Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kesetiaan kepada karya

Karyawan sk the times mogok ketika manajemen bermaksud melakukan komputerisasi. asahshimbun, jepang berhasil berkat konsep ba (lokasi) dalam manajemen jepang. (ki)

7 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA tahun 1926 terjadi pemogokan umum di Inggris yang membuat semua sektor mandek. Tetapi surat kabar The Times tetap terbit. Mengapa? Dengan bangganya pemimpin surat kabar itu menjawab bahwa semua karyawannya setia kepada pekerjaannya. Pada tahun 1978, 53 tahun sesudah pemogokan umum itu, surat kabar yang telah berusia 170 tahun itu mendadak berhenti terbit. Bukan karena SlT-nya dicabut, tetapi karena karyawannya mogok. Pemogokan selama 11 bulan yang melumpuhkan surat kabar besar itu bermula justru ketika manajemen bermaksud melaksanakan pembaruan sistem kerja dengan komputer. Sikap konservatif Inggris-kah yang menyebabkan keengganan mereka terhadap otomatisasi dan komputerisasi? Ternyata bukan. Beberapa pengamat menyebut bahwa kegagalan The Times itu adalah bukti makin tingginya keangkuhan profesi dan makin menipisnya kesetiaan kepada pekerjaan. Seorang karyawan Inggris akan mengatakan "Saya adalah seorang juru susun huruf," bukannya "Saya karyawan The Times." Cara berpikir seperti itu memang bertolak belakang dengan konsep ba (lokasi) yang dianut di Jepang. Karyawan Jepang selalu mendahulukan perusahaannya, bukan profesinya. Kalau Anda bertemu dengan seorang yang berkata, "Saya karyawan NHK," maka Anda belum akan tahu apakah ia seorang juru kamera ataukah seorang pengemudi. Setidaknya, konsep ba inilah yang dianggap sebagai salah satu sukses manajemen Jepang. Ini pun dibuktikan oleh Asahi Shimbun, surat kabar terbesar di Jepang. Pada tahun 1975 manajemen Asahi Shimbun mengumumkan rencana otomatisasi dan komputerisasi secara menyeluruh. Manajemen mengumumkan pula bahwa target untuk tercapainya pelaksanaan otomatisasi itu adalah musim panas 1980. Asahi Shimbun, yang mempunyai percetakan jauh lebih besar daripada The Times, ternyata tidak menjadi guncang. Padahal, pemberitahuan manajemen itu pun jelas menunjukkan bahwa otomatisasi itu akan mengakibatkan berkurangnya kebutuhan akan 600 tenaga kerja di sektor produksi. Konsep ba yang disebut tadi ternyata merupakan konsep yang menghasilkan kesetiaan timbal balik. Bukan hanya karyawan vang dituntut kesetiaannya kepada perusahaan, tetapi manajemen pun setia kepada karyawannya. Dalam kasus ini, manajemen dengan tegas menjanjikan bahwa tidak seorang karyawan pun akan kehilangan pekerjaannya karena otomatisasi ini. Ini jelas berbeda dengan situasi The Times yang justru menawarkan pesangon bagi mereka yang pekerjaannya akan digantikan oleh mesin dan komputer. Waktu persiapan yang lima tahun itu dipergunakan oleh manajemen Asahi Shimbun tidak hanya untuk merencanakan mesin-mesin baru yang akan didatangkannya, tetapi juga untuk memindahkan 600 karyawan produksi ke sektor lainnya di bawah atap Asahi Shimbun. Keiya Taneyama, 43, misalnya, sudah bekerja sejak berusia 23 tahun di bagian pembuatan pelat cetak. Ketika pemimpin percetakan menyatakan bahwa beberapa orang dari bagian ini harus pindah, Taneyama menawarkan dirinya secara sukarela. Dari kemungkinan lain yang tersedia, dan sesuai dengan kualifikasinya, Taneyama pun kemudian mendapat latihan untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan di bagian promosi penjualan. Ia kini membuat poster-poster promosi untuk Asahi Shimbun. "Bagian yang paling sulit dari pekerjaan baru ini ialah belajar menggunakan otak saya. Bertahun-tahun saya biarkan otak saya menganggur karena jenis pekerjaan saya dulu hanya memerlukan tangan. Saya gembira telah memperoleh kesempatan untuk menggunakan otak sekarang," kata Taneyama. Satu hal lain, yang juga dirasakan sangat melegakan bagi Taneyama, ialah bahwa sekarang jam kerjanya tetap, seperti orang-orang kantoran - datang pukul sembilan, pulang pukul lima. Agustus 1980, sesuai dengan rencana, otomatisasi telah rampung dilaksanakan di Asahi Shimbun itu. Sesuai pula dengan rencana tidak seorang karyawan pun kehilangan pekerjaannya. Perubahan yang mulus itu tentulah bukan sekadar karunia Tuhan, tetapi hasil penerapan manajemen secara konsekuen. Ketika kita semua terpukau dengan mesin-mesin besar dan alat-alat modern yang serba otomatis, kita sering kehilangan dimensi manusia dalam situasi baru itu. Padahal, mesin tidak bisa sakit hati, sedang manusia bisa. Kalau mesin mogok harus diketok, kalau manusia mogok justru harus dielus-elus. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus