Rumah Mandi Darah NYANYIAN Ma'bugi' mengayunkan matahari yang merangkak tinggi. Tibalah saat mengarak lettoan, usungan babi-babi yang dihias. Kala lettoan tiba di tempat upacara, para wanita menyambut dengan nyanyian dan menggoyang badan dalam tarian Ma'dandan. Usai diarak, babi-babi itu disembelih. Darahnya dimasukkan dalam bambu-bambu untuk sesaji dewata. Dagingnya dibagi kepada sanak saudara, undangan, dan kerabat sekitar. Itulah suka cita menyambut rampungnya pemugaran 4 rumah adat, tongkonan: Kesu', Bamba, To'Sendana, dan Tonga. Semuanya di Kampung Ke'te Kesu', Tana Toraja. Tradisi Mangrara Banua, menyucikan rumah adat dengan darah hewan (mayoritas babi), bagian Rambu Tuka' atau kehidupan suku Toraja di Sulawesi Selatan. Empat tongkonan itu 20 Januari lampau diupacarakan kembali, supaya asri. Satu dari keempatnya adalah tongkonan Ke'su. Rumah adat ini tertua dan cikal dari tiga tongkonan tadi -- bahkan di tengah semua tongkonan yang ada di Tana Toraja. Dalam bentuk fisik, tongkonan Ke'su berdiri awal abad XX, kendati kehadirannya secara spiritual dipercayai ada sejak 700 tahun silam. Tongkonan Ke'su pada 1969 dan 1978 dipugar. Pada 1929, tongkonan pertama diupacarakan dengan Mangrara Banua. Kalau sebuah tongkonan ditilik masih utuh, maka jarang dijunjung dengan Mangrara Banua. Mulanya, tongkonan itu tempat tinggal kaum bangsawan Toraja. Selain disegani, mereka dianggap keturunan langsung puang matua, dewata. Malah di mata pengikut, mereka itu dapat "menyala seperti bulan, panas seperti matahari". Karena itu, kalau dia bicara, jangan ditentang. Dan bila ia punya pendirian sikapnya itu tak boleh disebut "salah". Ronald Agusta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini