dirawat dua hari? Dari kalimat itu tampak bahwa terdakwa yang dirawat. Namun, bila dilihat isi berita secara keseluruhan, yang dirawat adalah korban. Itulah salah satu ciri pers kita, yang dalam berbahasa lebih menekankan "pokoknya orang tahu" dan agak mengabaikan norma-norma bahasa. Minggu ini, tepatnya 9 Februari 1990, genap 44 tahun sudah usia PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan pers Indonesia merayakannya sebagai Hari Pers Nasional. Menilik usianya yang sudah menginjak setengah umur, rasanya tidak berlebihan kalau kita kini menengok bahasa pers kita. Gengsi di kalangan wartawan tampaknya hingga kini masih tetap tinggi. Banyak yang berdalih menghemat kata, misalnya ungkapan yang sudah idiomatis sesuai dengan ditulis sesuai saja. Namun, tidak jarang mereka memboroskan kata dengan mengatakan namun demikian atau namun begitu, yang sebenarnya cukup ditulis namun. Ada pemborosan kata yang sekaligus menghasilkan kalimat rancu, misalnya: "Meskipun menegaskan bahwa pernyataannya itu dikemukakannya secara umum dan tidak bermaksud menuding kepengurusan PDI sekarang, namun ucapan mantan KSAD yang suka bicara ceplas-ceplos itu tampaknya memang tidak terlepas dari masalah yang dihadapi PDI dewasa ini." Kombinasi meskipun dengan namun seperti itu, selain boros juga membuat kalimat rancu karena kedua-duanya menjadi anak kalimat dan tidak ada induk kalimat. Kalimat tentang PDI ini sepintas benar, tetapi sebenarnya tidak. Yang menegaskan adalah mantan KSAD, tetapi yang tertulis adalah ucapan mantan KSAD. Bahasa pers kita juga sering diwarnai oleh bentuk kalimat yang seolah-olah benar (karena secara gramatikal memang benar), tetapi bila ditilik isinya menjadi tidak logis. Misalnya: "Penjahat yang sudah setahun menjadi buron itu berhasil ditangkap polisi." Memang polisi berhasil (tercapai cita-citanya) menangkap sang buron, tetapi logiskah sang buron berhasil (tercapai cita-citanya) ditangkap polisi? Pers kita memang benar-benar bhinneka tunggal ika. Artinya, sama-sama menggunakan bahasa Indonesia tetapi dengan laras yang beraneka ragam. Itu tidak mengapa asal setiap penerbitan menerapkan asasnya sendiri dengan taat asas. Yang sering tampak ialah, standar sudah dibuat, tetapi penerapannya tidak ajek. Sebagai contoh, kita ambil masalah ejaan. Menurut ketentuan, subyek dan predikat tidak boleh dipisahkan oleh koma, kecuali sepasang koma sebagai keterangan penjelas, atau koma untuk menghindari salah tafsir. Banyak contoh yang tidak sesuai dengan ketentuan itu. Misalnya: "Nyonya SM, dituntut hukuman lima tahun penjara atas tuduhan menggugurkan kandungan Ny. Handayaningrum hingga mengakibatkan kematiannya." Kalimat itu seharusnya tidak dibubuhi koma. Sebaliknya, kalimat berikut (yang memerlukan sebuah koma lagi) hanya memiliki sebuah koma untuk keterangan penjelas. "Tamu itu, Ny. Handayaningrum ingin menggugurkan kandungannya yang sudah berusia tiga bulan." Ny. Handayaningrum sebagai penjelas untuk tamu itu seharusnya diapit dengan dua koma. Pedoman itu jelas tertulis di dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Pada pengamatan saya, tidak ada satu pun penerbitan pers yang 100 persen menerapkan pedoman umum tersebut. Masing-masing memiliki alasan untuk penyimpangannya, misalnya karena bingung menafsirkan perluasan pedoman yang bersifat umum itu. Di dalam pembuatan judul berita, misalnya, terdapat sejumlah bentuk. Disebutkan di dalam pedoman EYD bahwa kata-kata seperti di, ke, dari, dan, yang, untuk yang tidak terletak pada posisi awal ditulis dengan huruf kecil, walaupun untuk judul karangan. Mungkin karena sulit mengartikan pedoman itu, ada editor yang memukul rata dengan memakai huruf kapital untuk huruf pertama semua kata dalam judul berita. Ini mirip dengan kebijaksanaan sejumlah penerbitan asing yang menggunakan huruf kapital hanya pada kata pertama tiap judul atau kata untuk nama diri. Ketika menyampaikan makalah dalam sebuah seminar bahasa Indonesia di Universitas Airlangga, November 1989, saya "digugat" salah seorang hadirin karena mengambil contoh-contoh kalimat dari berita koran yang notabene diuber deadline. Pembicara itu tampaknya terlalu bersimpati kepada wartawan yang selalu dibuat tergopoh-gopoh diuber deadline, sehingga kalimat yang dihasilkannya kurang baik. Padahal, sebenarnya, tidak semua berita datang mendekati deadline. Yang sering terjadi ialah wartawan terlambat menyerahkan hasil reportasenya dan pemeriksa menunda pekerjaannya, sehingga waktu untuk memeriksa sangat singkat. Kalau sudah diuber waktu, tentu saja kita terpaksa kurang cermat. Kekurangcermatan berbahasa sering berhubungan erat dengan kekurangcermatan menampilkan fakta. Ketika ramai diberitakan bahwa Garuda akan go public, November 1989, ada berita di TVRI yang menyebutkan keuntungan Garuda 100 juta dolar AS. Setelah dikonversikan, uang itu disebutkan Rp 175 trilyun. Saya terkejut dan menduga bahwa berita itu datang dari kantor berita. Esoknya, saya baca di sebuah koran Jakarta yang menampilkan konversinya Rp 1,75 trilyun. Ketika tiba di Surabaya, saya menemukan kurs Rp 1,75 trilyun di dua koran setempat. Padahal, kalau kita hitung dengan cermat, 100 juta dolar AS baru akan menghasilkan Rp 175 milyar. Sayang, pada pengamatan saya, tampaknya kurang ada "kemauan politik" untuk lebih tertib berbahasa, baik di kalangan pelaksana maupun pimpinan media massa. Banyak wartawan yang kurang bergairah mempelajari bahasa Indonesia padahal kurang paham akan hal-hal yang sangat elementer, misalnya tidak tahu bahwa kata ulang (umpamanya kata-kata) ditulis dengan tanda hubung dan ditunjukkan dengan dua k, bukan ditunjukan. Memang ada sejumlah pimpinan media massa yang mengusahakan peningkatan keterampilan berbahasa para karyawannya. Namun, saya belum pernah mendengar bahwa ada mekanisme yang memungkinkan unsur bahasa diperhitungkan di dalam promosi dan demosi karyawan, tentu saja termasuk pertimbangan untuk kenaikan gajinya. Bila kemauan politik itu sudah ada, dan diterapkan, insya Allah pada ulang tahun ke-50 PWI, wajah pers kita (khususnya dalam berbahasa) pasti akan tampak lebih rapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini