AN AMBASSADOR'S JOURNEY Oleh: Lee Khoon Choy Penerbit: Times Book International, Singapore, 1983, 278 halaman PEMBACA tentu pernah mendengar nama Haile Selassie, tapi pastilah tidak membayangkan bagaimana raja Etiopia itu sehari-hari dikawal dua ekor singa. Anda pun tentu sulit percaya bahwa di negara sosialis seperti Yugoslavia ada penari telanjang yang pada saat terakhir boleh tampil tanpa sehelai benang. Dan mungkin Anda tidak tahu bahwa sebelum berkunjung ke Jakarta PM Lee Kuan Yew sudah dianjurkan meletakkan karangan bunga di makam dua marinir Indonesia yang dihukum mati di Singapura. Semua hal unik semacam itu terselip dalam buku ini, sebuah kumpulan karangan yang telah memadukan dengan baik pendapat, pengalaman, pengamatan, dan analisa pengarang yang pada tahun 60-70-an bertugas sebagai duta besar Singapura untuk Mesir, Etiopia, Yugoslavia, Pakistan, Libanon, dan Indonesia. Dari 14 bab, tujuh bab mengenai Mesir. Indonesia disorot dalam tiga bab, salah satu tentang hari-hari gawat sekitar Malari, ketika penulis yang menjadi duta besar di Jakarta ikut merasa terancam jiwanya. Kisahnya tentang pribadi Nasser cukup menarik. Tanpa mengurangi rasa hormatnya pada pemimpin Mesir yang jujur dan tidak korup itu, ia akhirnya sampai pada kesimpulan dingin bahwa Nasser adalah pemberontak sekaligus pemimpin. Alasannya Nasser bertahan pada angan-angan tidak berdasar: mempersatukan dunia Arab, menjayakan Mesir dan Islam, justru tatkala kegiatan Persaudaraan Muslim menggerogoti negerinya. Buku ini tentulah tidak sejajar dengan White House Years karya Henry Kissinger yang monumental itu, tapi isinya dapat mengilhami para diplomat Indonesia. Agar juga menulis buku, menuangkan pengalaman mereka, supaya kaum muda dapat memmba sesuatu dari sana. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini